Nationalgeographic.co.id—Ita Martadinata Haryono terbunuh pada 9 Oktober 1998. Ia merupakan salah satu penyintas pemerkosaan selama kerusuhan anti-Tionghoa pada Mei 1998.
Peristiwa pemerkosaan itu tidak hanya terjadi di Jakarta saja, melainkan di beberapa kota seperti Medan, Palembang, Semarang, dan Surabaya. Karena maraknya kasus, Ita Martadinata sebelumnya hendak memberikan pernyataan kasus itu di sidang PBB.
Ita Fatia Nadia dari Tim Relawan untuk Kekerasan Terhadap Perempuan, saat itu melihat ke lokasi tewasnya Ita Martadinata. Menurut kesaksian Fatia, kondisi jenazahnya sangat tragis dan berlumuran darah. Diketahui, pembunuhnya adalah tukang kebunnya yang dipanggil Si Otong.
"Si Otong itu hanya dikorbankan," terang Fatia dalam Diskusi Tipis-Tipis yang diadakan perkumpulan Boen Hian Tong, Kamis (13/05/2021). "Dan kenapa Ita dibunuh, itu bagian dari kebijakan politik tertentu yang menyertai peristiwa 1998."
Tak hanya hendak menyampaikan kasus pemerkosaan selama Mei 1998 saja. Sebenarnya Ita Martadinata juga hendak membuka tabir kasus pemerkosaan lainnya seperti di Aceh, Papua, dan Timor-Leste.
Baca Juga: Kisah Perempuan Penyintas Tragedi 1965 : Ada Kekuasaan di Atas Pemerkosaan
Fatia berpendapat, pembunuhan itu agar Ita bungkam dan tak menjelekkan citra Indonesia di mata dunia.
Tak hanya perjuangan lewat cara hukum, mengenang perjuangan Ita Martadinata pun dilakukan lewat kebudayaan, yakni tradisi makan rujak pare sambal kecombrang. Tradisi ini dilakukan setiap bulan Mei demi perenungan dan pembelajaran agar peristiwa serupa tidak terulang di masa depan.
Tradisi ini digagas Harjanto Halim dari Ketua perkumpulan Boen Hian Tong pada 2008. Inspirasinya datang dari peringatan Mei 1998 yang sekaligus memperingati 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional.
Saat itu ia menyaksikan pentas ketoprak "Putri Cina" di klenteng Ta Kak Sie, Semarang, karangan Sindhunata. Kisah itu menggambarkarkan kerusuhan Mei 1998 yang merupakan kritik pemisahan Tionghoa dan Pribumi.
"Kemudian terpecik ide, bagaimana menggunakan simbol kepahitan ini (tragedi Mei 1998) dengan makanan," kenang Harjanto. "Ini kan budaya Jawa dan Tionghoa, ini adalah sesuatu yang mengikat bersama."
Baca Juga: Kung Fu: Senjata Tionghoa Merebut Kemerdekaan dan Melawan Penjajahan
Dalam forum itu, pihak perkumpulan Boen Hian Tong mempertunjukkan tradisi itu. Dimulai dari berdoa bersama untuk perdamaian, persatuan, dan ketenangan bagi arwah Ita Martadinata di alam baka. Kemudian dilanjutkan makan bersama.
Dalam proses pembuatan sajiannya, pare mentah diiris tipis-tipis. Kemudian dicuci bersih, lalu ditaburi es batu. Selanjutnya, ditambahkan sambal rujak dan bunga kecombrang, untuk diulek.
Ketika dimakan, rasanya sangat pahit dan pedas. Harjanto menjelaskan, makanan ini dari penyajian hingga rasanya adalah gambaran untuk mengingat peristiwa itu.
Kepahitan rujak pare menggambarkan betapa pahitnya peristiwa itu dalam sejarah Indonesia. Bunga kecombrang menjadi simbol perempuan Tionghoa, dan sambalnya menggambarkan derita mereka sebagai penyintas pemerkosaan.
Ita Martadinata Haryono yang didoakan dalam tradisi itu merupakan simbol perwakilan untuk semua korban. Asrida Ulinuha, pegiat Boen Hian Tong, mengungkapkan kepada National Geographic Indonesia bahwa Ita merupakan seorang aktivis kemanusiaan yang tewas dibunuh 9 Oktober 1998, jelang rencana kesaksiannya di sidang PBB terkait peristiwa Tragedi Mei 1998.
Baca Juga: 9 Oktober 1740, Pembantaian Warga Cina di Batavia dan Aspek Politiknya
"Boen Hian Tong," kata Ulin, "memberikan kehormatan dengan meletakkan Sinci Ita Martadinata di altar perkumpulan." Acara peletakan sinci ini menjadi satu rangkaian dengan acara tahunan Rujak Pare yang dipelopori oleh perkumpulan ini. Tujuannya, untuk mengenang Tragedi Mei 1998 sekaligus menjadi simbol gerakan melawan lupa atas peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia itu.
"Sinci adalah papan kayu bertuliskan nama leluhur yang sudah meninggal dan diletakkan pada altar," kata Ulin, "dan bagi orang Tionghoa, sinci adalah bentuk penghormatan tertinggi."
Baca Juga: Usaha Etnis Tionghoa Menginspirasi Gerakan Kemerdekaan Indonesia
Dalam acara itu Harjanto mengatakan, "Kami, Boen Hiang Tong dengan ritual rujak pare ini kepahitan sudah terjadi, kita refleksikannya tidak dengan kemarahan." Kemudian dia menambahkan, "[Peristiwa] ini sudah terjadi, tapi harus punya kematangan untuk mengakui dan mengungkap bahwa ini pernah terjadi."
Tradisi ini dilakukan untuk keempat kalinya oleh Boen Hiang Tong sebagai ingatan kolektif dan pembelajaran bagi generasi ke depan. Dengan demikian, generasi mendatang dapat mencegah peristiwa serupa terulang kembali.
Lewat tradisi memakan rujak pare ini, ia berharap dapat dilakukan tidak hanya oleh kalangan Tionghoa saja, tetapi juga pada masyarakat lintas golongan. Karena peristiwa 1998 sendiri adalah kejadian kemanusiaan yang terburuk dalam kenangan bangsa Indonesia.
"Kita berharap agar semua korban Mei 1998 menjadi lebih tenang, kita akan rutin setiap tahun agar arwah-arwah korban lebih tenang. Itulah cara kami. Kami melawan lupa," Harjanto berpendapat.
Baca Juga: Di Balik Mausoleum Cinta untuk Sang Filantrop Tionghoa di Batavia
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR