"Boen Hian Tong," kata Ulin, "memberikan kehormatan dengan meletakkan Sinci Ita Martadinata di altar perkumpulan." Acara peletakan sinci ini menjadi satu rangkaian dengan acara tahunan Rujak Pare yang dipelopori oleh perkumpulan ini. Tujuannya, untuk mengenang Tragedi Mei 1998 sekaligus menjadi simbol gerakan melawan lupa atas peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia itu.
"Sinci adalah papan kayu bertuliskan nama leluhur yang sudah meninggal dan diletakkan pada altar," kata Ulin, "dan bagi orang Tionghoa, sinci adalah bentuk penghormatan tertinggi."
Baca Juga: Usaha Etnis Tionghoa Menginspirasi Gerakan Kemerdekaan Indonesia
Dalam acara itu Harjanto mengatakan, "Kami, Boen Hiang Tong dengan ritual rujak pare ini kepahitan sudah terjadi, kita refleksikannya tidak dengan kemarahan." Kemudian dia menambahkan, "[Peristiwa] ini sudah terjadi, tapi harus punya kematangan untuk mengakui dan mengungkap bahwa ini pernah terjadi."
Tradisi ini dilakukan untuk keempat kalinya oleh Boen Hiang Tong sebagai ingatan kolektif dan pembelajaran bagi generasi ke depan. Dengan demikian, generasi mendatang dapat mencegah peristiwa serupa terulang kembali.
Lewat tradisi memakan rujak pare ini, ia berharap dapat dilakukan tidak hanya oleh kalangan Tionghoa saja, tetapi juga pada masyarakat lintas golongan. Karena peristiwa 1998 sendiri adalah kejadian kemanusiaan yang terburuk dalam kenangan bangsa Indonesia.
"Kita berharap agar semua korban Mei 1998 menjadi lebih tenang, kita akan rutin setiap tahun agar arwah-arwah korban lebih tenang. Itulah cara kami. Kami melawan lupa," Harjanto berpendapat.
Baca Juga: Di Balik Mausoleum Cinta untuk Sang Filantrop Tionghoa di Batavia
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR