“Kami, di sisi lain, ingin melihat bagaimana habitat yang berbeda, termasuk habitat yang sangat dimodifikasi secara antropogenik seperti perkebunan kelapa sawit, mempengaruhi perilaku sosial kera,” kata Anna Holzner, penulis pertama studi University of Leipzig dalam rilis.
"Untuk sebagian besar spesies primata, interaksi sosial dalam kelompok sangat penting untuk berhasil bertahan hidup dalam kelompok sosial yang besar dan kompleks di habitat alami mereka."
Para peneliti memaparkan bahwa setiap harinya dua kelompok ini berpindah selama tiga jam, dari hutan ke perkebunan. Padahal hutan tropis yang memiliki vegetasi harusnya menjadi pelindung mereka, berbeda dengan kondisi perkebunan kelapa sawit di tepinya yang berbahaya.
Kedua lokasi memiliki banyak makanan seperti buah kelapa sawit dan tikus, tetapi juga meningkatkan potensi konglik dengan manusia. Meski demikian di tepi perkebunan memberikan peluang jalur aman bagi monyet ekor babi untuk mundur ke hutan terdekat jika terancam.
Baca Juga: Peta Baru Ungkap Lahan Sawit Terluas Ada di Sumatra dan Kalimantan
Makanan itu diperoleh dari perkebunan sawit, dan lokasi ini dijadikan sumber makanan tambahan mereka. Perilaku mereka di perkebunan, maupun di tepinya, menghabiskan sekitar dua per tiga waktunya untuk makan dan mencari makanan.
Namun perubahan ini bukan hanya dipicu aktivitas makan monyet ekor babi yang meningkat di perkebunan. Melainkan, perkebunan sangat berperan dalam lingkungan. Lingkungan yang tak seperti hutan tropis menawarkan sedikit perlindungan bagi mereka, dan membuatnya berada dalam tekanan.
Pada gilirannya, dapat memicu peningkatan agresi mereka kepada manusia dan perkebunan itu sendiri, tulis para ilmuwan.
Source | : | Nature |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR