Nationalgeographic.co.id—Sampai saat ini, jumlah populasi dari orang-orang Tionghoa di Indonesia masih menjadi perdebatan. Beberapa ilmuwan memperkirakan bahwa jumlah Tionghoa berkisar 6 juta jiwa atau 3 persen populasi Indonesia, sementara ada juga yang mengatakan 10 juta atau 5 persen dari penduduk Indonesia. Lantas, manakah yang benar? Berapa jumlah sesungguhnya dari orang Tionghoa di Indonesia?
Isu inilah yang dibawakan oleh Roemah Bhinneka dalam webinar bertajuk Berapa Sih Jumlah Tionghoa? Data dan Problematikanya pada 31 Mei 2021.
Webinar ini menghadirkan sejumlah demograf seperti M. Sairi Hasbullah, Evi Nurvidya Arifin, dan Aris Ananta. Dalam webinar ini, para pembicara menghadirkan hasil dan metode dari sensus yang dilakukan pemerintah Indonesia, serta kendala-kendala yang muncul dalam pelaksanaan sensus tersebut.
"Pertanyaannya adalah, siapakah orang Tionghoa, siapakah orang Jawa, orang Sunda, orang Palembang, dan seterusnya?" demikian Aris Ananta membuka diskusi ini. "Jadi walau kita bicara mengenai orang Tionghoa, hal yang sama juga menjadi pertanyaan untuk suku lain di Indonesia."
Menurut Aris, pengelompokan orang-orang berdasarkan suku bangsa merupakan tantangan yang pelik. Orang Tionghoa belum tentu bisa menggunakan bahasa Tionghoa. Mereka juga belum tentu dibesarkan dengan budaya Tionghoa. Sebaliknya, orang sipit belum tentu merupakan orang Tionghoa, dan orang yang bisa bicara bahasa Tionghoa belum tentu orang Tionghoa.
"Jadi memang sulit mengatakan siapa orang Tionghoa," ujar Aris.
Oleh karena itu, sensus penduduk Indonesia melakukan pendekatan alternatif, yakni dengan persepsi responden (self declaration). Dengan kata lain, setiap orang dapat dengan bebas mengidentifikasikan dirinya sebagai anggota suku bangsa tertentu, tanpa diintervensi petugas sensus.
Baca Juga: The Sin Nio dan Ho Wan Moy, Srikandi Tionghoa untuk Kemerdekaan
"Indonesia dan banyak negara lainnya menggunakan pendekatan yang lebih fluid," jelas Sairi. Dengan pendekatan ini, Sairi mengatakan bahwa identitas suku bangsa juga dapat diubah sesuai dengan pengalaman kultural. "Jika sepuluh tahun yang lalu kita bilang kita dari suku A, dua puluh tahun kemudian kita bisa memilih suku lain dalam sensus."
Hal ini menurut Sairi juga berlaku bagi etnis Tionghoa. "Banyak sekali orang Tionghoa yang sudah tinggal lama di Indonesia. Para keturunan orang Tionghoa yang datang sebelum abad ke-19 kemungkinan sudah tidak menjawab lagi sebagai orang Tionghoa, terutama yang kawin campur," tutur Sairi.
Dalam sejarah, orang Tionghoa datang dalam beberapa gelombang. Gelombang paling awal dari migrasi Tionghoa terekam pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, tetapi besarannya tidak diketahui.
Baca Juga: Pecinan Ampenan, Jejak-jejak Denyut Kesibukan Kampung Lawas di Lombok
Selanjutnya, catatan sejarah juga merekam gelombang besar kedatangan Tionghoa dari abad ke-18 hingga abad ke-20. Pada masa kolonial Belanda, banyak orang Tionghoa yang datang sebagai buruh perkebunan atau pekerja tambang timah. Migrasi ini mencapai puncaknya pada perempat awal tahun 1900-an, dengan masuknya sekitar setengah juta etnis Tionghoa ke Hindia-Belanda.
Dalam gelombang migrasi tersebut, terjadi pula proses peleburan dan kawin campur. Sairi menyebutkan bahwa migran Tionghoa di awal abad ke-20 sangat didominasi oleh laki-laki yang menjadi pekerja migran. Berdasarkan sensus Hindia-Belanda tahun 1930, rasio jenis kelamin penduduk Tionghoa adalah 155 laki-laki berbanding 100 perempuan.
"Ketika sensus 2010, perbandingan antara laki-laki dan perempuan sudah mencapai angka 101 laki-laki banding 100 perempuan," kata Sairi, "lantas ke mana selisih itu? Kuat dugaan saya bahwa terjadi kawin campur."
Akan tetapi, perekaman atas peleburan ini simpang siur. Hal ini disebabkan karena Indonesia tidak pernah melakukan sensus terhadap suku bangsa sampai tahun 2000. Pada masa Orde Baru, statistik mengenai suku bangsa tidak boleh dikumpulkan atau dipublikasikan karena dikhawatirkan mengganggu kestabilan negara.
Sensus yang mencatat suku bangsa terakhir dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1930. Artinya, selama tujuh puluh tahun Indonesia tidak punya data demografi suku bangsanya sendiri. Barulah di bawah arahan Presiden Abdurrahman Wahid, Indonesia mulai mencatat suku bangsa penduduknya dalam Sensus Penduduk 2000.
Dari hasil sensus 2000, tercatat bahwa orang Tionghoa merupakan suku bangsa terbesar kelima belas di Indonesia. Terdapat 1.738.936 penduduk yang mengaku sebagai orang Tionghoa, yang mencakup 0,86 persen dari seluruh penduduk Indonesia.
Baca Juga: Cerita Perempuan Tionghoa dalam Lintasan Peristiwa Sejarah Indonesia
Angka persentase ini menurun jika dibandingkan dengan sensus tahun 1930. Pada sensus tersebut, tercatat bahwa orang Tionghoa mencakup 2,03 persen dari penduduk Indonesia, atau sekitar 1.233.000 jiwa.
Penurunan ini kemudian dikaji ulang oleh para demograf. Mereka akhirnya menyimpulkan bahwa banyak orang yang menolak mengaku dirinya sebagai Tionghoa. Kebijakan asimilasi yang diterapkan pada masa Orde Baru membuat banyak orang Tionghoa yang menanggalkan identitas etniknya.
Selain itu, demograf juga menemukan faktor trauma, mengingat sensus 2000 diadakan dua tahun setelah kerusuhan Mei 1998. Setelah melalui perdebatan, akhirnya para demograf memperkirakan bahwa orang Tionghoa memiliki populasi sebesar 1,5 persen atau sekitar 3 juta jiwa.
Baca Juga: Sumbangan Sains dari Pelukis-pelukis Cina pada Zaman Kompeni
Sepuluh tahun berselang, populasi orang Tionghoa kembali dihitung pada tahun 2010. Hasil sensus tersebut menyebutkan bahwa populasi Tionghoa mencapai 2.832.510 jiwa, atau sekitar 1,2 persen dari penduduk Indonesia. Mereka masih menempati urutan kelima belas suku bangsa terbesar di Indonesia. Namun lagi-lagi, terdapat penurunan persentase dari populasi tersebut.
Stabilitas politik dan sosial di tahun 2010 membuat demograf meneliti kemungkinan-kemungkinan lain yang menyebabkan penurunan. "Pertama, kalau dilihat dari piramida penduduk Tionghoa, jumlah anak di kalangan Tionghoa tidak lagi sebanyak dulu," kata Evi.
Selain mengamati piramida penduduk, ia juga menjelaskan adanya posibilitas lain. "Kemungkinan juga ada angka migrasi ke luar negeri yang tinggi. Kemudian ada juga yang bermigrasi ke daerah lain dengan mayoritas suku yang berbeda, sehingga menyebabkan mereka beradaptasi dan berasimilasi," tambahnya. Evi juga mengungkapkan adanya kemungkinan lain seperti orang Tionghoa yang pindah agama, atau orang Tionghoa yang lahir dan besar di budaya non-Tionghoa.
Populasi Tionghoa dan suku bangsa lainnya sempat akan kembali dihitung dalam sensus 2020. Akan tetapi, pandemi COVID-19 membuat pendataan sensus tidak dapat sepenuhnya dilakukan. Akibatnya, hasil data suku bangsa di Indonesia, termasuk orang Tionghoa, tidak dapat didata secara utuh.
Lantas, berapakah jumlah orang Tionghoa pada tahun 2021?
"Tidak ada data yang representatif untuk tahun 2020 saat sensus dilakukan," kata Evi. "tetapi data tahun 2020 mengungkapkan bahwa penduduk Indonesia berjumlah 270,2 juta jiwa,"
Dari sana, dapat diketahui adanya kenaikan penduduk sebesar 1,25 persen per tahun di Indonesia pada periode 2010-2020. Dengan angka pertumbuhan tersebut, Evi menyimulasikan bahwa penduduk Indonesia berjumlah 273,6 juta jiwa pada tahun 2021. Melalui simulasi pertumbuhan penduduk Indonesia yang digabung dengan tren pertumbuhan penduduk Tionghoa, Evi menyimpulkan adanya empat kemungkinan jumlah penduduk Tionghoa saat ini.
Kemungkinan pertama adalah angka populasi Tionghoa jika persentase penduduknya masih sama dengan sensus 2010. "Seandainya persentase penduduk Tionghoa sama dengan tahun 2010, yakni 1,2 persen, maka tahun ini ada 3,28 juta penduduk Tionghoa di Indonesia," kata Evi.
Baca Juga: Memahami Dunia Tionghoa Indonesia, Antara Totok dan Peranakan
Evi melanjutkan, bahwa skenarionya akan berbeda jika persentase penduduk Tionghoa menurun seperti yang terlihat dari sensus 2000-2010. "Seandainya laju perubahannya menurun ke 0,9 persen, maka jumlah orang Tionghoa kemungkinan hanya mencapai 2,56 juta jiwa," demikian Evi menjelaskan kemungkinan kedua.
"Akan tetapi, kalau laju pertumbuhan Tionghoa mengikuti laju pertumbuhan penduduk Indonesia, yaitu sebanyak 1,25 persen pada tahun 2010-2020, maka jumlah Tionghoa di Indonesia menjadi 3,26 juta jiwa atau 1,19 persen," lanjut Evi.
Evi tidak menutup kemungkinan akan adanya orang-orang yang mulai mengidentifikasikan dirinya sebagai Tionghoa. Dengan skenario tersebut, maka terciptalah kemungkinan keempat. "Seandainya persentasenya sekarang kemungkinan naik menjadi 1,5 persen karena orang Tionghoa makin banyak mengidentifikasi dirinya sebagai orang Tionghoa, kemungkinannya menjadi 4,1 juta."
Baca Juga: Di Balik Mausoleum Cinta untuk Sang Filantrop Tionghoa di Batavia
Terlepas dari kisaran tersebut, faktanya, tidak dapat ditolak bahwa Tionghoa dan juga suku-suku bangsa lainnya, menjadi bagian dari keberagaman Indonesia. Bagi para demograf, penghitungan populasi suku bangsa dalam sensus seharusnya bukan menjadi sesuatu yang sensitif.
"Rangkaian diskusi para ahli pada tahun 2000 menyimpulkan bahwa ini penting sekali untuk melihat karakteristik orang Indonesia," ungkap Sairi. "Kalau kita bicara kebhinnekaan kita, ya tentu data suku itu penting sekali."
Hal senada juga diungkapkan Evi. "Saya rasa etnisitas di Indonesia itu bukan hal tabu. Keberagaman kita adalah aset," ujarnya. "Demi wawasan kebangsaan kita dan untuk perdamaian kita, kajian ini menjadi bagian dari tugas hidup kita dalam negara Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika."
Penulis | : | Eric Taher |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR