Nationalgeographic.co.id—Direktorat Polisi Satwa di Depok, pagi itu riuh oleh gonggongan. Seekor anjing berlari di halaman berhalang rintang, sementara yang lainnya sedang berlatih di atas treadmill.
Seekor anjing mengerjap-kerjapkan mata. Rambutnya melambai ditiup hangatnya mesin pengering seusai mandi. Di sepetak teras, Patina si labrador hitam berusia tiga tahun yang bulunya berkilau-kilau, menatap saya acuh tak acuh. Ia sedang menunggu giliran berlatih, salah satunya ialah untuk mencari sumber bahan peledak.
“Dia sudah seperti si bontot,” ujar Iptu Ida Hariani, seorang polisi wanita bertubuh tegap dengan rambut terpangkas pendek, sambil melirik rekan tugasnya itu. Ida menceritakan kepada saya soal perawatan yang diterima oleh anjing-anjing yang bertugas di sini. Mulai dari kebersihan tubuh, hingga makanan dan pemeriksaan yang rutin mereka jalankan setiap minggu di vet, sebutan bagi klinik satwa di lokasi tersebut.
Patina bukanlah satwa biasa. Anjing yang satu ini telah mengikuti pendidikan pelacakan bahan peledak yang diselenggarakan di Virginia, AS, dan lulus dalam kelas terbaik, dari seratus pendidikan yang pernah diadakan.
Kedekatan sang pawang dengan anjingnya ini bahkan bisa membuat si satwa cemas saat sahabat kesayangannya tak berada di dekatnya. Suatu ketika, Ida cuti dari tugasnya. Tak lama ia mendapat kabar bahwa Patina sakit. "Panasnya waktu itu sampai 41 derajat Celsius," ujar Ida. Sembari dilanda kecemasan, ia pun kembali ke tempatnya bekerja dan segera membawa Patina ke klinik. Namun tak butuh waktu lama, suhu tubuh anjing itu pun berangsur normal, "dan ia sehat kembali," kenangnya sambil tertawa geli.
Baca Juga: Mengapa Kita Lebih Peduli pada Hewan Peliharaan Daripada Sesama?
Di dalam sebuah ruangan yang dindingnya dipenuhi oleh foto kegiatan yang dilangsungkan di Dirpol Satwa ini, Ida berkisah. Pada awalnya, ia tak terlalu berkenan saat ditugaskan di sini. Namun, lama-lama ia jatuh hati pada pekerjaannya. Ia pernah dipindahkan ke bagian lain, tetapi pikirannya selalu kembali ke rekan kerjanya yang berkaki empat, dan membuatnya kembali bertugas lagi di Dirpol Satwa.
Saya memperhatikan, dari seluruh foto yang tergantung di ruangan itu, salah satunya menampilkan puluhan polisi satwa mancanegara yang berada di depan Capitol Building, Amerika Serikat. Semuanya tampak sigap, dengan masing-masing tangan memegang tali kekang bersama anjingnya masing-masing. Ida tampak sebagai satu-satunya polisi wanita di sana.
Bertugas selama 24 tahun di Dirpol Satwa, Patina bukanlah anjing pertama yang dilatih oleh Ida. Ida selalu merasakan adanya ikatan batin dengan anjing-anjingnya. Ia sering mengajak Patina berbincang kala bersusah hati. Dan Patina tahu, kapan dirinya boleh bermanja-manja dengan Ida saat waktu bermain, atau harus serius saat menjalankan tugasnya.
Tak kenal waktu libur, pada hari Sabtu dan Minggu para pawang ini tetap harus bertugas untuk merawat anjing mereka. Tak heran jika Ida menggambarkan bahwa antara pawang dan anjing, “kedekatannya sudah seperti anak sendiri,” ungkapnya. Ia bahkan pernah pingsan, saat salah satu anjingnya mati.
Gunadi, salah seorang petugas di Dirpol Satwa, pernah “kehilangan” rekan kerjanya, karena anjing itu dipindahtugaskan ke tempat lain. “Jangan ditanya sedih atau tidak, kalau bisa saya sudah menangis sebulan sebelumnya saat tahu ia akan dipindahkan,” ujarnya.
Mengikuti kegiatan mereka selama berhari-hari, di mata saya Gunadi bagaikan orang tua yang baik. Ia tahu dengan persis bagaimana menangani Spike, seekor Belgian Malinois pelacak umum: kapan anjing itu harus mendapatkan hukuman karena nakal, mendapatkan hadiah karena berhasil menjalankan perintah dengan baik, atau yang terpenting, kapan menaikkan moral anjingnya jika satwa itu tertekan akibat dimarahi.
Saat-saat memilukan juga dirasakan Wawan, pria paruh baya yang berperawakan tambun dengan kacamata hitam yang selalu melekat di wajahnya. Ia telah bertugas selama 36 tahun di kesatuan ini. Kala ditanya pengalaman apa yang paling menimbulkan kesan di hatinya saat bertugas, ia terdiam.
Ia pun berkisah saat bertugas di Aceh, kala memburu pemberontak bersama anjingnya yang berjalan terlebih dahulu di hutan, tiba-tiba ia mendengar suara lolongan. Saat sumber suara itu didekati, ia menyaksikan anjingnya sudah terperosok ke perangkap dengan badan tertusuk kayu. Helikopter segera menerbangkan mereka ke kota terdekat, guna mendapatkan pertolongan. Namun, anjingnya tak selamat. Jika Wawan berjalan sendirian saat itu, entah apa yang akan terjadi pada dirinya.
Jasa-jasa para anjing ini tak dilupakan begitu saja. Di suatu siang yang kelam, delapan orang polisi termasuk dua petugas medis berdiri tegap melawan hujan yang mendera. Para petugas medis termasuk Adi, sang dokter, membopong Molly, seekor beagle yang terbalut kafan. Sebuah upacara kecil dilaksanakan untuk melepas kepergiannya. Prestasi Molly dibacakan, termasuk di antaranya mengungkap peredaran narkoba tingkat internasional bersama Badan Narkotika Nasional.
Anjing-anjing yang didatangkan dari Amerika Serikat dan juga Jerman ini memang telah membongkar banyak kasus. Sejak terjadi banyaknya ancaman bom, kerjasama dilakukan dengan Bureau of Diplomatic Security, Office of Anti-Terrorism Assistance (DS/ATA), dari Amerika Serikat.
Di Indonesia, sejak dahulu pasukan Polisi Satwa sudah berpartisipasi dalam operasi militer di beberapa wilayah indonesia. Di antaranya Operasi Kilat terkait Kahar Muzakar di Sulawesi (1964-1965), operasi Hasan Tiro di Aceh (1979), dan Xanana Gusmao di Timor Timur (1989). Dirpol satwa juga turut membidani lahirnya Pasukan Gegana dan Detasemen Khusus (Densus) 88.
Salah satu peran besar satwa ini adalah dalam operasi pertolongan dan penyelamatan. Gunung Salak dan Gunung Agung di Bali merupakan tempat mereka menemukan para pendaki yang hilang pada tahun 80-an.
Anjing German Shepherd yang paling melegenda adalah Asco. Didampingi pawang bernama Mardiyono, ia memecahkan seribu kasus selama hidupnya, termasuk mengungkap pembunuhan polisi pada 1976. Mati dan dikuburkan pada 1978, makam Asco terletak di sebelah Molly kini. Sebuah bentuk penghargaan bagi satwa, yang amat berjasa membantu pekerjaan manusia.
Feature "Warita Para Pawang" terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Juni 2014
Penulis | : | Titania Febrianti |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR