“Dalam adat Minangkabau, rendang memiliki posisinya tersendiri.” Pinto Anugrah, seorang sastrawan Sumatera Barat, pernah berkata kepada saya beberapa waktu lalu. Tidak akan lengkap satu prosesi pengangkatan seorang Datuk jika samba pusako, masakan adat di Minangkabau, tidak turut dipersembahkan. Samba pusako itu adalah rendang dan gulai kerbau. “Karena itu rendang stratanya berada di atas masakan lain di Minang ini,” lanjut Pinto yang tahun lalu baru saja dikukuhkan sebagai Datuk Rajo Pangulu di kampungnya.
Baca Juga: Kisah Kejayaan dan Senja Kala Sriwijaya dalam Catatan Semasa
Dari perkataan Pinto, saya menerka-nerka bahwa rendang ini sudah ada sejak lama. Bahkan dalam Hikayat Amir Hamzah yang tersohor itu pun proses marandang ini pernah diceritakan. ‘Buzurjumhur Hakim pun pergi ke kedai orang merendang daging kambing, lalu ia berkata; beri apalah daging kambing rendang ini barang segumpal’ begitu tertulis dalam hikayat yang lahir pada tengah abad ke-16 itu.
Kini, tak banyak perempuan-perempuan yang pintar memasak. Salah satu sebabnya, mereka sibuk mengurusi tugas kuliah yang dibawa pulang. Mereka pun acap melupakan belajar memasak. Sembari menemani Buk Beti memasak rendang, saya sempat menanyakan siapa yang akan melanjutkan usaha ini nantinya. Beberapa saat ia tak menjawab pertanyaan saya. Lalu, dia berujar, “Sepertinya tak ada.”
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR