“Untuak a sakola tinggi-tinggi kalau akhirnyo ka di dapua juo." Untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau akhirnya akan di dapur juga begitu kata One suatu kali kepadanya. Pesan yang pada masa dulu diterima begitu saja oleh mayoritas perempuan-perempuan Minang di kampung-kampung.
Atas nama emansipasi, idiom itu menjadi lelucon bagi sebagian perempuan-perempuan Minang masa ini. Harusnya, gerakan kesetaraan itu tak merambat ke negeri matrilineal ini. Di sini, posisi perempuan sangat terhormat. Sebagai limpapeh, tiang utama, Rumah Gadang dan kunci harta pusaka di kaumnya.
Rumah makan itu tak terlalu besar. Lebarnya hanya selebar lapangan sepak takraw. Bangunannya memanjang ke belakang. Etalase makanan ada di bagian depan. Bagian dalam rumah makan ini dinding-dindingnya didominasi warna merah muda. Dapurnya terletak di belakang, berbatas langsung dengan tembok perumahan yang disewakan untuk mahasiswa.
Baca Juga: Nagari Sijunjung: Emas Hitam Tuan De Greve sampai Jejak Jepang
Kecamatan Pauh ini adalah salah satu daerah padat di Kota Padang. Kepadatan penduduknya disebabkan oleh mahasiswa-mahasiswa berbagai daerah yang kuliah di perguruan tinggi tertua di luar Pulau Jawa yang terletak di atas Bukit Karamuntiang. Tak heran jika rumah-rumah kos tumbuh dimana-mana. Dan Rumah Makan One Nan Lamo ini adalah salah satu rumah makan pertama yang ada di daerah ini. “Ibu mau ke dapur. Rendang sudah habis.” Ia berkata kepada saya.
Tahun lalu terakhir kalinya saya melihat bagaimana rendang dibuat. Tepatnya sehari sebelum lebaran ketika saya di dapur bersama Ibu. Tak banyak pikir, saya menawarkan diri untuk turut ke dapur bersamanya.
Selama di perantauan, jarang sekali saya berada di ruang seperti ini. Dulu di kampung, sewaktu masih anak-anak saya sering menghabiskan waktu melihat kerja-kerja ibu di dapur. Tak jarang saya menjadi orang pertama yang merasakan masakan ibu, walau dengan cara mengambil diam-diam sekalipun. Sebab itulah ketika kaki saya menginjak dapur One Nan Lamo ini saya seperti sedang pulang ke rumah. Ada aroma ibu di ruang ini. Sepertinya Tan, kawan saya itu, pernah berada di sini sebelumnya. Entahlah, ia tak pernah mengatakan hal itu kepada saya.
Baca Juga: Rumah-rumah Gadang nan Meradang
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR