Nationalgeographic.co.id - Setelah bertahun-tahun mengikuti kakaknya tinggal di Makassar, Wage Rudolf Supratman, kembali ke Pulau Jawa pada 1924. Ia bekerja sebagai wartawan di Bandung dan menyumbangkan artikel-artikelnya ke surat kabar Kaoem Moeda, Kaoem Kita dan Sin Po.
Dari sana lah, W. R. Supratman tertarik dengan suasana pergerakan. Ia pun berkontribusi dalam menciptakan lagu-lagu perjuangan yang membangkitkan semangat. Gubahan pertamanya adalah sebuah lagu yang berjudul Dari Barat Sampai Ke Timur.
Baca Juga: Bincang Redaksi: 280 Tahun Geger Pacinan, Singkap Arsip VOC dan Persekutuan Cina-Jawa 1740-1743
Suatu hari, Supratman membaca sebuah artikel yang menantang para komponis Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan tanah air. Menjawab hal tersebut, Supratman menggubah lagu Indonesia Raya yang pada subjudulnya ia tulis “lagu kebangsaan”.
Pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, lagu Indonesia Raya pertama kali dikumandangkan. Kisah di baliknya sangat menarik.
Pertama kali berkumandang di Kongres Pemuda II
Sebagai wartawan koran Sin Po, Supratman pernah meliput Kongres Pemuda I yang diselenggarakan pada 30 April-2 Mei 1926. Oleh sebab itu, pada Kongres Pemuda II, ia pun diundang kembali untuk meliputnya.
Dalam acara tersebut, Supratman bertemu dengan Soegondo Djojopoespito. Dalam pertemuan itu, ia diminta Soegondo membawakan lagu Indonesia Raya dalam suatu acara di gedung Indonesische Clubgebouw, tempat dilaksanakannya Kongres Pemuda II. Namun, untuk menghindari represi agen-agen kolonial yang terus memantau keseluruhan acara, Supratman membawakan Indonesia Raya dalam gesekan biola, tanpa syair. Meskipun, sebelumnya salinan naskah lagu telah disampaikan di awal acara kepada sebagian pemuda yang hadir di kongres.
Gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan sesaat setelah W.R. Supratman membawakan lagu Indonesia Raya. Saat itu juga, Indonesia Raya diterima dan ditetapkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia.
Tak butuh waktu lama, naskah Indonesia Raya pun menyebar ke mana-mana. Koran Sin Po kemudian menerbitkan pamflet berisi naskah lagu Indonesia Raya dengan harga 20 sen per lembar. Supratman mendapatkan royalti sebesar 350 gulden atas penerbitan pamflet tersebut.
Sin Po kemudian menyiapkan sepuluh lembar pamflet untuk memenuhi permintaan warga, tapi dinas intelijen politik Hindia-Belanda menyitanya. Bergemanya lagu Indonesia Raya di hampir seluruh pelosok Nusantara membuat Belanda merasa terancam.
Pada 1930, lagu Indonesia Raya dilarang dinyanyikan di depan umum. Lagu tersebut dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan. Belanda khawatir, Indonesia Raya dapat memicu semangat kemerdekaan atau memicu pemberontakan.
Supratman pun diinterogasi pemerintah Belanda. Ia ditanya mengapa memakai kata “merdeka, merdeka”. Dia menjawab kata-kata itu diubah pemuda lainnya, sebab lirik aslinya “moelia, moelia”. Protes pun berdatangan, sampai Volksraad turun tangan.
Pemerintah Hindia-Belanda terpaksa meninjau kembali larangan yang dimaklumatkan Gubernur Jenderal. Mereka pun mengubahnya menjadi pembatasan. Akhirnya lagu Indonesia Raya minus lirik “merdeka, merdeka” boleh dinyanyikan, asal dalam ruangan tertutup.
Akhir masa penjajahan
Setelah belasan tahun dilarang oleh pemerintah Hindia-Belanda, harapan datang ketika Jepang mendarat di Indonesia dan mengusir penjajah Belanda. Awalnya, warga Indonesia mengira bahwa kemerdekaan sudah di depan mata sehingga mereka bisa menyanyikan Indonesia Raya dengan bebas.
Namun ternyata, pendudukan Jepang tidak jauh berbeda dengan Belanda. Tak lama setelah menduduki Indonesia, pemerintah Jepang melarang lagu Indonesia Raya. Bahkan, bendera merah putih juga dilarang dikibarkan.
Pada 1944, ketika posisinya dalam Perang Dunia II semakin terdesak, Jepang merasa membutuhkan bantuan pejuang Indonesia untuk bertahan. Dalam keadaan terjepit itu, mereka pun berjanji akan memerdekan Indonesia dalam waktu dekat.
Baca Juga: Hari Kesaktian Pancasila dan Sejarah Erat Terkait dengan Gestapu 1965
Di tahun yang sama, para tokoh kemerdekaan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Ada pula Panitia Lagu Kebangsaan yang terdiri atas Ir. Sukarno, Ki Hajar Dewantara, Akhiar, Bintang Sudibyo, Darmawijaya, Kusbini, K.H Mansyur, Mohammad Yamin, Sastromulyono, Sanusi Pane, Cornel Simanjuntak, A. Subarjo dan Utoyo.
Para Panitia Lagu Kebangsaan menetapkan sejumlah perubahan kecil dan penyempurnaan pada lagu Indonesia Raya. Saat diciptakan pada 1928, bahasa Indonesia belum sempurna berkembang dari bahasa Melayu sehingga terdapat beberapa kata janggal dalam liriknya. Penyempurnaan itu menghasilkan lirik baru yang dipakai sampai sekarang.
Kemerdekaan Indonesia akhirnya menjadi kenyataan pada 17 Agustus 1945. Lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan bersama oleh mereka yang berkumpul di Jalan Pengangsaan Timur 56, Menteng, Jakarta.
Pada 18 Agustus 1945, berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, Indonesia ditetapkan secara konstitusional sebagai lagu kebangsaan.
*) Dinukil dari buku Merayakan Indonesia Raya dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Penulis | : | Gita Laras Widyaningrum |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR