Nationalgeographic.co.id—Sejak Njoto belia buku-buku Marx, Stalin, dan Lenin jadi santapan sehari-sehari saat duduk di bangku Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), semacam sekolah menengah pertama di Solo.
"Buku-buku berat berbahasa asing itu dipilih atas kemauannya sendiri, tidak ada yang mengarahkan," kata Sri Windarti, adik kandung Njoto 2009 lalu di buku Njoto Peniup Saksofon di Tengah Prahara. Biasanya, buku-buku itu dibaca selepas Njoto belajar.
Budaya baca tartanam di keluarganya. Raden Sosro Hartono, ayah Njoto, membiasakan anak-anaknya gemar membaca dari kecil. Mereka bebas membaca apa saja asalkan urusan sekolah tidak terbengkalai.
Akan tetapi, baik kepada Windarti maupun teman-temannya Njoto tertutup tentang politik. Menurut Windarti, Njoto belajar politik sembunyi-sembunyi. Pada waktu itu Jepang melarang masyarakat bicara tentang politik. Ia tidak pernah terlihat seperti seorang aktivis.
"Dia tidak pernah mendiskusikan gerakan politik," kata Sabar Antaguna, teman sekelas Njoto di Solo, yang duduk di belakangnya.
Pada saat naik kelas dua, Sabar masih ingat bahwa Njoto tiba-tiba menghilang. Njoto pamit pulang ke rumah orang tua di Jember dan pamit kepada Windarti. Tapi tak pernah kembali ke Solo. Tetapi Njoto malah pergi ke Surabaya, ia terlibat dalam perebutan senjata Jepang di Surabaya, Bangil, dan Jember.
Hingga kemudian terdengar kabar bahwa Njoto menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Yogyakarta, wakul PKI Banyuwangi pada usia 16 tahun.
Ia tinggal di Hotel Merdeka, kawasan Malioboro. Windarti sempat menemuinya di Yogya, beberapa kali diajak makan siang oleh Njoto. Di kota inilah ia bertemu dengan Aidit dan M.H Lukman satu tahun kemudian.
Saat itu pimpinan PKI yang juga eks Digulis bernama Sardjono baru memindahkan kantor pusat PKI ke Jalan Bintaran.
Aidit yang baru pulang dari Soviet menjadi anggota Comite Central dalam Kongres PKI Januari 1947. Aidit dan Lukman sudah bertemu sejak 1943 di Menteng 31, kemudian tinggal di Yogya. Mereka menghidupkan lagi majalah Bintang Merah.
Sejak saat itu, Njoto, Lukman, dan Aidit menjadi akrab. Aidit terpilih jadi Ketua Fraksi PKI saat sidang KNIP di Malang pada Maret 1947. Sementara Njoto memimpin Badan Pekerja KNIP.
Nyoto bersama Lukman dan Aidit kemudian masuk Komisi Penerjemah PKI pada awal 1948. Tugasnya menerjemahkan Manifes Partai Komunis karya Karl Marx dan Friedrich Engels.
Tiga serangkai ini sama-sama jadi anggota Comite Central PKI pada Agustus 1948. Aidit mengurus agraria, Luman di Sekretariat Agitasi dan Propaganda, kemudian Njoto menjalin relasi dengan badan-badan perwakilan.
Saat peristiwa Madiun terjadi partai tercerai berai. Namun Njoto, Lukman, dan Aidit menjadi The Three Musketeers atau tiga serangkai yang jadi tulang punggung partai.
Terbunuhnya banyak kader pada peristiwa Madiun membuat mereka menjadi mandiri. "Mereka jadi independen karena tak punya lagi tempat bertanya," kata almarhum Murad Aidit di buku Aidit Sang Legenda.
Tiga serangkai diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta dan membentuk Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan. Aidit dan Lukman bahkan pernah dikabarkan pergi ke Cina pada 1949. Ada kabar bahwa itu bualan untuk mengecoh pengejaran. Ada yang bulang mereka ke Medan dan Jakarta. Situasinya sulit karena hampir setiap kabinet alergi komunisme.
Pada situasi rumit itu, Aidit dan Lukman nekat menerbitkan Bintang Merah pada 15 Agustus 1950 dan selama dua pekan sekali mereka menerbitkan stensil Suara Rakyat, embrio dari Harian Rakyat yang jadi koran terbesar dengan oplah 55 ribu per hari.
Baca Juga: Bung Hatta: Stalin Memarahi Semaoen Karena Konvensi Nasionalis
Njoto kemudian bergabung untuk menggarapnya pada Januari 1951. Lewat Harian Rakyat dan Bintang Merah, Njoto 'menghajar' lawan-lawan politiknya.
Dua tahun kemudian, mereka menjadi pemimpin partai. Aidit jadi Sekretaris Jenderal, Lukman Wakil Sekjen I, dan Njoto jadi Wakil Sekjen II.
Pershabatan ketiganya berlanjut hingga Njoto menempati rumah di Menteng. Aidit dan Lukman sering datang dan mengadakan rapat di rumah itu.
Aidit dan Njoto, kenang Windarti, tipikal yang serius, terutama jika dalam urusan pekerjaan. Sementara Lukman lebih supel dan suka guyon.
Source | : | Berbagai Sumber |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR