Nationalgeographic.co.id – Berbicara tentang sampah plastik, masalah ini sudah menjadi krisis di lautan. Setiap tahunnya, diketahui ada delapan juta sampah ton plastik yang mengalir ke laut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jenna R. Jambeck dari University of Georgia, Indonesia bahkan disebut-sebut sebagai negara penyumbang sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia.
Dampaknya, banyak hewan laut yang tanpa sengaja terjerat atau mengonsumsi jenis sampah yang sulit terurai tersebut. Mulai dari lobster, ikan pari, lumba-lumba, ubur-ubur, bayi anjing laut, paus pilot jantan, dan yang lainnya.
Selain itu, menurut Intan Suci Nurhati, Ph.D, peneliti Iklim dan Laut dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dampak yang lebih mengerikan adalah sampah-sampah tersebut bisa terdegradasi menjadi potongan-potongan kecil (mikroplastik) dan masuk ke rantai makanan. Pada akhirnya, mikroplastik bisa sampai ke tubuh manusia, jika kita mengonsumsi hewan laut yang sebelumnya terkontaminasi sampah.
Baca Juga: Teknologi Ini Hasilkan Bahan Bakar Ramah Lingkungan dengan Fotosintesis Buatan
“Oleh sebab itu, kita harus memikirkan bukan hanya tentang ekosistem, tapi juga kesehatan dan keselamatan kita,” kata Intan, dalam acara #BerbagiCerita Menilik Masa Depan: Apakah Ekonomi Sirkular Solusi Permasalahan Lingkungan?, pada Sabtu (8/8/2020).
Menurut Intan, plastik sebenarnya diciptakan untuk membantu kehidupan manusia karena sifatnya yang tahan lama. Alam sendiri pun sudah mendesain kehidupannya sendiri sehingga seharusnya tidak akan ada limbah di alam. Yang menyebabkan banyaknya sampah di alam adalah ketidakmampuan manusia untuk mengelolanya.
“There’s no waste in the nature. Harusnya kita bisa mengikuti cara kerja alam. Mungkin mencontoh ikan kakatua yang bahkan kotorannya bermanfaat bagi terumbu karang,” paparnya.
Baca Juga: Pandemi COVID-19, Sampah Masker dan APD Banyak Ditemukan di Pantai
Ketika melakukan survei sosial selama pandemi, Intan menemukan fakta bahwa saat ini tingkat kesadaran masyarakat sudah sangat tinggi terkait isu sampah plastik. Namun sayangnya, mereka belum maksimal dalam memilah dan mendaur ulang konsumsi sampah plastiknya.
Saat ini, banyak orang menerapkan ekonomi linear, di mana langsung membuang barang yang tidak terpakai ke lingkungan sehingga menjadi sampah.
Oleh sebab itu, sebagai solusi untuk mengatasinya, muncul ekonomi sirkular, sebuah sistem yang memanfaatkan material yang ada untuk membuat barang baru atau menambah nilai barang lama lewat pengelolaan limbah yang terintegrasi.
Ekonomi sirkular akan memutar kembali barang-barang yang sudah habis manfaatnya untuk dapat digunakan kembali sebagai produk baru. Dengan begitu, bahan baku yang diambil dari alam seperti plastik akan terus berputar dalam lingkaran produksi, konsumsi, dan daur ulang tanpa berakhir di lingkungan sebagai sampah.
“Kalau pola ini sudah dibetulkan, seharusnya kita tidak akan menemukan masalah sampah plastik di lingkungan, apalagi sampai lautan, karena sebenarnya itu bermula dari daratan,” ungkap perempuan yang juga merupakan National Geographic Explorer ini.
Memulai dari rumah
Hal yang sama juga disampaikan oleh Jessica Hanafi, Ph.D, Direktur PT Life Cycle Indonesia, jika meniru gaya kerja alam, seharusnya semua hal yang kita gunakan akan berputar sendiri dengan ekosistem. Sayangnya, saat membeli barang, kita cenderung tidak memikirkan asal usul hingga akhir hidupnya. Dari mana ia berasal, terbuat dari apa, bisa didaur ulang atau tidak.
Jika semua barang tercampur dan kemudian kotor, itu tidak akan memiliki nilai ekonomis lagi. Di sisi lain, ada juga barang yang sulit didaur ulang sehingga akhirnya dibuang ke TPA, laut, atau dibakar.
“Itulah sebabnya, sangat penting untuk melakukan pemilahan sampah, dimulai dari diri sendiri dan dari rumah,” ungkap Jessica.
Baca Juga: Kisah Kantong Plastik Penolong Bumi yang Justru Sekarang Dibenci
Mempertimbangkan siklus hidup (life cycle) sebuah barang dan bertanggung jawab pascapemakaian merupakan pola yang ditiru oleh ekonomi sirkular.
“From cradle to cradle. Setiap sumber daya yang kita ambil dan setiap limbah yang kita hasilkan, itulah yang disebut sebagai dampak lingkungan. Jika kita bisa membuatnya terus berputar tanpa menyisakan sampah, maka tidak akan ada enviromental impact yang muncul. Di situlah ekonomi sirkular bekerja,” tambahnya.
Dengan adanya pandemi, menurut Jessica, saat ini orang-orang mulai memiliki perspektif baru. Mereka mulai memikirkan ulang kebutuhan sehari-hari, termasuk soal makanan. Karena khawatir akan kesulitan mendapatkan makanan, beberapa dari mereka mulai berkebun, dan pupuknya dibuat dari sisa-sisa makanan sehingga tidak ada sampah yang terbuang.
Selain itu, akibat kondisi ekonomi yang memburuk, mereka mulai menghemat pengeluaran dan membatasi diri untuk tidak membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan.
Setiap orang, dari rumahnya masing-masing, bisa berperan dalam menerapkan ekonomi sirkular demi lingkungan yang lebih baik. Menurut Jessica, cara-cara yang bisa dilakukan meliputi: memilah sampah, mencuci sampah kemasan untuk memudahkan daur ulang, mengompos, menumbuhkan sendiri makanan sehari-hari, menggunakan air AC untuk keperluan lain sehingga tidak terbuang sia-sia, menggunakan bahan alami, membeli makanan lokal, mengonsumsi makanan tidak berproses, gunakan air dan terapkan pola konsumsi yang bijak.
Meski begitu, Jessica menegaskan, ekonomi sirkular tetap membutuhkan sinergi dari berbagai pihak. “Mulai dari produsen, pengguna, anggota keluarga, komunitas, pemulung, industri, hingga pemerintah.”
Kolaborasi berbagai pihak
Hamish Daud, Founder Indonesian Ocean Pride, menyatakan bahwa di tengah permasalahan sampah ini, ada ‘momen menarik’ karena banyak orang memiliki motivasi yang sama. Ada solusi kolektif di sana.
“Kita ingin lautan bersih, jadi ada tujuan sama yang ingin dicapai, It’s hard work but we can do it,” ungkap Hamish.
Bersama dengan Indonesian Ocean Pride, Hamish membuat aplikasi Octopus yang berkaitan dengan pengumpulan dan daur ulang sampah plastik. Aplikasi ini menghubungkan konsumen atau individu yang sudah mengumpulkan dan memilah sampah nonorganik mereka dengan para pemulung yang akan membawa sampah tersebut ke bank sampah, pengepul atau pengusaha daur ulang plastik. Ini dilakukan untuk membuka rantai daur ulang agar tidak putus di satu pihak saja dan mengurangi jumlah sampah di lingkungan.
Sampah yang dikumpulkan kemudian akan dikonversikan menjadi poin yang dapat ditukar dengan uang tunai atau voucher menarik.
“Hampir semua orang punya smartphone, kenapa kita nggak menggunakan internet dengan maksimal? Dengan aplikasi ini, saya ingin membuat kota menjadi bersih dan membantu pemulung. It’s a win-win thing,” papar Hamish.
Menurut Hamish, pemulung adalah pahlawan lokal dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Keberadaan mereka memegang peran kunci dan sangat dibutuhkan. “Daripada keliling mencari sampah dan belum tentu dapat, kami memaksimalkan waktu mereka—menghubungkan pengguna aplikasi dengan para pemulung terdekat yang akan mengambil sampahnya,” jelas ia.
Aplikasi Octopus saat ini baru diuji coba di Makassar dan sudah ada 1.600 pemulung yang tergabung. Ke depannya, mungkin akan diterapkan juga di kota-kota lain di Indonesia.
Baca Juga: Bijak Menggunakan Plastik Lewat Ekonomi Sirkular
Selain konsumen dan pemulung, pihak industri atau produsen juga berperan penting dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Danone-AQUA adalah salah satu perusahaan yang sangat peduli dengan isu ini.
Ratih Anggraeni, Senior Sustainable Packaging Manager Danone Indonesia, menyatakan bahwa untuk menangani isu sampah, tidak bisa dengan solusi tunggal. Hasil penelitian dari Ellen Macarthur Foundation bahkan menunjukkan. Dengan sedemikian banyaknya sampah yang sudah ada saat ini, pengurangan konsumsi yang kita lakukan tidak akan bisa mengalahkan tingkat produksinya.
Oleh sebab itu, menurut Ratih, yang dibutuhkan adalah penerapan ekonomi sirkular yang komprehensif. “Prinsipnya ada dua: bagaimana mengurangi penggunaan sumber daya yang tidak terbarukan, juga membatasi limbah ke alam dan lingkungan,” tuturnya.
Danone-AQUA sendiri sudah menerapkan model bisnis yang sepenuhnya sirkular sejak 1983, dimulai dari produksi kemasan galon (jugs)
Galon menjadi salah satu pelopor dalam upaya menekan jumlah sampah plastik karena selalu berputar dalam lingkaran produksi. Lebih lanjut, kemasan ini menekan penggunaan sumber daya tidak terbarukan, meminimalkan produksi sampah plastik, serta memiliki karbon dan jejak air yang rendah, dan meminimalkan produksi sampah plastik.
Jika ada galon yang sudah tidak layak, itu langsung didaur ulang oleh perusahaan tanpa harus dibuang ke TPA dan dipungut satu per satu. Saat galon-galon ini kembali ke pabrik, mereka akan diseleksi, dicuci dan diisi kembali. Semuanya melalui standar yg tinggi untuk menjaga kualitasnya tetap terjaga.
Baca Juga: Saya Pilih Bumi: Mengenal 5 Aktivis Lingkungan Muda yang Menginspirasi
Kemudian, Ratih menambahkan, Danone-AQUA juga menginisiasi ekonomi sirkular lewat AQUA Peduli pada 1993.
“Jadi dulu kami memiliki program untuk membeli botol plastik bekas dari konsumen yang lalu diekspor ke luar negeri. Saat itu, kami sadar bahwa botol bekas punya potensi ekonomi sehingga diberi harga dan dikirim untuk didaur ulang,” jelas Ratih.
Yang terbaru, Danone-AQUA menginisiasi gerakan #BijakBerplastik pada 2018. Melalui gerakan ini, Danone-AQUA ingin mengajak masyarakat untuk berkontribusi pada budaya daur ulang dan aktif menjaga lingkungan. #BijakBerplastik sendiri memiliki tiga pilar utama, yaitu Collection, Education, dan Innovation.
Pada pilar Collection, Danone-AQUA berkomitmen untuk lebih banyak mengumpulkan sampah plastik dibanding yang digunakan pada 2025. Langkah ini dilakukan untuk menciptakan ekosistem pengelolaan yang lebih baik sehingga mencegah plastik menjadi sampah.
Yang kedua melalui Education, Danone-AQUA ingin mengedukasi 100 juta konsumen di Indonesia agar mau mengelola sampah mereka sendiri. Termasuk mempublikasikan beberapa materi edukasi untuk anak-anak hingga orang dewasa.
Pada pilar Innovation, Danone-AQUA terus mengembangkan teknologi daur ulang dan memastikan bahwa botol plastik bekas memiliki nilai. Danone-AQUA juga menciptakan kemasan yang 100% dibuat dari daur ulang dan 100% dapat didaur ulang kembali.
Dan tahun ini, Danone-AQUA berencana meluncurkan model Extended Producer Responsibility (EPR) di mana produsen akan mengumpulkan lebih banyak sampah kemasan dengan cara memberikan insentif. Ini diharapkan dapat meningkatkan tingkat daur ulang dari sampah kemasan yang ada di Indonesia.
“Jika produsen sudah menyiapkan produk yang lebih aman dan berkelanjutan, kami harapkan dari konsumen juga bijak menggunakan plastik. Dengan melakukan ini, kita tidak hanya lebih sehat, tapi juga berbuat baik bagi lingkungan,” pungkas Ratih.
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR