Adrian Perkasa, yang saat itu menjabat sebagai direktur eksekutif Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, muncul dengan wajah semringah dari salah satu linggan. Warga setempat boleh jadi mudah mengakrabinya lantaran Adrian pernah sebagai aktor layar lebar Ketika Cinta Bertasbih dan Cinta Suci Zahrana. Dia menunjukkan kepada saya tembikar yang diperolehnya dari seorang pembuat batu bata: Selubung tiang rumah zaman Majapahit!
Pemburu barang antik pernah berkeliaran untuk membeli temuan warga. Namun, tampaknya kini warga dengan sukarela menyerahkan temuan kepada petugas pelestari. Adrian berujar sembari bercanda, “Warga sepertinya sekarang lebih percaya menyerahkan ini kepada kami.”
Di Desa Jatisumber, saya berjumpa dengan guru besar arkeologi dari Universitas Indonesia, Mundardjito, yang telah menyelisik kawasan Trowulan selama lebih dari 30 tahun. Dia juga salah satu dewan pakar di National Geographic.
Kami berdiskusi ringan. Baginya, repihan Majapahit di Trowulan merupakan satu-satunya metropolitan kuno yang dimiliki Indonesia sehingga pembangunan kawasan ini harus memperhatikan kelestarian situs arkeologi. Bahkan, menurut World Monument Watch, Trowulan merupakan salah satu dari 67 situs di dunia yang terancam.
“Situs semakin sedikit, permasalahan semakin kompleks,” Mundardjito berkata lirih, kemudian dia menenggak minuman isotonik yang selalu dibawanya. Pembangunan kawasan di Trowulan bukan saja sekadar ancaman, melainkan telah mengikis situs Trowulan. Politik pelestarian cagar budaya selama ini belum tergarap dengan benar, juga soal sumber daya manusia yang mengelolanya, demikian hematnya. “Terus terang saja saya kecewa.”
Baca Juga: Lima Fakta Tentang Majapahit, Kerajaan Terbesar di Nusantara
Sendratari itu membawa semangat keagungan Majapahit ke abad sekarang. Gayatri digambarkan sebagai sosok mandiri yang memperjuangkan makna perempuan dalam kehidupan masayarakat. Sosoknya berkelindan dengan intrik politik, masalah sosial, hingga—seperti sinetron masa kini—kisah asmara. Singkat cerita, Gayatri turut mengantarkan Majapahit dari sebuah permukiman tepian Brantas hingga menjadi kerajaan termahsyur.
Tibalah adegan saat Tribhuana, seorang putri dari Gayatri, melantik Gajah Mada sebagai Patih Majapahit. Mata saya yang mengantuk, kembali memarak bak sumbu granat tatkala seorang lelaki yang memerankan Gajah Mada memekikkan sumpah yang konon mengikat rasa emosional bangsa Indonesia.
Sumpah Palapa merupakan pernyataan politiknya untuk menundukkan kerajaan-kerajaan lain di bawah payung Majapahit, demikian cerita pengantar tidur yang kerap dituturkan orang-orang tua terdahulu.
“Kalau sudah kalah Nusantara, saya akan beristirahat. Kalau kalah Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, ketika itulah saya akan beristirahat,” kata Mang Hasan menerjemahkan makna Sumpah Palapa tadi dalam kesempatan berbeda.
Namun, menurutnya, sumpah yang diikrarkan Gajah Mada itu tidak terbukti karena sampai Majapahit berakhir, umumnya “daerah-daerah tadi merupakan kerajaan yang merdeka.”
Baca Juga: Menyusuri Majapahit dengan Panduan Peta National Geographic Indonesia
Tafsiran ini merupakan hal baru bagi saya karena tidak pernah diajarkan dalam pelajaran semasa sekolah. Apakah sejarah kita telah dicampuri urusan politik pembentukan jati diri bangsa?
Sumpah itu “tidak ada hubungannya dengan buah palapa,” ungkap Mang Hasan. “Pala itu dalam arti harafiahnya adalah buah, namun di sini artinya kenikmatan atau mengemban tugas.” Dalam konteks ini “amukti palapa” merujuk beristirahat atau pensiun. Artinya, Gajah Mada tidak akan menjabat lagi, demikian ujarnya, kalau kerajaan-kerajaan itu sudah dikalahkan oleh Majapahit.
Setidaknya perjalanan saya tidak sekadar menziarahi kembali tanah leluhur, tetapi juga memberikan sepasang mata baru untuk menyaksikan teladan leluhur tentang perbedaan.
Ma Huan, salah seorang penerjemah dan ahli tafsir armada Cheng Ho, pernah berjejak di Ibu Kota Majapahit pada awal abad ke-15. Dalam catatan perjalannya, ada tiga golongan warga di Majapahit: Muslim yang datang sebagai pedagang dari Barat, orang Cina Dinasti T’ang yang juga muslim, dan warga pribumi yang beragama Hindu-Buddha.
Kemajemukan di Indonesia merupakan harmonisasi yang luar biasa—dan seharusnya demikian. “Di Majapahit, tampak adanya kerukunan agama Hindu, Buddha, dan Islam,” ujar Mang Hasan. “Jadi kalau kita masih ngomongin perbedaan, itu kuno sekali.”
—Artikel ini pernah terbit dengan judul Bersimpuh di Tanah Leluhur Para Raja Jawa pada 26 Desember 2015.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR