Nationalgeographic.co.id—Citra satelit baru menangkap gambar puncak putih menakjubkan dari dua gunung berapi di Big Island di Hawaii. Gambar resolusi tinggi tersebut diambil pada 6 Februari 2021 oleh Operational Land Imager (OLI) di atas satelit Landsat-8. Gambar tersebut menunjukkan kontras yang mencolok antara puncak Mauna Kea dan Mauna Loa yang tertutup salju dan batuan-batuan vulkanik di sekitarnya.
OLI adalah instrumen penginderaan jauh di atas Landsat-8 yang dirancang oleh NASA (Badan Antariksa Amerika Serikat) dan U.S. Geological Survey (Badan Geologi Amerika Serikat). Gambar mengenai salju putih yang menyelimuti puncak dua gunung berapi di Hawaii tersebut dirilis oleh Earth Observatory NASA.
Tahun ini, badai besar telah membuat puncak-puncak gunung tersebut diselimuti salju sebanyak tiga kali dalam tiga minggu terakhir, sejak 18 Januari lalu. Gambar citra satelit terbaru itu menunjukkan cakupan atau luasan salju terbesar kedua yang pernah menyelimuti puncak gunung-gunung tersebut sejak pengamatan penginderaan jauh melalui satelit terhadap gunung-gunung di Hawaii telah dilakukan sejak tahun 2000.
Haleakalā, gunung berapi aktif di Pulau Maui yang tidak meletus selama sekitar 400 tahun, dengan ketinggian 10.000 kaki atau sekitar 3.000 meter, juga sempat diselimuti lapisan salju yang jarang terjadi pada 3 Februari lalu. Lapisan salju itu kini sudah mencair.
Baca Juga: Pada Hari Pertama Musim Panas, di Wilayah Ini Justru Turun Salju
Penduduk Big Island, tempat Mauna Kea dan Mauna Loa berada, telah menikmati hujan salju yang turun di Hawaii dengan mulai menukar papan selancar laut mereka dengan papan seluncur salju. Turunnya salju di Hawaii ini menunjukkan bahwa setiap negara bagian AS, kecuali Florida, kini telah menyaksikan hujan salju musim dingin ini, sebagaimana dilansir Live Science.
Hujan salju di Hawaii terjadi sebagai akibat dari perubahan arah angin yang signifikan dari fenomena cuaca lokal yang dikenal sebagai "Kona low". Kana low adalah istilah Polinesia yang artinya "badai bawah angin".
Selama fenomena ini berlangsung, siklon yang disebabkan oleh sistem tekanan rendah di utara pulau-pulau Hawaii membalikkan arah angin dari timur laut yang biasa bergerak ke arah barat daya. Ini mengakibatkan air dari Samudera Pasifik tertarik menjadi awan badai yang mengarah ke pulau-pulau tersebut. Udara dingin juga didorong ke wilayah pulau-pulau tersebut sehingga menurunkan suhu di puncak-puncak gunung hingga di bawah titik beku dan menyebabkan turunnya salju.
Hujan salju itu juga bisa turun di seluruh area pulau-pulau Hawaii. Selain itu, Kona Low juga dapat terjadi pada bulan-bulan musim panas, yang berarti salju juga dapat turun di Hawaii selama musim panas.
Baca Juga: Rumah Letnan Arab dan Kampong Arab di dalam Kampong Cina Ternate
Selain menangkap gambar salju yang indah, satelit juga mengukur luas lapisan salju tersebut. Satelit Terra NASA telah menghitung Normalized Difference Snow Index (NDSI) --pengukuran paling akurat untuk cakupan salju yang saat ini dapat dicapai-- di Big Island sejak tahun 2000. NDSI menggunakan pengukuran cahaya tampak dan inframerah gelombang pendek untuk membedakan salju dari awan yang dapat tampak identik dari luar angkasa.
NDSI untuk Mauna Kea dan Mauna Loa biasanya mencapai puncaknya pada minggu pertama bulan Februari. Tahun ini merupakan NDSI tertinggi sejak 2014 dan tertinggi kedua dalam 21 tahun terakhir.
Sayangnya, keberadaan salju di Hawaii, terutama di gunung-gunung berapi tersebut, kemungkinan akan terus berkurang. Sebuah studi tahun 2017 yang dipimpin oleh International Pacific Research Center (IPRC) di University of Hawaiʻi di Mānoa, dengan menggunakan data satelit dan model komputer, memperkirakan bahwa hujan salju di gunung-gunung berapi kemungkinan akan berkurang sepanjang sisa abad ini karena kenaikan suhu yang disebabkan oleh perubahan iklim.
"Sayangnya, proyeksi menunjukkan bahwa rata-rata hujan salju musim dingin di masa depan akan sepuluh kali lebih sedikit dari jumlah saat ini, hampir menghapus semua tutupan salju," kata peneliti utama dalam studi tersebut, Chunxi Zhang, ahli meteorologi di IPRC, dalam sebuah pernyataan pada saat itu.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR