Nationalgeographic.co.id—"Sumpah yang diikrarkan Gajah Mada itu tidak terbukti,” Hasan Djafar berkata. Pernyataannya telah menghentak pemahaman kami malam itu. “Itu baru keinginan Gajah Mada, bukan bukti penaklukan,” ujarnya.
Dentangan gong pembuka telah menyirnakan kegaduhan rasa. Gemintang jatuh bertaburan di langit Candi Brahu. Sekelompok lelaki bertelanjang dada, berkain sarung dan berikat kepala serba hitam berbaris rampak. Setiap lelaki itu membawa semacam sesajen. Mereka menapaki satu per satu anak tangga, kemudian berjajar menghadap pintu di tubuh candi.
Setelah menjalani ritual keselamatan, sebagian lelaki itu berpencar dan duduk bersila di sudut-sudut teras candi. Sementara beberapa orang dengan busana senada, mengelilingi candi secara pradaksina. Mangkuk Buddha berdengung, sejenak suasana malam menjadi mistis dan tenang.
Mang Hasan, demikian sapaan akrabnya, merupakan salah satu begawan arkeologi, epigrafi, dan sekaligus sejarah kuno Indonesia. Meskipun usianya kini mendekati 75 tahun, tak tampak keletihannya untuk berbagi. Kami tengah melancongi tapak jejak Ibu Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan dalam sebuah program dari Gelar Nusantara.
Baca Juga: Pada Suatu Mi: Untaian Gastronomi dari Dinasti Tang sampai Majapahit
Kami lesehan beralas rerumputan sembari menantikan pementasan Kidung Tari Rajapatni di pelataran Candi Brahu. Kawasan ini diyakini, berdasar temuan arkeologi, menjadi tempat suci pada zaman Mataram Kuno, sejak seribu tahun silam, dan berlanjut hingga akhir zaman Majapahit.
Pentas ini merupakan puncak dari Festival Trowulan Majapahit yang digelar selama November silam. Festival ini ditujukan untuk memperingati berdirinya Kerajaan Majapahit ke-721. Peristiwa bersejarah itu ditandai bertakhtanya Raden Wijaya sebagai raja pertama Majapahit pada 10 November 1293.
Saya dan sebagian kawan seperjalanan bertanya-tanya, mengapa perayaan ini bisa bertepatan dengan Hari Pahlawan?
“Sumbernya dari Kidung Harsawijaya, gubahan anonim, pada zaman akhir Majapahit,” ujar Mang Hasan sambil duduk bersila. “Menyebutkan penobatan raja pertama Majapahit pada hari ke-15, bulan Kartika, tahun 1216. Itu puncak purnama!” Setelah penghitungan dengan metode kalender Masehi, terungkaplah tanggal yang kebetulan bertepatan dengan Hari Pahlawan.
Sembari menanti dimulainya pentas Kidung Tari Rajapatni, saya bertanya tentang siapa sejatinya Gayatri Rajapatni. Mang Hasan menuturkan kepada saya bahwa kejayaan Majapahit tidak bisa dipisahkan dari kehadiran sosok perempuan tersebut. “Gayatri merupakan satu di antara empat istri Raden Wijaya—Raja Majapahit pertama,” ujarnya. “Dia adalah putri Kertanegara asal Singhasari. Dari Gayatri itulah lahir penerus takhta Majapahit yang bernama Tribhuanna Wijayatungga Dewi.”
Kelak raja-raja di Majapahit berikutnya menurunkan titisan mereka yang bertakhta di Jawa hingga kini. Mereka adalah untaian raja-raja Kasultanan Mataram dan Kasunanan Surakarta, juga dua kerajaan kecil yang menyertai keduanya.
PENDARAN SULUH TERPANCANG di pelataran Candi Brahu. Sinaran lampu jingga yang temaram telah menampakkan romansa lekuk guratan wajah candi batu bata merah yang cendayam, namun rapuh. Sementara umbra di sisi lainnya seolah sengaja menyembunyikan teka-teki repihan keagungan peradaban masa klasik negeri ini.
Teka-teki repihan Majapahit di Trowulan—tampaknya nama baru dari Trang Wulan—pertama kali diendus oleh insinyur militer Hindia Belanda, Kapten Johannes W.B. Wardenaar pada 1815.
Dia berekspedisi ke desa itu atas perintah Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles. Misi utamanya, pengamatan reruntuhan kuno dan tinggalan arkeologi di sekitar Mojokerto. Tahun ini tepat kiranya kita memperingati 200 tahun penelitian tentang Majapahit oleh Wardenaar.
Baca Juga: Tiga Kerangka Manusia Ditemukan di Situs Istana Kerajaan Majapahit
Namun, Raffles pun keliru soal Candi Brahu dalam bukunya yang sohor, History of Java yang terbit pertama kali pada 1817. Lelaki Inggris itu jelas-jelas menyebutkan keterangan sebuah sketsa yang mengacu pada bangunan tersebut sebagai “salah satu pintu gerbang Majapahit.”
Wardenaar menyaksikan reruntuhan bangunan di Dusun Kedaton, kemudian membuat petanya yang kini tersimpan di British Museum. Kami meniti jejak Wardenaar di suatu sore, menyaksikan situs yang sama: Sehamparan struktur batu bata yang tumpang tindih dan ruwet. Sulit sekali menerka fungsi bangunan ini pada masanya.
Di seberangnya, kami menyaksikan hasil kerja keras para ahli arkeologi Indonesia yang berhasil menampakkan struktur rumah bangsawan dengan lantai terakota bersegi enam. Mungkin inilah bagian keraton Majapahit, entahlah, kami hanya bisa membayangkannya.
BAYANG-BAYANG KAMI nyaris hilang karena teriknya mentari di tepian jalan raya Mojokerto-Jombang. Berjalan menuju ke gapura tinggalan Majapahit, membuat keringat kami bercucuran bagai sekerat sirloin yang terpanggang.
Padahal, ketika Kapten Wardenaar mengunjungi tempat ini dua abad silam, gapura itu berdiri di hamparan rerumputan dan alang-alang yang dikepung pepohonan rapat dan rindang.“Sisa-sisa gapura Majapahit yang dijuluki sebagai Gapura Jatipaser,” demikian laporannya kepada Raffles yang menampilkan sketsa gapura yang salah satu sisinya roboh separuh. Lewat namanya, konon, memang pernah ada pasar di sekitar sini.
Boleh jadi, lantaran laporan itulah sampai sekarang orang masih menghubungkan gapura ini sebagai pintu masuk ke Kerajaan Majapahit. Saya juga pernah mendengar dari cerita lisan dari warga setempat bahwa gerbang ini menuju ke kediaman Gajah Mada, Patih Majapahit yang sohor. Namun, sampai sekarang tak satu pun orang yang bisa menjelaskan secara pasti kompleks bangunan yang berada di balik gapura itu.
Baca Juga: Runtuhnya Majapahit dan Kronik Kesultanan Pertama di Tanah Jawa
“Nah, ini dari petanya NatGeo,” ujar Mang Hasan seraya membuka lipatan poster dua sisi “Kota Agung yang Sirna”—sisipan National Geographic Indonesia edisi September 2012.
Setelah dibentangkan, Mang Hasan menunjuk sebuah kawasan yang dikelilingi oleh jaringan kanal kuno, “Paling tidak pusat kotanya di sini.” Kemudian alat penunjuknya bergeser ke pinggiran, “Dan di sinilah Gapura Wringin Lawang.”
Di dalam lembaran poster, gapura itu terletak agak jauh di pinggiran utara sebuah permukiman padat sekitar abad ke-14 yang luasnya kira-kira 20 kilometer persegi, lengkap dengan sistem jaringan kanal dan waduknya. Inilah keruangan Metropolitan Majapahit di Trowulan. Sisi lainnya menampilkan kluster permukiman, rupa hunian warganya hingga suasana hiruk-pikuk kehidupan di tepian kanal kotanya.
HIRUK PIKUK ITU BERASAL dari anak-anak Pramuka yang berkerumun di tepian kolam kuno, Dusun Dinuk. Mereka menyanyikan “Tepuk Pramuka” yang telah diadaptasi dengan jenaka dan sedikit ngeres sehingga membuat siapa saja yang mengerti bahasa Jawa akan tertawa. Termasuk saya.
Kapten Wardenaar tentu tidak pernah menjumpai kolam kuno ini. Bangunan ini baru ditemukan pada 1914, sekitar seabad setelah Wardenaar berjejak di Trowulan. Awalnya, warga melaporkan kepada Bupati atas temuan miniatur candi di permakaman. Ketika mereka berupaya menggalinya, mereka menjumpai tikus-tikus sawah lari kocar-kacir. Lalu, orang dengan mudahnya menjuluki sebagai “Candi Tikus”.
Sejatinya ini bukan candi, melainkan petirtaan. Kami berdiri di tepian, sembari memandangi sebuah bangunan kolam dari batu bata. Di tengah kolam terdapat pancuran berbentuk kepala makara, satwa air berbelalai mirip gajah dalam mitologi kuno.
Baca Juga: Studi Ikonografi Mengungkap Puncak Keindahan Seni Pahat Majapahit
“Nah, ruangan itu pemandiannya,” ujar Mang Hasan sembari menunjuk sebuah bilik yang berdinding rendah. “Kalau ada yang mandi di situ bisa kelihatan dong, Pak?” tanya seorang kawan seperjalanan. Mang Hasan menjawab sembari berkelakar jenaka, “Itu seni!”
“Diduga ini dibuat pada zaman Sindok—Mataram Kuno,” sambungnya. “Namun masih eksis dan digunakan pada zaman Majapahit.” Pandangan Mang Hasan mengarah pada menara pancuran, lalu dia berkata, “Ini melambangkan Mahameru tempat bersemayamnya para dewata.” Kemudian dia menunjuk dasar kolam yang mengering, “Ini semacam lautan yang berlapis-lapis. Yang mandi di sini adalah para raja ketika ada upacara.”
Kenapa petirtaan kuno perlambang persemayaman suci dewata itu justru menyandang nama satwa pengerat yang menjijikkan? Inilah takdir petirtaan kuno yang kurang beruntung itu.
DARI PETIRTAAN KUNO itu kami menuju Museum Majapahit Trowulan. Lokasi museum itu mudah ditemukan lantaran lokasinya tak jauh dari Segaran, sebuah kolam tinggalan zaman Majapahit yang luasnya sekitar enam kali lapangan sepak bola!
Baca Juga: Pesan Teladan Kemajemukan Budaya dari Metropolitan Majapahit
Kami menyimak Mang Hasan yang tengah menerjemahkan satu per satu isi prasasti koleksi museum. Sekonyong-konyong dia memanggil saya seraya menunjuk sebuah studio mungil di tengah koleksi prasasti. Di salah satu dindingnya bergambar kepala Tyranosaurus dengan tulisan “3D Majapahit. Tunjukkan Nyalimu di dunia 3 Dimensi”.
Hal yang membuatnya sangat terpukul adalah sejumlah prasasti yang seharusnya terhormat justru seolah tercampakkan sebagai penghias dinding studio tersebut. Celakanya, sebuah prasasti bersanding mesra bersama sapu lidi dan pengki. “Salah satunya prasasti masa Girindrawardana, raja terakhir Majapahit.”
“Kita kadang prihatin melihat hal seperti itu,” ujarnya kala beranjak dari museum. “Satu sisi Majapahit kerap diagungkan, namun di sisi lain pelestariannya kurang. Yang diawasi saja tidak diperhatikan, apalagi situs yang di luar sana.”
Perusakan terhadap situs Majapahit terjadi setiap hari di Trowulan. Pada musim kemarau, terdapat ribuan linggan, atau gubuk pabrik batu bata tradisonal, yang menggerus temuan tapak leluhur. Namun, itulah mata pencarian utama mereka.
Kami mengunjungi salah satu linggan di Dusun Grogol, menuruni tangga setapak menuju galian penambangan batu bata. Saya menyaksikan remah sederet batu-batu yang merupakan lantai pekarangan rumah zaman Majapahit—yang segera lenyap hari itu juga!
Baca Juga: Dari Editor Juni 2019: Raffles dan Refleksi Kebinekaan di Tengger
Adrian Perkasa, yang saat itu menjabat sebagai direktur eksekutif Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, muncul dengan wajah semringah dari salah satu linggan. Warga setempat boleh jadi mudah mengakrabinya lantaran Adrian pernah sebagai aktor layar lebar Ketika Cinta Bertasbih dan Cinta Suci Zahrana. Dia menunjukkan kepada saya tembikar yang diperolehnya dari seorang pembuat batu bata: Selubung tiang rumah zaman Majapahit!
Pemburu barang antik pernah berkeliaran untuk membeli temuan warga. Namun, tampaknya kini warga dengan sukarela menyerahkan temuan kepada petugas pelestari. Adrian berujar sembari bercanda, “Warga sepertinya sekarang lebih percaya menyerahkan ini kepada kami.”
Di Desa Jatisumber, saya berjumpa dengan guru besar arkeologi dari Universitas Indonesia, Mundardjito, yang telah menyelisik kawasan Trowulan selama lebih dari 30 tahun. Dia juga salah satu dewan pakar di National Geographic.
Kami berdiskusi ringan. Baginya, repihan Majapahit di Trowulan merupakan satu-satunya metropolitan kuno yang dimiliki Indonesia sehingga pembangunan kawasan ini harus memperhatikan kelestarian situs arkeologi. Bahkan, menurut World Monument Watch, Trowulan merupakan salah satu dari 67 situs di dunia yang terancam.
“Situs semakin sedikit, permasalahan semakin kompleks,” Mundardjito berkata lirih, kemudian dia menenggak minuman isotonik yang selalu dibawanya. Pembangunan kawasan di Trowulan bukan saja sekadar ancaman, melainkan telah mengikis situs Trowulan. Politik pelestarian cagar budaya selama ini belum tergarap dengan benar, juga soal sumber daya manusia yang mengelolanya, demikian hematnya. “Terus terang saja saya kecewa.”
Baca Juga: Lima Fakta Tentang Majapahit, Kerajaan Terbesar di Nusantara
Sendratari itu membawa semangat keagungan Majapahit ke abad sekarang. Gayatri digambarkan sebagai sosok mandiri yang memperjuangkan makna perempuan dalam kehidupan masayarakat. Sosoknya berkelindan dengan intrik politik, masalah sosial, hingga—seperti sinetron masa kini—kisah asmara. Singkat cerita, Gayatri turut mengantarkan Majapahit dari sebuah permukiman tepian Brantas hingga menjadi kerajaan termahsyur.
Tibalah adegan saat Tribhuana, seorang putri dari Gayatri, melantik Gajah Mada sebagai Patih Majapahit. Mata saya yang mengantuk, kembali memarak bak sumbu granat tatkala seorang lelaki yang memerankan Gajah Mada memekikkan sumpah yang konon mengikat rasa emosional bangsa Indonesia.
Sumpah Palapa merupakan pernyataan politiknya untuk menundukkan kerajaan-kerajaan lain di bawah payung Majapahit, demikian cerita pengantar tidur yang kerap dituturkan orang-orang tua terdahulu.
“Kalau sudah kalah Nusantara, saya akan beristirahat. Kalau kalah Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, ketika itulah saya akan beristirahat,” kata Mang Hasan menerjemahkan makna Sumpah Palapa tadi dalam kesempatan berbeda.
Namun, menurutnya, sumpah yang diikrarkan Gajah Mada itu tidak terbukti karena sampai Majapahit berakhir, umumnya “daerah-daerah tadi merupakan kerajaan yang merdeka.”
Baca Juga: Menyusuri Majapahit dengan Panduan Peta National Geographic Indonesia
Tafsiran ini merupakan hal baru bagi saya karena tidak pernah diajarkan dalam pelajaran semasa sekolah. Apakah sejarah kita telah dicampuri urusan politik pembentukan jati diri bangsa?
Sumpah itu “tidak ada hubungannya dengan buah palapa,” ungkap Mang Hasan. “Pala itu dalam arti harafiahnya adalah buah, namun di sini artinya kenikmatan atau mengemban tugas.” Dalam konteks ini “amukti palapa” merujuk beristirahat atau pensiun. Artinya, Gajah Mada tidak akan menjabat lagi, demikian ujarnya, kalau kerajaan-kerajaan itu sudah dikalahkan oleh Majapahit.
Setidaknya perjalanan saya tidak sekadar menziarahi kembali tanah leluhur, tetapi juga memberikan sepasang mata baru untuk menyaksikan teladan leluhur tentang perbedaan.
Ma Huan, salah seorang penerjemah dan ahli tafsir armada Cheng Ho, pernah berjejak di Ibu Kota Majapahit pada awal abad ke-15. Dalam catatan perjalannya, ada tiga golongan warga di Majapahit: Muslim yang datang sebagai pedagang dari Barat, orang Cina Dinasti T’ang yang juga muslim, dan warga pribumi yang beragama Hindu-Buddha.
Kemajemukan di Indonesia merupakan harmonisasi yang luar biasa—dan seharusnya demikian. “Di Majapahit, tampak adanya kerukunan agama Hindu, Buddha, dan Islam,” ujar Mang Hasan. “Jadi kalau kita masih ngomongin perbedaan, itu kuno sekali.”
—Artikel ini pernah terbit dengan judul Bersimpuh di Tanah Leluhur Para Raja Jawa pada 26 Desember 2015.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR