Nationalgeographic.co.id—Pemerintah Jepang mengumumkan pada Selasa, 13 April 2021, bahwa mereka akan membuang lebih dari satu juta ton air limbah yang terkontaminasi dari pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima ke Samudra Pasifik. Pembuangan tersebut akan mulai dilakukan pada 2023.
Sekitar 1,25 juta ton (1,13 juta metrik ton) air limbah telah terkumpul di pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi, timur laut Jepang sejak 2011. Air limbah itu terkumpul setelah gempa bumi berkekuatan 9,0 magnitudo dan tsunami yang menghancurkan wilayah Fukushima.
Bencana gempa bumi dan tsunami itu menewaskan hampir 20.000 orang, menurut NPR. Bencana ganda itu menyebabkan kehancuran di tiga dari enam reaktor pembangkit listrik tersebut, yang memicu bencana nuklir terburuk stelah bencana Chernobyl di Rusia.
Untuk menjaga inti reaktor yang tersisa agar tidak mencair, para petugas dari Tokyo Electric Power Company (TEPCO) telah memompa hampir 200 ton (180 metrik ton) air pendingin melalui situs tersebut setiap hari, menurut The New York Times. Air limbah yang terkontaminasi itu kini disimpan di lebih dari 1.000 tangki besar di lokasi tersebut.
Air limbah di tangki-tangki itu secara otomatis disaring untuk menghilangkan sebagian besar bahan radioaktif, kecuali tritium. Yang mengkhawatirkan, tritium adalah isotop radioaktif hidrogen yang dianggap berbahaya bagi kesehatan manusia bila dalam jumlah besar, menurut lembaga nirlaba Health Physics Society.
Baca Juga: Begitu Dahsyat Ledakan Beirut Lebanon sampai Atmosfer Bumi Terguncang
Sekarang, 10 tahun setelah bencana, Live Science melansir, TEPCO telah kehabisan ruangan untuk menyimpan air limbah. Rencana pembuangan yang telah disetujui dalam rapat kabinet pemerintah Jepang pada hari Selasa, akan melibatkan proses pengaliran air limbah secara bertahap ke Samudra Pasifik, kemungkinan besar selama beberapa dekade.
Pembangkit nuklir di seluruh dunia secara rutin membuang air yang mengandung sejumlah kecil tritium ke laut, menurut Times. Juru bicara dari Departemen Luar Negeri AS menyebut rencana tersebut "sesuai dengan standar keselamatan nuklir yang diterima secara global."
Namun, rencana tersebut telah banyak ditentang oleh warga Jepang dan negara-negara tetangga lainnya. Sebab, banyak warga Jepang maupun warga di negara-negara tetangga lainnya menggantungkan hidup mereka pada perairan Samudra Pasifik.
Satu kekhawatiran besar adalah bahwa klaim TEPCO tentang keamanan air mungkin salah. Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Science pada Agustus 2020 menemukan jejak beberapa isotop radioaktif lainnya di air limbah Fukushima, banyak di antaranya membutuhkan waktu lebih lama untuk meluruh daripada tritium.
Baca Juga: Takdir Bom Atom 'Ketiga' Sekutu dan Para Ilmuwan yang Jadi Korbannya
Beberapa dari bahan radioaktif tersebut mungkin telah masuk ke tubuh satwa-satwa liar setempat. Pada bulan Februari, media Jepang melaporkan bahwa pengiriman rockfish dihentikan setelah sampel ikan yang ditangkap di dekat Fukushima itu diketahui mengandung tingkat radioaktif cesium yang tidak aman.
Para nelayan lokal sangat khawatir bahwa membuang air limbah Fukushima ke laut dapat berdampak negatif pada industri mereka. Para nelayan itu telah menderita secara signifikan akibat bencana nuklir Fukushima sebelumnya.
Menurut NPR, tangkapan ikan di daerah tersebut hanya menghasilkan 17,5% dari tingkat penangkapan sebelum bencana tersebut. Para nelayan khawatir bahwa pekerjaan mereka akan menjadi sesuatu yang "mustahil" jika pemerintah melanjutkan rencana pembuangan air limbah nuklir tersebut ke laut.
Beberapa jam setelah pengumuman rencana tersebut, para pengunjuk rasa berkumpul di luar kantor pemerintah di Tokyo dan Fukushima. Juru bicara pemerintah dari China dan Korea Selatan juga mengutuk keputusan pemerintah Jepang tersebut.
Baca Juga: Kiat Memilih Cokelat Agar Dampaknya Terhadap Perubahan Iklim Rendah
Source | : | The New York Times,NPR,Live Science,Times |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR