Nationalgeographic.co.id - Jika menilik kultur populer tentang kuliah di luar negeri masa kini, banyak mahasiswa kita yang hanya sekedar mencari ego diri. Seolah-olah kuliah di luar negeri adalah suatu kebanggaan dan hidup dalam fasilitas yang mewah.
Hal itu berbeda dengan Ibrahim, atau yang lebih dikenal dengan Tan Malaka. Meski ia berkuliah di Harleem, Belanda—bahkan berkenalan banyak tokoh politik di sana—ia tidak semerta-merta jadi eksklusif. Ia melanjutkan perjuangannya untuk membela rakyat yang tertindas atas idealismenya.
Ia bahkan mengkritik anak muda yang berpendidikan, tetapi memiliki sekat dengan masyarakat lewat bukunya, Madilog:
"Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali."
Selain itu, ia bahkan memiliki darah bangsawan dari ibunya yang diwariskan lewat budaya matrilineal Minangkabau. Kebangsawanan ini membuatnya pun bergelar 'datuk' pada 1913. Maka, cukup bila menganggap Tan Malaka adalah seorang privilese.
Masykur Arif Rahman dalam Tan Malaka: Sebuah Biografi Lengkap menulis, Tan Malaka pada 1916 mulai mengikuti Indische Vereeneging yang saat itu diketuai Ki Hadjar Dewantara dan Gunawan Mangunkusumo. Dalam organisasi itu ia aktif ikut rapat dan diskusi membahas kemerdekaan.
Selanjutnya pada 1917, ia juga mulai berkenalan dengan tokoh-tokoh kiri, seperti Henk Sneevliet, hingga para tokoh revolusi Rusia. Ia baru kembali ke Hindia Belanda pada 1919, setelah sekian lama kepulangannya tertahan akibat pecahnya Perang Dunia I.
Karena dianggap sukses oleh keluarga dan guru semasa sekolah, ia disarankan untuk mengajar anak-anak buruh di Deli. Pada masa itu Deli dianggap umum sebagai 'tanah emas' yang menghasilkan keuntungan.
Baca Juga: Di Rumah Achmad Soebardjo, Akhirnya Tan Malaka dan Soekarno Berjumpa
Bagi Tan, ungkapan itu hanyalah untuk para imperalis dan kapitalis. Banyak buruh yang yang memeras keringat, dan menjadikan Deli sebagai tanah neraka bagi mereka.
Kisahnya berlanjut pada 1921 ke Yogyakarta dan Semarang. Awalnya, ia hanya sekedar mencari pekerjaan sebagai guru. Akan tetapi, karena cukup dekat dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam dan Boedi Oetomo, dan bahkan menumpang di rumah Semaoen, Tan Malaka juga terlibat dalam pergerakan dan aktif mengikuti PKI.
Pada periode itu, SI Semarang dianggap ancaman bagi pemerintah Hindia Belanda. Pada 1922 pun ia turut aktif dalam aksi protes buruh dan mengkritik KUHP kolonial. Akibatnya, ia mulai dicari-cari pemerintah, dan mulai menjadi buronan kepolisian.
Baca Juga: Lawatan ke Kampung Tan: Dia Kembali Dikenal di Kampungnya Sendiri
Di tahun itu pula, kepolisian berhasil mengangkap Tan Malaka dan ditahan di Bandung. Pihak kepolisian mengintrograsinya terkait aktivitasnya dengan SI dan PKI, dan hubungannya dengan gerakan Internationale yang berhubungan dengan program Soviet.
Selanjutnya, ia dibuang ke Belanda lewat kapal Insulinde. Kapal itu sempat singgah ke Padang, tetapi ia tidak diperkenankan turun meski masyarakat di Padang ingin bertemu dengannya.
Ia juga khawatir jika orang tuanya datang ke Padang untuk menemuinya. Tetapi orang tuanya tak kunjung hadir berkat permintaan adiknya. Adiknya juga sebelumnya diperintahkan oleh Tan Malaka agar tidak mengunjungi Padang pada Maret 1922, agar masalahnya tak merembet pada keluarga.
Baca Juga: Membuka Pesan di Balik Lagu Internationale untuk Perjuangan Buruh
Ketika tiba di Belanda pun ia dekat dengan tokoh kiri di sana. Bahkan pada Mei 1922, ia dicalonkan sebagai anggota dewan di Belanda lewat Communistische Partij (CP). Tujuan pencalonan ini diharapkan dapat menggambarkan kondisi Hindia di Belanda.
Masa pembuangannya itu membuatnya dapat berkelana ke Kanton (kini Guangzhou), Singapura, Filipina, Thailand, dan Hong Kong, memimpin biro buruh, hingga menerbitkan buku.
Ketika dia Filipina, berdasarkan Tempo Edisi Kemerdekaan: Tan Malaka (2008), dia dielu-elukan banyak pihak
Baca Juga: Kisah Hidup Soesilo Toer: Doktor Pemulung dan Tuduhan Komunis
Terbukti ketika ia ditangkap polisi Amerika Serikat setelah kedatangannya kedua ke sana, dari pers, buruh, mahasiswa, hingga tokoh nasionalis Filipina mendukungnya agar bebas. Ketika bebas, ia melanjutkan pelariannya ke Amoy (kini Xiamen) dan Shanghai.
Ia melanjutkan perjalanannya pada 1932 ke Hong Kong dan tinggal di Kowloon dengan nama palsu Ong Soong Lee. Tetapi di Hong Kong, Tan Malaka juga ditangkap kepolisian Inggris.
Masykur Arif Rahman menulis, bahwa penjajah seperti Inggris, Amerika, dan Belanda, sungguh takut kepada komunisme yang tumbuh di Asia. Keberadaan Tan Malaka sebagai komitern komunis di Asia membuatnya harus ditangkap demi mempertahankan koloninya.
Aktivitas Tan Malaka selanjutnya penuh dengan cerita penangkapan. Meski demikian, ia menuangkan pemikirannya lewat menulis dan membaca buku.
Baca Juga: Bagaimana Komunisme dan Sosialisme Menjadi Hal yang Berbeda?
Dalam Madilog, Tan menulis secara aktivitas singkatnya adalah mengajar dan bekerja serabutan demi mendapatkan uang untuk membeli buku. Ia sendiri mengakui dalam Dari Penjara ke Penajara, bahwa aktivitasnya dipenuhi dengan kesulitan dana.
"Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi," tulisnya.
Kisah perjuangan hidup Tan Malaka meski sempat diredupkan dalam narasi sejarah, ternyata terus menginspirasi pemikiran anak muda dalam pergulatan politik. Tak sedikit ketika saya menjumpai kelompok pergerakan anak muda kini mengutip dan menceritakan kisahnya.
Kisahnya yang abadi sesuai dengan sumpahnya di Penjara ke Penjara,
“Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR