Selain itu, ia bahkan memiliki darah bangsawan dari ibunya yang diwariskan lewat budaya matrilineal Minangkabau. Kebangsawanan ini membuatnya pun bergelar 'datuk' pada 1913. Maka, cukup bila menganggap Tan Malaka adalah seorang privilese.
Masykur Arif Rahman dalam Tan Malaka: Sebuah Biografi Lengkap menulis, Tan Malaka pada 1916 mulai mengikuti Indische Vereeneging yang saat itu diketuai Ki Hadjar Dewantara dan Gunawan Mangunkusumo. Dalam organisasi itu ia aktif ikut rapat dan diskusi membahas kemerdekaan.
Selanjutnya pada 1917, ia juga mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh kiri, seperti Henk Sneevliet, hingga para tokoh revolusi Rusia. Ia baru kembali ke Hindia Belanda pada 1919, setelah sekian lama kepulangannya tertahan akibat pecahnya Perang Dunia I.
Karena dianggap sukses oleh keluarga dan guru semasa sekolah, ia disarankan untuk mengajar anak-anak buruh di Deli. Pada masa itu Deli dianggap umum sebagai 'tanah emas' yang menghasilkan keuntungan.
Baca Juga: Di Rumah Achmad Soebardjo, Akhirnya Tan Malaka dan Soekarno Berjumpa
Bagi Tan, ungkapan itu hanyalah untuk para imperalis dan kapitalis. Banyak buruh yang yang memeras keringat, dan menjadikan Deli sebagai tanah neraka bagi mereka.
Kisahnya berlanjut pada 1921 ke Yogyakarta dan Semarang. Awalnya, ia hanya sekedar mencari pekerjaan sebagai guru. Akan tetapi, karena cukup dekat dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam dan Boedi Oetomo, dan bahkan menumpang di rumah Semaoen, Tan Malaka juga terlibat dalam pergerakan dan aktif mengikuti PKI.
Pada periode itu, SI Semarang dianggap ancaman bagi pemerintah Hindia Belanda. Pada 1922 pun ia turut aktif dalam aksi protes buruh dan mengkritik KUHP kolonial. Akibatnya, ia mulai dicari-cari pemerintah, dan mulai menjadi buronan kepolisian.
Baca Juga: Lawatan ke Kampung Tan: Dia Kembali Dikenal di Kampungnya Sendiri
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR