Jumlah terbesar jung perang Majapahit mencapai 400 kapal yang dikelompokkan menjadi 5 armada. Kapal-kapal itu mampu menampung hingga 800 prajurit dengan panjang mencapai 50 depa atau setara 100 meter. Untuk ukuran kecil, kapal ini memiliki panjang 33 meter dengan kapasitas 121 prajurit.
Dari waktu ke waktu, jung Majapahit mengalami alih fungsi. Melihat kapasitasnya yang cukup besar, kapal ini akhirnya juga dijadikan sebagai kapal dagang.
Niccolo da Conti pada abad ke-15 menggambarkan kargo Jawa tersebut memiliki ukuran yang lebih besar dari kapal terbesar bangsa Portugis pada masa itu, yakni kapal Flor de La Mar.
Baca Juga: Pesan Teladan Kemajemukan Budaya dari Metropolitan Majapahit
Menurut buku “Majapahit Peradaban Maritim” yang ditulis oleh Irwan Djoko Nugroho, Jung Jawa memiliki ukuran 4 hingga 5 kali lipat Kapal Flor de La Mar. Bahkan, kapal jung bisa memuat komoditas hingga 2.000 ton.
Berdasarkan catatan Duarte Barosa, Jung Jawa digunakan untuk melakukan perdagangan dari Asia Tenggara hingga Timur Tengah. Barang dagangan yang dibawa adalah beras, daging sapi, kambing, babi, bawang, senjata tajam, emas, sutra, kamper, hingga kayu gaharu.
Pada masa itu pula, penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya. Sebab, hampir semua komoditas rempah-rempah dari Asia ditemukan di Jawa.
Hilangnya kapal Jung
Kapal raksasa Jung Jawa yang cukup tersohor pada masanya, sayangnya tidak banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia saat ini. Gagalnya regenerasi kekuasaan Mataram disebut-sebut sebagai salah satu penyebab terkikisnya peradaban kapal jung.
Setelah Sultan Agung Mataram lengser, pemerintahan Mataram jatuh pada Amangkurat I. Pada masa pemerintahannya, Amangkurat I menjalin perjanjian dagang dengan Belanda melalui VOC.
Baca Juga: Rentetan Praktik Korupsi Pemantik Perang Jawa Pangeran Dipanagara
Perjanjian tersebut berbunyi pihak VOC diizinkan membuka pos-pos dagang di wilayah Mataram, sedangkan pihak Mataram juga diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC.
Amangkurat I juga menutup pelabuhan dan menghancurkan kapal-kapal di kota-kota pesisir, untuk mencegah pemberontakan dari pihak yang tidak setuju dengan keputusannya.
Kondisi itu semakin diperburuk ketika VOC mulai menguasai pelabuhan-pelabuhan pesisir di pertengahan abad 18. Pada saat itu, VOC juga melarang galangan kapal membuat kapal dengan tonase melebihi 50 ton dan menempatkan pengawas di masing-masing kota pelabuhan.
Hingga saat ini, peradaban kapal jung dan perjalanannya membawa komoditas rempah Nusantara ke penjuru Asia hanya tersisa menjadi sejarah yang hampir terlupakan.
Penulis | : | Yussy Maulia |
Editor | : | Sheila Respati |
KOMENTAR