Menurut Aris, pengelompokan orang-orang berdasarkan suku bangsa merupakan tantangan yang pelik. Orang Tionghoa belum tentu bisa menggunakan bahasa Tionghoa. Mereka juga belum tentu dibesarkan dengan budaya Tionghoa. Sebaliknya, orang sipit belum tentu merupakan orang Tionghoa, dan orang yang bisa bicara bahasa Tionghoa belum tentu orang Tionghoa.
"Jadi memang sulit mengatakan siapa orang Tionghoa," ujar Aris.
Oleh karena itu, sensus penduduk Indonesia melakukan pendekatan alternatif, yakni dengan persepsi responden (self declaration). Dengan kata lain, setiap orang dapat dengan bebas mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota suku bangsa tertentu, tanpa diintervensi petugas sensus.
Baca Juga: The Sin Nio dan Ho Wan Moy, Srikandi Tionghoa untuk Kemerdekaan
"Indonesia dan banyak negara lainnya menggunakan pendekatan yang lebih fluid," jelas Sairi. Dengan pendekatan ini, Sairi mengatakan bahwa identitas suku bangsa juga dapat diubah sesuai dengan pengalaman kultural. "Jika sepuluh tahun yang lalu kita bilang kita dari suku A, dua puluh tahun kemudian kita bisa memilih suku lain dalam sensus."
Hal ini menurut Sairi juga berlaku bagi etnis Tionghoa. "Banyak sekali orang Tionghoa yang sudah tinggal lama di Indonesia. Para keturunan orang Tionghoa yang datang sebelum abad ke-19 kemungkinan sudah tidak menjawab lagi sebagai orang Tionghoa, terutama yang kawin campur," tutur Sairi.
Dalam sejarah, orang Tionghoa datang dalam beberapa gelombang. Gelombang paling awal dari migrasi Tionghoa terekam pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, tetapi besarannya tidak diketahui.
Baca Juga: Pecinan Ampenan, Jejak-jejak Denyut Kesibukan Kampung Lawas di Lombok
Selanjutnya, catatan sejarah juga merekam gelombang besar kedatangan Tionghoa dari abad ke-18 hingga abad ke-20. Pada masa kolonial Belanda, banyak orang Tionghoa yang datang sebagai buruh perkebunan atau pekerja tambang timah. Migrasi ini mencapai puncaknya pada perempat awal tahun 1900-an, dengan masuknya sekitar setengah juta etnis Tionghoa ke Hindia-Belanda.
Dalam gelombang migrasi tersebut, terjadi pula proses peleburan dan kawin campur. Sairi menyebutkan bahwa migran Tionghoa di awal abad ke-20 sangat didominasi oleh laki-laki yang menjadi pekerja migran. Berdasarkan sensus Hindia-Belanda tahun 1930, rasio jenis kelamin penduduk Tionghoa adalah 155 laki-laki berbanding 100 perempuan.
"Ketika sensus 2010, perbandingan antara laki-laki dan perempuan sudah mencapai angka 101 laki-laki banding 100 perempuan," kata Sairi, "lantas ke mana selisih itu? Kuat dugaan saya bahwa terjadi kawin campur."
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR