Adalah Ida Ayu Tresnawati atau disapa akrab Ibu Dayu, seorang dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang menciptakan tarian ini pada tahun 2017.
Diceritakan oleh Ibu Dayu, Tari Jalak Anguci ditarikan dua orang penari perempuan warga kolok dengan ciri khas busana pakaian yang menyerupai burung jalak. Gerakan tarian dibuat meniru burung Jalak yang selalu berdua, ceria, berkejar-kejaran tanpa menghiraukan burung-burung di sekitarnya
Burung Jalak juga dikenal setia. Ketika mereka menemukan pasangannya, mereka akan tetap terbang kesana-kemari berdua walaupun dalam satu penangkaran. Ini melambangkan kehidupan komunitas kolok yang hidup dalam satu desa pun akan selalu bersama.
Sementara, anguci berarti suara yang merdu. Hal ini melambangkan keberadaan Desa Bengkala dengan keunikan komunitas koloknya, sehingga harus terus dikembangkan potensinya.
Baca Juga: Menjaga Kelestarian Jalak Bali Melalui Penangkaran dan Pelepasliaran
“Saya berpikir, bagaimana (supaya) kolok ini menarikan tarian, (tapi) tidak dilihat bahwa itu adalah masyarakat kolok. Makanya, saya membuat metodologi baru, sehingga penabuh itu yang mengiringi tarian,” tutur Ibu Dayu yang turut hadir dalam acara kelas tari sore itu.
Kembali dijelaskan Ibu Dayu, peran penabuh musik juga dinilai sangat penting. Sebab, setiap pergantian gerakan, penabuh akan memberi kode pada penari lewat gerakan tertentu. Itulah sebabnya, penari kolok selalu diiringi musik secara langsung, bukan rekaman.
“Saya (ingin) menyetarakan, bahwa kita sama-sama mampu semuanya untuk berkesenian di kehidupan ini,” ujarnya.
Gerakan tarian yang sederhana
Dalam kelas tari yang digelar sore hari tersebut, Ibu Dayu ditemani oleh Kolok Darsih dan Kolok Astari memeragakan beberapa gerakan tarian sederhana yang cukup memukau.
Baca Juga: Tari Topeng Denny Malik Terinspirasi dari Pandemi
“Tarian ini memang sengaja diciptakan untuk kelompok kolok Bengkala, yang gerakannya sangat sederhana agar mereka bisa menghafalkan,” ujar Ibu Dayu menjelaskan.
Penulis | : | Yussy Maulia |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR