Baca Juga: Bertualang ke Pasar Zaman Mataram Kuno. Adakah Tradisi yang Berlanjut?
Bagaimana corak batik di dalam Pura Mangkunegaran? Dinamis dan modern adalah kesan yang bisa kita dapatkan.
Corak yang diciptakan pun sangatlah banyak dan mempunyai ciri yang yang sangat luwes. Batik Mangkunegaran tidak memakai pola, sehingga langsung dibatik di atas kain. Modern dan moderat adalah gaya utama dari batik Mangkunegaran.
Bagaimana dengan pola atau motif larangan di dalam Mangkunegaran? Tentu Saja ada dimana Mangkunegaran masih merupakan dalam kesatuan Imperium Mataram maka motif batik parang adalah motif yang sakral dan hanya dibolehkan oleh raja beserta turunannya.
"Memang batik Mangkunegaran sudah menyocokan dengan perkembangan moderen. Seperti dipasangkan dengan celana jins. Tanpa melupakan pakem," ucap GPH. Paundrakarna Jiwo S.
Paundra, sapaan akrabnya adalah putra sulung dari dua bersaudara pasangan KGPAA Mangkunegara IX dan Sukmawati Soekarnoputri. Dia dikenal sebagai pemain sinetron, bintang iklan, dan penyanyi Indonesia.
"Pakem pada batik mangkunegaran memiliki cirinya sendiri. Misalnya pewarnaan alam dari bunga dan getah. Warnanya lebih muda, kuning keemasan," lanjut pada paparan R.Ay Niniek Partaningrat.
Goresan pada tiap batik menyimpan doa dan harapan. Sehingga batik dianggap sebagai sebuah meditasi. Niniek agak menyayangkan bahwa banyak batik seperti motif mangkunegaran di gunakan sebagai taplak meja atau sarung bantal. Sejatinya hal tersebut mengecewakan makna filosofis dari batik itu sendiri. Karena dalam membuat batik harus puasa (memiliki jiwa bersih).
Baca Juga: Inilah Lukisan Awal Keraton Ngayogyakarta Karya Seniman VOC
Kita mungkin sudah mengetahui bahwa terjadinya perjanjian giyanti membelah dua kerajaan. Dalam perjanjian jatisari, tepat dua hari setelah perjanjian giyanti, yang benar-benar membuat pembeda antara Surakarta dan Yogyakarta. Beberapa hal termasuk di dalamnya. Tarian, gending, batik yang di wariskan dari kebudayaan Mataram ke Kraton Yogyakarta. Sementara Keraton Surakarta membuat budaya baru.
Source | : | Bincang Redaksi National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR