Kami lesehan beralas rerumputan sembari menantikan pementasan Kidung Tari Rajapatni di pelataran Candi Brahu. Kawasan ini diyakini, berdasar temuan arkeologi, menjadi tempat suci pada zaman Mataram Kuno, sejak seribu tahun silam, dan berlanjut hingga akhir zaman Majapahit.
Pentas ini merupakan puncak dari Festival Trowulan Majapahit yang digelar selama November silam. Festival ini ditujukan untuk memperingati berdirinya Kerajaan Majapahit ke-721. Peristiwa bersejarah itu ditandai bertakhtanya Raden Wijaya sebagai raja pertama Majapahit pada 10 November 1293.
Saya dan sebagian kawan seperjalanan bertanya-tanya, mengapa perayaan ini bisa bertepatan dengan Hari Pahlawan?
“Sumbernya dari Kidung Harsawijaya, gubahan anonim, pada zaman akhir Majapahit,” ujar Mang Hasan sambil duduk bersila. “Menyebutkan penobatan raja pertama Majapahit pada hari ke-15, bulan Kartika, tahun 1216. Itu puncak purnama!” Setelah penghitungan dengan metode kalender Masehi, terungkaplah tanggal yang kebetulan bertepatan dengan Hari Pahlawan.
Sembari menanti dimulainya pentas Kidung Tari Rajapatni, saya bertanya tentang siapa sejatinya Gayatri Rajapatni. Mang Hasan menuturkan kepada saya bahwa kejayaan Majapahit tidak bisa dipisahkan dari kehadiran sosok perempuan tersebut. “Gayatri merupakan satu di antara empat istri Raden Wijaya—Raja Majapahit pertama,” ujarnya. “Dia adalah putri Kertanegara asal Singhasari. Dari Gayatri itulah lahir penerus takhta Majapahit yang bernama Tribhuanna Wijayatungga Dewi.”
Kelak raja-raja di Majapahit berikutnya menurunkan titisan mereka yang bertakhta di Jawa hingga kini. Mereka adalah untaian raja-raja Kasultanan Mataram dan Kasunanan Surakarta, juga dua kerajaan kecil yang menyertai keduanya.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR