Cuaca yang lebih panas membuat orang lebih kejam, di seluruh tingkat pendapatan. Gelombang panas juga menurunkan nilai ujian anak-anak dan menyusutkan produktivitas.
Organisasi Buruh Internasional memperkirakan bahwa tingkat panas yang tinggi, pada tahun 2030, akan memangkas total jam kerja sebesar 2,2 persen. Angka ini setara dengan kehilangan 80 juta pekerjaan penuh waktu, yang sebagian besar akan terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah.
Di negara-negara kaya, para pekerja luar ruangan berupah rendah —di bidang konstruksi atau pertanian, misalnya— juga akan terpukul keras. Pada tahun 2050, panas dan kelembapan yang tinggi di Amerika Tenggara kemungkinan akan membuat seluruh musim tanam “tidak aman untuk pekerjaan pertanian dengan praktik kerja saat ini,” menurut para peneliti dari University of Washington.
Manusia, bersama dengan tanaman dan ternak mereka, berevolusi selama 10.000 tahun terakhir di ceruk iklim yang agak sempit, berpusat pada suhu rata-rata tahunan sekitar 55 derajat Fahrenheit atau hampir 12,8 derajat Celsius. Tubuh kita siap beradaptasi dengan suhu yang lebih tinggi, tetapi ada batasan seberapa banyak panas dan kelembapan yang bisa kita toleransi.
Bahkan orang-orang yang paling cocok dan terbiasa dengan panas akan mati setelah beberapa jam terpapar suhu "bola basah" 95 derajat. Suhu bola basah adalah ukuran gabungan suhu dan kelempaban yang mempertimbangkan efek dingin dari penguapan.
Baca Juga: Gambar Cadas Purbakala di Sulawesi Terancam Rusak oleh Perubahan Iklim
Pada titik 95 derajat ini, udara sangat panas dan lembap sehingga tidak bisa lagi menyerap keringat manusia. Berjalan jauh dalam kondisi seperti ini, apalagi memanen tomat atau mengisi lubang jalan raya, bisa berakibat fatal. Model iklim memprediksi bahwa suhu bola basah di Asia Selatan dan sebagian Timur Tengah akan, dalam kira-kira 50 tahun, secara teratur melebihi patokan kritis terseut.
Pada saat itu, menurut sebuah studi tahun 2020 yang mengejutkan di Proceedings of the National Academy of Sciences, sepertiga dari populasi dunia, yakni di Afrika, Asia, Amerika Selatan, dan Australia, akan tinggal di tempat-tempat yang terasa seperti Sahara saat ini. Rata-rata suhu tinggi di musim panas di Sahara sekarang mencapai 104 derajat Fahrenheit. Sebagai gambaran, suhu udara tertinggi di Jakarta pada siang hari biasanya hanya mencapai 30 derajat Celsius atau 86 derajat Fahrenheit, tapi banyak orang sudah mengeluh betapa panasnya ibu kota kita ini.
Baca Juga: Gunung Es Seluas Pulau Bali dan Seberat 1 Triliun Ton Mencair Hilang
Akibat banyaknya wilayah dunia sudah sepanas Sahara itu, kelak miliaran orang akan menghadapi pilihan yang sulit: Bermigrasi ke wilayah dengan iklim yang lebih dingin, atau tetap tinggal dan beradaptasi. Mengurung diri di dalam dalam ruang ber-AC adalah salah satu solusi yang jelas. Namun AC itu sendiri, dalam bentuknya saat ini, turut berkontribusi pada pemanasan planet ini. Selain itu, harga AC juga tidak terjangkau bagi banyak orang yang paling membutuhkannya.
Masalah panas ekstrem terkait erat dengan masalah sosial yang lebih besar, termasuk akses ke perumahan, air, dan perawatan kesehatan. Ini seperti masalah dari neraka. Jadi jika kita masih meremehkan dampak pemanasan global dan tak kunjung berusaha mencegahnya dengan mengurangi emisi gas rumah kaca, perlahan-lahan kita akan menghadapi masalah neraka itu dan generasi keturunan kita akan lebih menanggung akibatnya pula.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR