Cerita dan foto oleh Feri Latief
Nationalgeographic.co.id—Ada sedikit kesibukan di lahan kebun kopi keluarga Bapak Mensi, 35 tahun, asal Desa Colol, Manggarai Timur, Flores Nusa Tenggara Timur.
Prak! Prak! Prak! Terdengar bunyi golok menghantam batang bambu yang baru saja diambil dari kebun. Bambu dipotong-potong mengikuti ukuran ruasnya. Sedikitnya ada 20 lebih ruas bambu yang telah dipotong.
Ruas-ruas bambu yang telah dipotong lalu dimasukan daun aren sepanjang lubangnya, lalu berturut-turut beras dan air. Rupanya klan keluarga Mensi sedang membuat nasi bambu yang disebut Tapa Kolo dalam bahasa lokalnya.
“Biasa kami di sini sebelum melakukan panen kopi kami melakukan acara Tapa Kolo,” jelas Mensi.
“Kami lakukan ini setiap tahun, setiap kali pemetikan awal,” lanjutnya lagi.
Kaum perempuan pun sibuk di dapur, menyiapkan masakan untuk disantap bersama setelah ritual panen kopi yang dalam bahasa lokalnya di sebut Adak Pua Kopi.
Tradisi sudah dilakukan turun menurun dengan tujuan untuk berterimakasih kepada ruh-ruh luluhur yang telah membuka desa ini, menanam dan mewariskan kebun kopi juga kepada wujud tertinggi yang menjaga kebun mereka sehingga bisa dipanen.
Orang Manggarai sudah mengenal wujud tertinggi yang disebut Mori Jari agu Dedek jauh sebelum agama-agama semit masuk dan mengenalkan tuhan dalam persfektif dan bahasa semit. Tak heran ada perusahaan kopi terkenal di Manggarai menggunakan kata Golomori sebagai brandnya. Golo artinya gunung sementara Mori artinya Tuhan dalam konteks Manggarai.
Saat Tapa Kolo atau nasi bambu telah matang, maka keluarga besar Mensi pun membawa beberapa ruas nasi bambu menjejaki bukit menuju kebun kopi.
Desa Colol terletak di Lembah Colol, perkebunan kopi pertama di Manggarai yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1920-an. Colol berada di ketinggian 1200-1600 mdpl. Dari sinilah kemudian tanaman kopi menyebar ke seluruh Manggarai, Flores. Ada enam desa penghasil kopi di lembah tersebut.
Baca Juga: Studi Terbaru Coba Ungkap Identitas Manusia Hobbit dari Flores
Colol penghasil kopi legendaris: Kopi Juria! Yang tidak ditemukan di daerah lain. Kopi Juria sudah berumur 100 tahun lebih. Karena sudah berumur tua maka pohonnya pun menjulang tinggi. Memanen buahnya harus menggunakan cagak bambu yang dibentangkan dari pohon ke pohon sebagai jembatan. Karena pohonnya sudah tua pula maka hasilnya panennya p[un sedikit, membuat kopi ini semakin sudah didapat dan mahal nharganya.
Selain itu lembah Colol penghasil kopi Yellow Caturra yang buahnya berwarna kuning jika sudah matang. Ini juga termasuk kopi yang langka. Juria dan Yellow Caturra termasuk jenis kopi Arabika.
Khusus untuk Desa Colol, terdapat 600 kepala keluarga (KK) yang 75% nya atau 450 KK dalah petani kopi. Menurut Yoseph Janu, Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Grafis (MPIG) Kopi Arabika Flores Manggarai, pada tahun 2020 yang lalu tercatat 74 orang petani kopi anggotanya menghasilkan 21 ton kopi untuk semua varietas. Kalau itu dijadikan acuan maka 450 KK menghasilkan kopi lebih dari 127 ton pertahun!
Baca Juga: Labuan Bajo Tak Hanya Komodo, Ada Aroma Juria Mengguncang Dunia
Untuk hasil panen seluruh petani kopi dari enam desa di Lembah Colol menurut Ronaldi Igu, Ketua Komunitas Gejur yang menjadi tempat berkumpulnya anak-anak muda Colol yang aktif di pertanian, menyebut angka lebih dari 800 ton hasil panen kopi untuk semua varietas.
Jumlah yang besar! Maka kopi menjadi penting bagi kehidupan warga Colol. Tak heran munculah tradisi dan ritual yang berhubungan dengan kopi. Seperti ritual Adak Pua Kopi ini.
Ritual belum lagi dimulai, Bapak Mensi masuk kebun dan mulai memanen sedikit buah kopi yang sudah matang untuk disertakan dalam ritual. Selain buah kopi ada juga sirih pinang, rokok dan ayam jantan yang masih hidup.
Sirih pinang dan rokok diwadahkan dalam piring makan, khusus kopi dalam piring tembaga. Api unggung disiapkan di tengah-tengah anggota keluarga yang berkumpul. Ritual pun dimulai, tetua adat Mikael Human memimpin prosesinya sambil memegang ayam jantan yang siap disembelih.
Baca Juga: Berjumpa di Maghilewa: Cerita Sebuah Kampung di Pinggang Inerie
Dari mulutnya terdengar lantunan doa orang Manggarai yang dalam bahasa lokalnya dinamakan Torok Manuk. Torok berarti doa atau juga mantra, sedangkan Manuk berarti ayam atau unggas. Biasanya dalam anggota keluarga selalu ada yang bisa membaca Torok.
Lantunan doa di tengah kebun kopi itu membuat suasana menjadi magis, semua khusyuk mendengar doa dalam bahasa Manggarai itu.
Makna doanya adalah ungkapan rasa syukur dan terimakasih atas hasil panen tahun ini. Sampai kemudian di penghujung Torok Manuk , Mikael Human, pemimpin ritual memekik dalam bahasa Manggarai ,”Di a urat manuk!”
Yang hadir menjawab serempak, “Di aaaaa!”
Baca Juga: Untold Flores: Berbagi Cerita Tentang Makna Sebuah Perjalanan
Maknanya adalah pemimpin ritual meminta kesedian yang hadir untuk menjadi saksi Totok Urat atau memprediksi hasil panen lewat urat ayam yang akan disembelih. Dengan menjawab, semua yang hadir setuju menjadi saksi.
Mensi pun menyembelih ayam dibantu anggota keluarganya. Sebagian darah ayam yang disembelih diteteskan pada sebuah tumbukan batu yang merupakan peninggalan leluhur mereka dan juga dioleskan buah kopi yang barusan ia panen sebelumnya.
Setelah itu dada ayam dibelah, diambil urat, natung, empudu dan hatinya yang kemudian pemimpin ritual melihatnya untuk memberi prediksi hasil panen. Dari melihat organ dalam ayam orang Manggarai bisa memprediksi hasil panen yang akan dilakukan nanti.
Inilah cara orang Manggarai memprediksi hari-hari ke depan. Bukan hanya Totok Urat Manuk saja, ada juga Totok Kopi, yaitu meramal jalan hidup orang lewat ampas kopi yang di minumnya. Praktik ini biasa dilakukan di Manggarai bahkan di NTT pada umumnya.
Baca Juga: Reis, Adab Orang-orang Manggarai Barat dalam Menyambut Tetamu
Mikael Human pun melihat urat, empedu, hati dan jantung ayam. Kalau uratnya baik, empedu penuh dan hati ayamnya keras artinya panen hasil yang banyak. Kalau uratnya kurang baik, dan empedu kurang penuh, dan hati ayam lembek, hasil panen kopi akan kurang baik.
Tampaknya untuk panen kopi tahun ini kurang baik, seperti yang dilihat pada organ dalam ayam itu. Mereka percaya hasilnya akan seperti itu, karena juga sudah bisa diduga sebelumnya. Curah hujan yang tinggi disertai badai Seroja yang menghantam NTT belum lama ini membuat hasil kebun kopi mereka tak maksimal. Ditambah hasil Totok Urat yang baru saja mereka lihat.
“Selama ini tak pernah meleset hasil totok urat ini, kalau hasilnya kurang bagus hasil panen juga begitu” kata Valentinus, Kepala Desa Colol, yang ikut hadir membagi pengalamannya.
Hati ayam dibakar, lalu sekerat kecil dan sepotong kecil nasi bambu di letakan pada ruas bambu kecil yang dibelah dua ditancapkan di atas batu bertumbuk oleh pemimpin ritual sambil membacakan Torok atau doa dalam basa Manggarai.
Baca Juga: Amba Warloka, Sebuah Cawan Peleburan Pusparagam Bangsa di Flores Barat
Ritual pun selesai, sisa nasi bambu di makan bersama di kebun. Setelah itu semuanya turun untuk menyandap hidangan nasi bambu dan hidangan lainnya yang tadi disiapkan sebelum ritual.
Semua makan dengan lahap, melupakan hasil Totok Urat yang menyatakan hasil panen yang kurang baik. Apapun hasilnya tak bisa menahan mereka untuk memanen hasil kebun keesokan harinya. Bekerja akan membawa hasil, tak bekerja tak akan ada hasil. Harus bergerak maju terus tak usah mengeluh.
Itulah mentalitas orang Manggarai yang melihat kendala sebagai tantangan yang harus dilewati bukan menyerah. Selalu berhasil menyiasati kendala dan melewatinya. Dalam bahasa Manggarainya disebut mentalitas Gejur, yang artinya terus berusaha!
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR