Teks dan foto oleh Valentino Luis
Nationalgeographic.co.id—Emanuela Fernandez berlutut takzim. Perlahan, kain lap basah diusapkannya pada sosok anak mungil menggemaskan. “Menino...,” sapanya lembut. Tangannya bergerak hati-hati, membersihkan debu di tiap inci patung kayu itu, mulai dari kaki, ke genggaman bola dunia, hingga mahkota.
Setelah dilihatnya bersih mengilap, ia meraih jubah kecil berwarna putih dengan kelim keemasan, juga mantel ungu yang kelihatannya masih sangat segar. Lalu dikenakan pada patung itu laiknya seorang ibu memakaikan pakaian terbaik bagi bayinya. Parfum jubah menebar wangi, Menino tampak berwibawa meski dalam rona seorang kanak-kanak lugu. Sebutan Menino sejatinya berasal dari bahasa Portugis, artinya anak laki-laki. Patung belia Yesus yang telah berumur ratusan tahun ini merupakan salah satu pusaka keluarga da Silva, trah raja-raja Kerajaan Sikka. Suami Emanuela, Hugo, adalah pewarisnya.
Mengikuti tradisi, setahun sekali Menino dihadirkan kepada khalayak. “Khususnya pada Hari Jumat Agung. Kami memakaikannya pakaian baru lalu menampilkannya di halaman rumah, di rute yang dilalui warga saat prosesi kesengsaraan Yesus berlangsung,” terang Emanuela. “Merawat dan mendandani Menino adalah prestise perempuan-perempuan pewarisnya. Ketika menikah dengan suami, saya sepenuhnya sadar hal ini adalah sebuah kehormatan,” tambahnya dengan nada anggun aristokratis.
Menjelang paskah di kampung Sikka sangat berbeda suasananya. Lebih hidup oleh kunjungan keluarga. Di hari-hari biasa, kampung ini sepi karena kebanyakan orang telah berpindah mengadu nasib ke berbagai penjuru, meninggalkan rumah-rumah yang rapuh serta para lanjut usia yang saban petang gemar duduk sendirian melamun di pendopo kumal. “Sebuah gambaran melankolia khas tempat-tempat yang pernah berjaya di masa lampau,” begitu komentar seorang teman.
Baca Juga: Berjumpa di Maghilewa: Cerita Sebuah Kampung di Pinggang Inerie
Memang, kampung kecil di pesisir selatan Maumere ini dulunya adalah sentra Kerajaan Sikka, nadi sebuah peradaban yang cukup berpengaruh di Flores pada Abad Pertengahan. Namun setelah Belanda masuk, kedaulatan raja menyusut, pusat pemerintahan beralih ke Maumere, politik bergulir, maka pamornya pun meredup.
Kini, orang-orang merawat kenangan berdasarkan kisah-kisah yang dituturkan antargenerasi. Sejumlah benda bersejarah menjadi media penghubung ke masa lalu, membantu meretas jejak para leluhur. Termasuk patung Menino yang menguak pertanyaan saya; Bagaimana terbentuknya relasi orang Sikka dengan agama Katolik? Bagaimana budaya Portugis masuk dan bersedimen melewati waktu?
Orang-orang Sikka memiliki ikatan emosi dengan bangsa Portugis. Dalam pandangan mereka Portugis adalah saudara. Karena ikatan ini lebih dipicu alasan religius, tidak ada kontak intensif dengan Lisbon sebagai pusat Kerajaan Portugal, melainkan lewat Malaka. Pada abad ke-16, banyak pelaut Portugis hilir mudik di perairan tenggara Indonesia, sebagian besar mereka adalah kaum Mestiços, yakni keturunan campuran Portugis-Melayu.
Meskipun legenda setempat menuturkan bahwa pantai utara Sikka pernah didatangi Santo Fransiskus Xaverius (yang bahkan membuat mukjizat mata air di pinggir laut yang disebut Wair Nokerua), relasi sesungguhnya barulah tercatat pada 1600 lewat kemunculan tokoh lokal bernama Moáng Alesu, putra kepala suku yang menjalin kontak dengan dua pelaut anak bangsawan Malaka. Moáng Alesu ikut berlayar ke Malaka dan tinggal beberapa tahun di sana, dibaptis, mendalami agama Katolik, kemudian kembali ke Sikka dan menjadi pemimpin wilayah ini.
“Sebelum Moáng Alesu, wilayah ini sudah memiliki pemimpin, tetapi barulah pada masa pemerintahan beliau istilah ‘kerajaan’ dikenal, begitu pun penggunakan gelar Dom untuk raja-raja,” urai Orestis Pareira, salah satu tetua yang saya jumpai di kampung Sikka. Rumah Orestis Pareira terpisah beberapa langkah dari kediaman keluarga Emanuela Fernandez. Kami berbincang hingga malam meretas. Dari pekarangan rumahnya yang dikerubungi tanaman, saya bisa melihat pendar menara gereja tua di seberang selatan jalan.
Baca Juga: Manu, Ngana, dan Kaba: Cerita Hewan-Hewan Kurban Orang Bajawa
“Gereja perdana buatan Portugis bernama St. Lucia, sebelum hancur dan dibangun kembali di lokasi yang berbeda tahun 1899 dengan nama St. Ignasius Loyola sebagaimana tampak sekarang,” kata pria yang mahir mencipta lagu-lagu inkulturatif etnik-gereja ini.
Gereja tua Sikka termasuk salah satu latar yang dipilih sutradara Nia Dinata untuk filmnya Ini Kisah Tiga Dara. Selain itu, sejumlah lokasi menawan di Kabupaten Sikka juga masuk dalam film ini, di antaranya Pantai Pangabatang, Hutan Mangrove Baba Akong, Koka Beach, Tanjung Kajuwulu, dan Pasar Geliting. Para pejalan membutuhkan dua-tiga hari untuk menjelajahi semuanya.
Seperti daerah-daerah Katolik dengan tradisi Portugis yang masih bertahan, Semana Santa atau Pekan Suci Paskah adalah momen yang paling dinanti di Sikka. Warga mewarisi ritual yang dinamakan Logu Senhõr.
Pada Hari Jumat Agung—mereka menyebutnya Sexta Feira—orang-orang berbondong mengerumuni gereja dan sanak famili berdatangan. Acara ini berlangsung hingga subuh, sehingga kampung pun tampak berpendar diterangi nyala lilin para peziarah.
Baca Juga: Reis, Adab Orang-orang Manggarai Barat dalam Menyambut Tetamu
Dalam balutan pakaian serba hitam, ritual Logu Senhõr melambangkan ungkapan kedukaan atas kematian Yesus. Senhõr, tak lain adalah panggilan kemuliaan bagi Sang Mesias, diimani sebagai junjungan tertinggi melebihi semua jabatan pemimpin dunia.
Di sela-sela napak tilas adegan sengsara Senhõr, sekawanan pria yang wajahnya tertutup kerudung lancip memikul peti hitam berisi salib kuno mengelilingi kampung. Suasana dipuntal kekhidmatan manakala orangorang berjalan satu per satu membungkukkan badan di bawah tandu peti itu, dan kidung berbahasa Portugis ‘Para Encontrar A Paz Interior’ diperdengarkan.
Senhõr, eu creio, mas aumenta a minha fé!
Senhõr, se quiserdes podeis curar me
(Tuhan, saya percaya, tetapi kuatkan iman saya! Tuhan, jika Engkau berkenan, Engkau dapat sembuhkan saya).
Di saat seperti itu, saya dapat melihat beberapa peziarah yang datang dengan permohonan disembuhkan, diampuni, diberkati, menyeka air mata mereka.
Bukit Maschador adalah sebuah bukit ilalang di sisi timur kampung Sikka. Anak-anak muda lokal menamainya demikian lantaran trek mendaki yang lumayan meletihkan namun menjanjikan panorama aduhai ke arah kampung, terutama momen terbenam surya. Saya mencapainya dengan napas terengah-engah.
Baca Juga: Melihat Ulang Bagaimana Sudut Pandang Menjadi Seorang Pejalan
“Sebenarnya Maschador adalah nama figur dalam Toja Bobu, sendratari warisan Portugis,” Novan Mekeng, sepupu saya dari pihak ibu angkat bicara. Kisahnya tentang seorang putri, Prinseja, memilih calon suami. Yang melamarnya ada delapan pemuda dari beragam latar pekerjaan. Masing-masing memamerkan kelebihannya kepada sang putri, yang pada akhirnya memutuskan pilihan kepada Maschador, seorang pedagang, karena renggala atau janji memberikan kehidupan yang lebih baik.
“Tapi sendratari itu sudah hampir dua dekade tak lagi dipentaskan. Dulu, Toja Bobu dipertontonkan sebagai hiburan Natal dengan naskah antik yang sulit dimengerti,” katanya menerawang. Novan dan generasi kampung Sikka yang bertahan sekarang mungkin hanyalah segelintiran yang mendamba percik-percik masa lalu bisa kembali, setidaknya melalui pariwisata.
Saya melihat kampung tua ini punya kans sangat potensial bila wisata di sini dihidupkan secara khusus. Dia telah memiliki fondasi kuat, juga ideal, entah secara historis, tradisi, maupun hal-hal lainnya. Mungkin pada pandangan pertama orang tidak mengamininya, apalagi dengan rupa yang agak terbengkalai seperti sekarang.
Barangkali impian beserta niat ini patut didaraskan di bawah duli Senhõr pada Sexta Feira mendatang. Tak elok rasanya sekian lama cuma mengenang jaya kesilaman, bukan?
UNTOLD FLORES merupakan perjalanan untuk menyingkap sejarah, budaya, alam, dan cerita manusia di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya, membangkitkan gairah perjalanan wisata berbasiskan narasi tentang sebuah tempat, sekaligus membangun kesadaran warga dan pejalan tentang pentingnya memuliakan nilai-nilai kampung halaman. Gagasan ini merupakan bagian misi National Geographic Indonesia, yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR