Di sanalah saya merasakan, betapa sulit dan beratnya para orang tua ini berhadapan dengan masyarakat yang belum menerima anak-anak mereka. Bahkan, mereka juga sulit menghadapi keluarga besar. Hal yang membuat saya sedih adalah kasus perlakuan semena-mena yang diterima oleh anak-anak berkebutuhan khusus (ABK—yang juga termasuk kaum tuna), oleh kawan-kawan satu sekolahnya.
Ages Soerjana, seorang orthopedagog atau ahli dalam bidang pendidikan untuk ABK yang memimpin diskusi tersebut, menguatkan para orang tua agar berani menghadapi masyarakat.
Saya berdiri merapat di dinding. Berusaha tak terlihat di kelas yang hanya memiliki empat murid ini (Andika, Nia, Vanessa, dan seorang lagi yang namanya tak boleh disebut terkait izin orang tua). Mereka adalah murid-murid kelas empat sekolah dasar Talitakum, Sekolah Luar Biasa C dan Autisma di Kebon Jeruk, Jakarta.
Di balik pintu, terdapat dua foto. Wajah Andika dan Nia terpampang di sana. Ade Hendra, guru yang menangani kelas itu, bertanya kepada Andika, “Yang mana Andika? Yang mana teman kamu Nia?” demikian berulang-ulang. “Mereka sudah kelas empat, tetapi sampai sekarang tidak bisa mengenali teman sekelas mereka sendiri.”
Untuk itulah ia melatih mereka, sebelum meninggalkan kelas dan pulang ke rumah masing-masing.
Sebelumnya, saat Andika maju ke papan tulis untuk memasangkan gambar, Vanessa sibuk menggoyangkan mejanya, sementara kawannya menelungkupkan kepala di atas meja. Alat bantu visual digunakan untuk memahami pelajaran yang kurikulumnya sama dengan sekolah reguler,
“Walaupun keragaman topiknya lebih sempit,” ujar Yetti Rachmawati, kepala sekolah.
Di kelas tiga yang terdiri dari Afrida, Mia, dan dua orang yang tak bisa saya sebutkan namanya, siang itu dipenuhi dengan jeritan dan suara tegas dua orang guru, Sugiarti dan Afendi. Mereka mengalami tantrum (mengamuk). Afrida yang berparas manis pergi dari tempat duduknya menuju lemari di bagian belakang kelas, dan membenturkan dirinya. Para guru menyuruhnya duduk. Namun, ia selalu kembali.
Di saat yang sama, seorang murid menangis, ia tak mau mengerjakan apa pun. Sementara itu, Mia yang biasanya ceria saat saya mengikuti kelas ini berhari-hari sebelumnya, menolak menyantap bekal. Ia mencubiti gurunya.
Kelas seberang merupakan gabungan kelas lima, enam, dan tujuh, yang terdiri dari enam orang. Semua siswa belajar dengan tenang dan terlihat mampu mengendalikan diri. Papan tulisnya dipenuhi soal matematika. Penambahan, pengulangan, perkalian. Deretan angkanya banyak. Saya terperanjat kagum. Anak-anak ini mengerjakannya dengan tekun.
Saat makan siang, salah seorang murid cantik di kelas delapan dipergoki oleh gurunya mengonsumsi minuman bersoda. Hal yang seharusnya ada dalam daftar pantangannya. Rahma sang guru pun menegurnya.
“Ibu Rahma kecewa sama saya?” ujarnya pada salah seorang guru. “Ya!” kata Rahma. “Ibu Rahma kecewa sama saya berapa persen?” “Lima ratus persen, lima ribu persen! Kecewa berat!” jawab Rahma dengan tegas. Anak itu pun berlari menahan tangis. Cara seperti ini melatih mental anak-anak tersebut, agar memiliki emosi yang lebih terkontrol.
Saya pun teringat perkataan Yetti, “Terapi perilaku bertujuan membina perilaku yang adaptif, membina perilaku yang sesuai dengan norma. Misalnya dia punya perilaku monoton. Di sini kita acak-acak, tergantung anaknya.”
Salah seorang murid merasa mual jika ia disentuh teman sekolahnya. Ia cenderung merasa jijik dengan semua orang. Apalagi teman lelaki. Jika guru-gurunya sengaja menyuruh murid lelaki untuk memegang pundaknya sebagai pembiasaan, ia akan segera menghindar dengan muka mual dan kerap kali bertanya, “Kamu sudah mandi belum?” Saya memperhatikan tingkahnya yang membersihkan meja dengan tisu secara saksama, sebelum ia meletakkan bekal dan peralatan makannya.
Penulis | : | Titania Febrianti |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR