Akan tetapi, perekaman atas peleburan ini simpang siur. Hal ini disebabkan karena Indonesia tidak pernah melakukan sensus terhadap suku bangsa sampai tahun 2000. Pada masa Orde Baru, statistik mengenai suku bangsa tidak boleh dikumpulkan atau dipublikasikan karena dikhawatirkan mengganggu kestabilan negara.
Sensus yang mencatat suku bangsa terakhir dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1930. Artinya, selama tujuh puluh tahun Indonesia tidak punya data demografi suku bangsanya sendiri. Barulah di bawah arahan Presiden Abdurrahman Wahid, Indonesia mulai mencatat suku bangsa penduduknya dalam Sensus Penduduk 2000.
Dari hasil sensus 2000, tercatat bahwa orang Tionghoa merupakan suku bangsa terbesar kelima belas di Indonesia. Terdapat 1.738.936 penduduk yang mengaku sebagai orang Tionghoa, yang mencakup 0,86 persen dari seluruh penduduk Indonesia.
Baca Juga: Cerita Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia
Angka persentase ini menurun jika dibandingkan dengan sensus tahun 1930. Pada sensus tersebut, tercatat bahwa orang Tionghoa mencakup 2,03 persen dari penduduk Indonesia, atau sekitar 1.233.000 jiwa.
Penurunan ini kemudian dikaji ulang oleh para demograf. Mereka akhirnya menyimpulkan bahwa banyak orang yang menolak mengaku dirinya sebagai Tionghoa. Kebijakan asimilasi yang diterapkan pada masa Orde Baru membuat banyak orang Tionghoa yang menanggalkan identitas etniknya.
Selain itu, demograf juga menemukan faktor trauma, mengingat sensus 2000 diadakan dua tahun setelah kerusuhan Mei 1998. Setelah melalui perdebatan, akhirnya para demograf memperkirakan bahwa orang Tionghoa memiliki populasi sebesar 1,5 persen atau sekitar 3 juta jiwa.
Baca Juga: Sumbangan Sains dari Pelukis-pelukis Cina pada Zaman Kompeni
Sepuluh tahun berselang, populasi orang Tionghoa kembali dihitung pada tahun 2010. Hasil sensus tersebut menyebutkan bahwa populasi Tionghoa mencapai 2.832.510 jiwa, atau sekitar 1,2 persen dari penduduk Indonesia. Mereka masih menempati urutan kelima belas suku bangsa terbesar di Indonesia. Namun lagi-lagi, terdapat penurunan persentase dari populasi tersebut.
Stabilitas politik dan sosial di tahun 2010 membuat demograf meneliti kemungkinan-kemungkinan lain yang menyebabkan penurunan. "Pertama, kalau dilihat dari piramida penduduk Tionghoa, jumlah anak di kalangan Tionghoa tidak lagi sebanyak dulu," kata Evi.
Selain mengamati piramida penduduk, ia juga menjelaskan adanya posibilitas lain. "Kemungkinan juga ada angka migrasi ke luar negeri yang tinggi. Kemudian ada juga yang bermigrasi ke daerah lain dengan mayoritas suku yang berbeda, sehingga menyebabkan mereka beradaptasi dan berasimilasi," tambahnya. Evi juga mengungkapkan adanya kemungkinan lain seperti orang Tionghoa yang pindah agama, atau orang Tionghoa yang lahir dan besar di budaya non-Tionghoa.
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR