Cerita oleh N.M Bondan
Foto oleh Mikael Jefrison Leo
Nationalgeographic.co.id—Melalui narasi Adiwastra Tiga Negeri, Kota Lasem seperti terisi nyawa baru. Batik Tiga Negeri perlahan bangkit lagi. Angka penjualanya kian meningkat. Pesanan dari berbagai daerah Indonesia hingga luar negeri semakin banyak. Kota Lasem tidak hanya selesai di kunjungan wisata saja. Demikian cerita Agni Malagina ketika membuka kelas Penguatan Narasi dan Interpetif Untuk Destinasi. Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari Lasem?
Pada kelas itu, Lasem didudukkan sebagai referensi. Agni mencoba berbagi hal-hal teknis terkait narasi dan interpretasi pada sesi pembuka yang ia bagi dari pengalamanya. Bagaimana ia dan media kotak kuning melebur dan menelurkan narasi-narasi berkualitas.
Seperti pada edisi "Terbit Rindu Pada Bekas Kota Candu". Petualangan Agni sangat menarik saat menyusuri petak-petak kota di pesisir pantai utara Jawa Tengah. Menjelajahi Lasem dari satu lorong ke lorong lainnya, berkunjung ke klenteng, dan eksplorasi rasa hingga wastra. Hal menarik lain yang ia sampaikan juga saat berbaur dalam aktifitas warga dari makan hingga peribadatan.
Sajian ubi rebus dan teh hangat menemani bedah narasi Lasem siang itu. Ditemani hujan semakin deras, nyaris tak pernah berhenti sejak pagi. Diskusi tetap berlangsung hangat pada siang yang dingin. Lasem pun membuat kami semua kesengsem pada hari itu.
Secara administratif Lasem berada dalam wilayah Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kota ini sangat identik dengan wisata pacinan. Bahkan Lasem juga disebut sebagai Tiongkok kecil.
Di Pulau Jawa, Lasem adalah daerah pertama tempat orang Tionghoa menjejakkan kaki dan bermukim. Akulturasi budaya pun terjadi disini.
Baca Juga: Reis, Adab Orang-orang Manggarai Barat dalam Menyambut Tetamu
Pada pembahasan Adiwastra Tiga Negeri juga dijelaskan tentang peleburan budaya Tionghoa dan Jawa pada batik. Mengalir dalam corak dan warna yang disajikan dengan sangat apik. "Persoalan utama yang dihadapi adalah batik ini telah berada diambang kepunahan", terang wanita berambut pendek itu.
Sama dengan Lasem, Flores juga memiliki banyak sisi menarik untuk dieksplorasi. Seperti tenun Flores, misalnya, sebagai salah satu kekayaan yang luar biasa nilainya. Mulai dari pembuatan benang, meracik warna, hingga menenun. Menjadikanya sebuah kain yang indah.
Tenun Flores tak lepas dari corak yang disematkan. Ia memiliki fungsi sesuai peruntukan dan ciri khas yang mengandung berbagai makna.
Menariknya, proses tenun menenun ini sangat terjaga. Sejak kecil anak-anak sudah diajarkan menenun oleh ibunya. Proses belajar ini pun berlangsung secara turun temurun.
Salah satu hal lain yang tak kalah menarik lagi pada kelas ini adalah saat Agni, yang juga dosen Universitas Indonesia itu membagikan pengalamannya kala menulis untuk National Geographic Indonesia. "Saya mungkin tak terhitung sudah berapa kali revisi tulisan pertama dan mendapat banyak omelan", kenangnya.
"Dan parahnya lagi saya tidak tahu bikin judul yang baik, tambah diomelin lagi", lanjutnya dengan ekspresi lucu.
Karena kisah-kisah yang ia ceritakan, penonton pun termotivasi dengan narasi-narasinya yang sangat apik.
Sejatinya, kelas itu memberikan banyak sekali informasi baru sekaligus menyemangati para peserta untuk mau menjelajah Flores lebih jauh lagi. Serta menumbuhkan keinginan untuk menulis cerita-cerita menarik di dalamnya.
Cerita batik Lasem yang hampir mengalami kepunahan memantik masyarakat Flores untuk lebih menjaga kebudayaan. Karena di Flores, wastra semakin tumbuh subur dan terus terjaga kelestariannya hingga saat ini.
Untold Flores ini hanyalah sebuah permulaan. Perjalanan masih panjang dan masih banyak kisah-kisah tentang pulau bunga yang belum diceritakan.
Baca Juga: Kutu Air Buas yang Menyerang Danau Superior di Amerika Utara
UNTOLD FLORES merupakan perjalanan untuk menyingkap sejarah, budaya, alam, dan cerita manusia di Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuannya, membangkitkan gairah perjalanan wisata berbasiskan narasi tentang sebuah tempat, sekaligus membangun kesadaran warga dan pejalan tentang pentingnya memuliakan nilai-nilai kampung halaman. Perjalanan ini merupakan bagian penugasan National Geographic Indonesia, yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.
Source | : | N. M Bondan & Mikael Jefrison Leo |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR