Nationalgeographic.co.id - Saat ini pandemi Covid-19 sedang menguji ketahanan sistem pelayanan kesehatan di seluruh dunia termasuk Indonesia. Kemampuan dalam merespons secara cepat dan tepat menjadi kunci agar kita dapat melalui krisis ini dengan baik.
Per 15 Juli, kasus Covid-19 di negeri ini telah mencapai sekitar 80 ribu kasus dan kasus harian terus bertambah. Angka ini hampir mengejar jumlah kasus di Cina saat mencapai puncak penularan (sekitar 85.000 kasus) dan angka di sana terus melandai sejak Maret lalu.
Karena itu, pemerintah, pemerintah daerah, industri rumah sakit, asosiasi rumah sakit, dan para manajer rumah sakit harus bersiap merespons serangkaian gelombang pandemi Covid-19 yang sedang dan akan menghantam.
Baca Juga: Apakah Kita Mengingat Pelajaran Berharga Setelah Pagebluk Berlalu?
Survei terbaru Organisasi Kesehatan Dunia menunjukkan layanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan pemeriksaan dan pengobatan selain kasus Covid menjadi terganggu akibat virus corona.
Lebih dari setengah (53%) dari 155 negara yang disurvei menyatakan akses dan layanan masyarakat untuk pengobatan hipertensi menjadi tertunda. Dampak serupa juga tampak pada 49% untuk pengobatan diabetes dan komplikasi yang berhubungan dengan diabetes, 42% untuk pengobatan kanker, dan 31% untuk keadaan darurat kardiovaskular. Bahkan program pencegahan seperti skrining (kanker payudara dan serviks) juga ikut terganggu di lebih dari 50% negara.
Sebagai sebuah bencana kesehatan yang besar, saya memperkirakan setidaknya pandemi ini akan menghantam sistem pelayanan kesehatan Indonesia dalam empat gelombang besar.
Gelombang kesakitan dan kematian akibat Covid-19 adalah gelombang pertama.
Di Indonesia, gelombang ini dimulai pada awal Maret dengan temuan dua kasus positif. Hingga 13 Juli 2020 kasus telah tumbuh menjadi 76.981 kasus dengan 3.656 kasus kematian.
Gelombang pertama ini diperkirakan masih akan menghantam sistem pelayanan kesehatan dalam jangka waktu yang lama. Terlebih adanya temuan studi terbaru yang menyatakan bahwa seseorang “berpotensi” untuk dapat tertular virus corona berkali-kali.
Presiden Joko Widodo mengatakan puncak kasus Covid-19 baru akan terjadi pada Agustus-September.
Gelombang kedua
Gelombang kedua adalah krisis keuangan rumah sakit.
Bermula pada April, ketika Kementerian Kesehatan mengeluarkan kebijakan agar rumah sakit mengurangi layanan praktik rutin kecuali dalam kondisi gawat darurat. Pada saat yang sama masyarakat juga membatasi kunjungan ke rumah sakit karena takut tertular Covid-19.
Kebijakan dan fenomena ini mengakibatkan penurunan signifikan jumlah pasien yang berobat ke rumah sakit dan akibatnya pendapatan rumah sakit anjlok.
Menurunnya pendapatan terasa semakin berat, karena pada saat yang bersamaan pengeluaran rumah sakit justru meningkat. Rumah sakit harus melengkapi sarana prasarana dan peralatan untuk menghadapi serangan pandemi yang terus meningkat.
Pemerintah Jawa Timur bahkan sempat kehabisan anggaran untuk membiayai operasional rumah sakit khusus pasien Covid-19 akibat besarnya pengeluaran menghadapi pandemi. Biaya rata-rata perawatan per pasien Covid-19 adalah Rp50 juta.
Beberapa rumah sakit mulai melakukan efisiensi dengan merumahkan karyawan. RS Islam Faisal di Kota Makassar memberhentikan sementara 157 pegawainya karena kunjungan turun signifikan sekitar 80-90%. Selanjutnya 80 tenaga sukarela di RSUD Lasinrang Pinrang juga terpaksa dirumahkan karena jumlah pasien berkurang hingga 70% dibanding situasi nornal.
Perusahaan rumah sakit besar nasional juga merasakan hantaman gelombang ini. Dari enam emiten rumah sakit yang melantai di Bursa Efek Indonesia, sepanjang rentang 2 Januari-15 Mei 2020, harga saham seluruhnya jeblok. Saham Pemilik Omni Hospital ambles 51,26%, Mayapada Hospital susut 45,37%, RS Royal Prima melorot 35,26%, RS Hermina terjun 20,98%, RS Siloam jatuh 20,28%, dan RS Mitra Keluarga juga turun 12,77%.
Dampak gelombang kedua ini diperkirakan masih akan terus meningkat mengikuti peningkatan kasus Covid-19. Grafik saham mereka baru akan merangkak ketika kasus Covid-19 telah menurun dan atau kepercayaan masyarakat untuk berobat ke rumah sakit telah membaik.
Gelombang selanjutnya adalah peningkatan angka infeksi, stres, dan kelelahan tenaga kesehatan.
Sebuah studi literatur menemukan prevalensi kecemasan yang menimpa para tenaga kesehatan selama terjadinya pandemi Covid-19 cukup besar (23,2%) dan yang mengalami depresi 22,8% dari total 33.062 sampel tenaga kesehatan.
Studi lain di Singapura dan India dengan responden sebanyak 906 orang menemukan hasil 5,3% tenaga kesehatan di sana mengalami depresi.
Di Indonesia hasil penelitian menunjukkan sekitar 66% responden dari 644 tenaga kesehatan mengalami kecemasan, 55% stres dan 23,5% depresi akibat Covid-19.
Gelombang ini diperkirakan akan menghantam pelayanan kesehatan dengan durasi waktu terlama dibandingkan gelombang lainnya.
Hingga Juni, diprediksi secara global telah lebih 90.000 tenaga kesehatan terinfeksi Covid-19. Di Indonesia, data jumlah tenaga kesehatan yang terinfeksi belum tersedia.
Diprediksi telah ribuan tenaga kesehatan yang telah terinfeksi karena di Jawa Timur saja dilaporkan hingga 12 Juli telah ada 277 perawat terinfeksi. Ini belum jenis tenaga kesehatan lainnya serta kasus di provinsi lain.
Selama pandemi, tenaga kesehatan bekerja dengan intensitas waktu kerja yang panjang dalam lingkungan yang berat. Banyak potensi trauma yang harus mereka hadapi. Seperti mereka trauma karena pasien atau rekan kerja mereka yang meninggal, kekhawatiran tertular atau menularkan ke keluarga. Ada juga tekanan publik agar mereka memberikan pelayanan terbaik, hingga kurangnya pengalaman atau peralatan.
Ke depan, beban kerja tenaga kesehatan juga diprediksi akan meningkat tajam. Hal ini karena beban ganda yang akan dihadapi ketika gelombang keempat mulai menghantam pada saat gelombang lain belum mereda.
Kondisi tersebut akan menyebabkan kelelahan dan stres.
Peningkatan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit kronis adalah gelombang keempat. Berbeda dengan tiga gelombang sebelumnya yang mulai dirasakan, gelombang keempat mungkin belum terlalu dirasakan hantamannya.
Gelombang ini terjadi karena selama masa pandemi, terjadi fenomena penundaan mencari perawatan yang dilakukan oleh para penderita penyakit kronis seperti kanker, jantung, gagal ginjal dan stroke.
Dalam jangka panjang, penundaan perawatan tersebut bisa berdampak serius karena memparah sakitnya.
Secara global, menurut data riset BBC, 130.000 pasien non-Covid 19 meninggal karena tak memperoleh layanan kesehatan yang semestinya.
Untuk Indonesia, belum ada data terkait berapa jumlah orang yang telah meninggal sebagai akibat tidak langsung dari wabah virus corona.
Namun beberapa kasus kematian yang diduga akibat tidak langsung pandemi telah terjadi di masyarakat seperti kasus seorang anak di Ambon yang meninggal karena harus bolak-balik di beberapa RS untuk mendapat perawatan, seorang ibu hamil di Makassar yang keguguran, hingga pasien gagal ginjal di Jabodetabek yang meninggal diduga karena lambat mendapatkan layanan cuci darah.
Pemerintah dan para stakeholders rumah sakit harus mulai bersiap dengan respons yang tepat dan cepat untuk menghadapi hantaman empat gelombang ini. Strategi harus mulai dirumuskan dan dilaksanakan segera, agar sistem pelayanan kesehatan tidak runtuh.
Strategi utama adalah segera menekan pertumbuhan kasus baru Covid-19 di masyarakat agar rumah sakit tidak kewalahan menampung pasien. Selanjutnya pemerintah dan manajemen rumah sakit harus mulai memikirkan strategi agar akses masyarakat yang memerlukan layanan kesehatan tidak terhambat akibat pandemi.
Baca Juga: Lima Cara Tingkatkan Kekebalan Tubuh di Tengah Kenormalan Baru
Bangun lagi kepercayaan masyarakat agar tidak takut mengakses pelayanan kesehatan ketika membutuhkan. Tentu saja ini harus diikuti dengan adanya perlindungan keselamatan yang diberikan oleh pemerintah dan rumah sakit kepada masyarakat.
Memisahkan layanan infeksi dan non-infeksi atau mendirikan rumah sakit khusus infeksi di berbagai daerah serta mempercepat implementasi dan dukungan regulasi pelayanan telemedicine adalah strategi yang dapat ditempuh.
Penulis: Irwandy, Ketua Departemen Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | The Conversation Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR