Seperti sejumlah besar leluhurnya dari suku Inca, Juan Apaza juga keranjingan emas. Sambil menuruni terowongan sedingin es sepanjang 5.100 meter di pegunungan Andes di Peru, penambang berusia 44 tahun itu menjejalkan segumpal daun coca ke dalam mulutnya untuk menopang dirinya agar mampu menahan lapar dan keletihan yang tak terelakkan.
!break!
Untuk 30 hari setiap bulan, Apaza bekerja membanting tulang, tanpa upah, jauh di dalam tambang ini, menggali di bawah sebuah gletser di atas kota tertinggi di dunia, La Rinconada. Selama 30 hari dia menghadapi berbagai bahaya yang sudah menewaskan banyak rekannya sesama penambang—bahan peledak, gas-gas beracun, terowongan runtuh—untuk mengekstraksi emas yang dibutuhkan dunia. Apaza melakukan semua ini, tanpa upah, agar dia berhasil bertahan sampai hari ini, hari ke-31, saat dia dan rekan-rekannya sesama penambang diberi satu kali giliran kerja, empat jam atau mungkin sedikit lebih lama, untuk mengangkut dan menyimpan batu sebanyak yang mampu diangkut dengan bahu mereka yang sudah lelah. Menurut sistem lotre kuno yang masih berlaku di ketinggian Andes, yang dikenal sebagai cachorreo, inilah yang dianggap setara dengan upah: sekarung batu yang mungkin mengandung sedikit, atau, yang jauh lebih sering, amat sangat sedikit, harta berupa emas.
Apaza masih menunggu datangnya keberuntungan itu. “Mungkin hari ini akan menjadi hari besar,” katanya, sambil menyunggingkan senyum lebar yang memperlihatkan sebuah gigi emas. Sambil menuju terowongan, dia menggumamkan doa dalam bahasa ibunya, bahasa Quechua, yang ditujukan kepada para dewa penguasa gunung dan semua emas di dalamnya.
“Gletser ini adalah tokoh Putri Tidur kami,” kata Apaza, sambil mengangguk ke arah lekukan yang berliku-liku di padang salju jauh tinggi di atas tambang. “Tanpa restunya, kami tidak akan pernah menemukan emas. Kami mungkin tak akan pernah berhasil keluar dari sini hidup-hidup.”
Memang ini bukan tambang El Dorado. Namun, selama lebih dari 500 tahun, lapisan berkilau yang terperangkap di bawah es glasial di sini, lima kilometer di atas permukaan laut, telah memikat banyak orang untuk datang ke tempat ini di Peru. Di antara orang-orang pertama itu adalah suku Inca, yang melihat logam yang berkilau abadi itu sebagai “keringat Matahari”; kemudian bangsa Spanyol, yang hasratnya akan emas dan perak memicu penaklukan Dunia Baru. Namun, baru sekaranglah, di saat harga emas melesat tinggi—harganya sudah naik 235 persen dalam delapan tahun terakhir—sebanyak 30.000 orang berduyun-duyun datang ke La Rinconada. La Rinconada adalah satu dari sekian banyak batas-batas fenomena yang benar-benar modern: demam emas abad ke-21.
!break!
Selama ribuan tahun, hasrat untuk memiliki emas telah mendorong manusia melakukan hal-hal yang ekstrem, mengobarkan perang dan penaklukan, menciptakan kekaisaran dan mata uang, meratakan gunung dan rimba. Emas memang bukan kebutuhan vital manusia; bahkan, kegunaan praktisnya relatif hanya sedikit. Namun, sifat-sifat utamanya—kerapatannya dan sifat dapat ditempanya yang tidak lazim, selain cahayanya yang abadi—telah membuatnya menjadi salah satu komoditas yang paling diidam-idamkan di dunia, sebuah lambang kecantikan, kekayaan, dan keabadian yang memukau. Hampir semua masyarakat dari berbagai zaman telah memperlakukan emas dengan kekuatan yang nyaris bersifat mitologis.
Hasrat umat manusia akan emas seharusnya sudah luntur di dunia modern sekarang ini. Tinggal sedikit masyarakat yang masih berpendapat bahwa emas dapat memberikan kehidupan abadi, dan setiap negara di dunia telah menghapuskan standar emas. Namun, kilauan emas bukan saja terus bertahan; dipacu oleh ketidakpastian global, kilauan emas justru semakin kuat.
Sementara para investor beramai-ramai menanam investasi dengan jaminan emas, perhiasan tetap meliputi dua pertiga permintaan, menghasilkan rekor sekitar 535 triliun rupiah dalam penjualan di seluruh dunia pada tahun 2007. Di AS, kampanye “Tolak Emas Kotor” yang digagas oleh para aktivis telah berhasil membujuk sejumlah besar penjual perhiasan emas terkemuka untuk berhenti menjual emas dari tambang-tambang yang menyebabkan kerusakan sosial atau kerusakan lingkungan yang parah, tetapi keprihatinan itu tidak berhasil menghentikan negara konsumen terbesar, yakni India, tempat demam emas sudah menyatu dengan budaya masyarakatnya, dan China, yang melampaui AS pada tahun 2007 untuk menjadi pembeli perhiasan emas terbesar urutan kedua di dunia.
Akibat daya pikat yang demikian besar, korban emas, yakni manusia dan lingkungan, belum pernah separah sekarang. Sebagian dari tantangannya, selain juga daya pukaunya, adalah bahwa jumlah emas demikian sedikit. Sepanjang sejarah, hanya 161.000 ton emas yang pernah ditambang, hampir tidak cukup untuk memenuhi dua kolam renang standar Olimpiade. Lebih dari separuhnya ditambang dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini. Sekarang, cadangan emas terkaya di dunia terkikis dengan cepat, dan penemuan baru amat langka. Kebanyakan emas yang tersisa untuk ditambang berada dalam jumlah amat sedikit, terkubur di penjuru dunia yang terpencil dan rapuh. Ini adalah undangan untuk merusak. Tetapi, jumlah penambang tidak pernah kurang, yang besar maupun kecil, yang bersedia menerima undangan itu.
!break!
Di ujung spektrum yang satu, terdapat banyak pekerja migran yang miskin, mengerumuni tambang-tambang berukuran kecil seperti La Rinconada. Menurut Organisasi Pengembangan Industri PBB (United Nations Industrial Development Organization, UNIDO), terdapat 10-15 juta penambang yang dinamakan penambang artisanal di seluruh dunia, dari Mongolia sampai Brasil. Dengan menggunakan metode sederhana yang nyaris tidak berubah selama berabad-abad, para penambang ini menghasilkan sekitar 25 persen emas dunia dan menopang kehidupan 100 juta orang. Ini merupakan kegiatan penting bagi mereka—dan juga mematikan.
Di Republik Demokrasi Kongo dalam satu dasawarsa terakhir ini, kelompok-kelompok bersenjata setempat yang bertikai untuk menguasai tambang emas dan rute perdagangan terus-menerus melancarkan teror dan menyiksa para penambang, lalu menggunakan laba dari emas untuk membeli senjata dan membiayai kegiatan mereka.
Efek mematikan dari merkuri sama bahayanya bagi para penambang berskala kecil. Kebanyakan menggunakan merkuri untuk memisahkan emas dari batu, dan ini menyebarkan racun, baik dalam bentuk gas maupun cairan. UNIDO memperkirakan sepertiga dari merkuri yang dilepaskan manusia ke lingkungan berasal dari tambang emas artisanal.
Di ujung lainnya dari spektrum ini terdapat tambang terbuka berskala besar yang dioperasikan oleh sejumlah perusahaan pertambangan terbesar di dunia. Dengan menggunakan sejumlah armada mesin berukuran raksasa, perusahaan pertambangan yang meninggalkan jejak besar ini menghasilkan tiga perempat emas dunia. Mereka juga mendatangkan pekerjaan, teknologi, dan pembangunan di kawasan tertinggal. Akan tetapi, pertambangan emas menghasilkan lebih banyak limbah dalam setiap gram-nya dibandingkan logam lainnya, dan skala disparitas tambang yang memprihatinkan ini menunjukkan alasannya: Guratan di Bumi ini demikian besarnya sehingga bisa dilihat dari luar angkasa, tetapi partikel emas yang ditambang di sejumlah tambang ini berukuran mikroskopis sehingga, dalam banyak kasus, lebih dari 200 partikelnya dapat masuk ke lubang di peniti. Bahkan di tambang yang menjadi teladan pun, seperti Batu Hijau yang dikelola oleh Perusahaan Tambang Newmont di Indonesia bagian timur, yang sudah menggelontorkan sekitar 6 triliun rupiah untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan, tetap saja tidak berhasil menghindari bahaya besar yang diakibatkan oleh kegiatan penambangan emas. Mengekstraksi satu ounce (31 gram) emas di situ—jumlah yang lazim digunakan untuk membuat cincin kawin—mengharuskan digalinya lebih dari 250 ton batu dan bijih.
!break!
Sebagai gadis yang dibesarkan di Pulau Sumbawa yang terpencil, Nur Piah pernah mendengar cerita tentang sejumlah besar emas yang terkubur di bawah hutan hujan di gunung. Cerita itu hanya dianggap legenda—sampai para ahli geologi dari sebuah perusahaan Amerika, Perusahaan Tambang Newmont, menemukan batu hijau yang membuat penasaran di dekat gunung api yang sudah tidak aktif, dua belas kilometer dari rumahnya. Warna batu yang mirip lumut itu menyiratkan bahwa batu itu mengandung tembaga, yang adakalanya ditemukan berdampingan dengan emas, dan tidak lama kemudian Newmont mulai membangun pertambangan yang dinamai Batu Hijau.
Nur Piah, yang waktu itu berusia 24 tahun, menjawab iklan Newmont yang mencari “operator,” dengan membayangkan bahwa sikapnya yang ramah cocok untuk pekerjaan seorang operator yang bertugas menjawab panggilan telepon. Namun, ketika putri seorang pemuka Islam ini tiba untuk mendapatkan pelatihan, atasannya menunjukkan ruang kerja yang berbeda—kabin Caterpillar 793, sebuah truk pengangkut, salah satu truk terbesar di dunia. Dengan tinggi enam meter dan panjang tiga belas meter, truk itu lebih besar daripada rumah keluarganya. Rodanya saja dua kali tinggi tubuhnya. “Truk itu membuatku ketakutan,” kata Nur Piah mengingat-ingat. Keterkejutan yang berikutnya segera muncul ketika dia melihat tempat galian pertama di tambang itu. “Mereka mengelupasi kulit Bumi!” katanya. “Aku pikir, tenaga yang sanggup melakukan hal itu pastilah sangat dahsyat.”
Sepuluh tahun kemudian, Nur Piah merupakan bagian dari daya itu. Truk yang dioperasikannya itu adalah bagian dari sebuah armada 111 wahana yang mengeruk hampir seratus juta ton batu setiap tahun. Apa yang terjadi dengan gunung api setinggi 550 meter yang dulu berdiri di sini selama jutaan tahun? Sudah tidak ada lagi tanda-tandanya yang tersisa. Area yang dulu ditempati gunung api itu telah berubah menjadi lubang selebar 1.500 meter yang menjangkau 105 meter di bawah permukaan laut. Pada saat lapisan batu yang mengandung emas di Batu Hijau sudah habis dalam kurun waktu sekitar 20 tahun lagi, lubang itu akan sudah menjangkau 450 meter di bawah permukaan laut.
Namun, ada satu hal yang membuat Nur Piah penasaran: dalam kurun waktu satu dasawarsa di Batu Hijau, dia tidak pernah melihat sedikit pun emas yang ditambang dengan bantuannya. Para insinyur yang memantau prosesnya melacak keberadaan emas di dalam senyawa tembaga yang mengandungnya. Dan, karena emas itu diangkut keluar ke perusahaan peleburan di luar negeri dalam konsentrat tembaga, tidak seorang pun penduduk Sumbawa pernah melihat harta terpendam yang sudah mengubah kondisi pulau mereka.
!break!
Terdorong oleh harga emas yang terus naik dan menipisnya cadangan emas di AS, Afrika Selatan, dan Australia, perusahaan-perusahaan emas terbesar di dunia memburu emas sampai ke ujung Bumi. Segelintir perusahaan merambah dunia dengan lebih gencar daripada Newmont, raksasa pertambangan yang sekarang mengoperasikan tambang emas terbuka di lima benua, Terpikat oleh keuntungan beroperasi di negara berkembang—biaya lebih rendah, hasil lebih tinggi, peraturan lebih sedikit—Newmont telah menciptakan puluhan ribu lowongan kerja di kawasan miskin. Namun, perusahaan ini juga dikecam habis-habisan untuk segala macam hal, mulai dari merusak lingkungan hingga memindahkan permukiman penduduk desa dengan paksa.
Kebanyakan penduduk Sumbawa adalah petani dan nelayan yang tinggal di gubuk-gubuk kayu yang dibangun di atas tiang, kehidupan mereka boleh dikatakan nyaris tidak tersentuh dunia modern. Namun, di balik pintu gerbang di Batu Hijau, Newmont telah menyulap hutan itu menjadi perkotaan bergaya Amerika, tempat tinggal sekitar 2.000 pegawai tambang yang berjumlah 8.000 orang.
Harga yang lebih tinggi dan berbagai teknik modern memungkinkan perusahaan untuk secara menguntungkan menambang emas dalam bentuk bercak mikroskopik; untuk memisahkan emas dan tembaga dari batu di Batu Hijau, Newmont menggunakan teknologi pengapungan yang setelannya halus dan tidak beracun, tidak seperti “pelindian tumpuk” sianida yang mungkin saja beracun, yang digunakan perusahaan di beberapa tambangnya yang lain. Meskipun demikian, tidak ada teknologi yang mampu secara ajaib menghilangkan limbah berlimpah yang dihasilkan oleh kegiatan penambangan. Dibutuhkan waktu kurang dari 16 jam untuk menimbun lebih banyak limbah dalam hitungan ton di sini daripada jumlah semua emas dalam hitungan ton yang sudah ditambang sepanjang sejarah hidup manusia. Limbah itu ada dua bentuk: batu buangan, yang ditimbun menjadi gunung berpuncak rata yang menyebar di daerah yang dulunya merupakan hutan hujan perawan, dan tailing, yakni efluen dari proses kimia yang disalurkan Newmont melalui pipa ke dasar laut.
Metode “pembuangan tailing ke laut” ini secara efektif dilarang di sebagian besar negara maju karena kerusakan yang ditimbulkan oleh limbah logam berat terhadap lingkungan laut, dan Newmont hanya melakukannya di Indonesia.
!break!
Laut-dalam mungkin tidak memiliki banyak pembela, tetapi hutan hujan memilikinya. Dan mungkin hal itulah yang merupakan salah satu alasan mengapa timbunan menggunung batu limbah Batu Hijau, bukan tailing yang dibuang ke laut, yang mengobarkan konflik dengan pemerintah Indonesia. Departemen lingkungan Newmont—sekarang memiliki 87 pegawai—menekankan upayanya untuk mengembalikan keadaan asli dari timbunan batu buangan itu, menutupinya dengan tanah setinggi tiga meter, dan ini memungkinkan hutan tumbuh kembali. Tentu saja, tidak ada hal apa pun yang dapat memulihkan kembali hutan hujan perawan, dan Newmont menghadapi masalah berikutnya: Setelah sepuluh tahun beroperasi, perusahaan itu kehabisan tempat untuk membuang limbah dari Batu Hijau. Tiga tahun yang lalu, perusahaan itu mengajukan perpanjangan izin untuk menggarap 32 hektare lagi hutan hujan. Sampai sejauh ini, Jakarta belum memberikan izin, karena para pakar lingkungan menunjukkan nyaris punahnya burung kakaktua jambul kuning di Sumbawa. Dengan ruangan yang terbatas, truk-truk pengangkut di Batu Hijau sekarang sering menghadapi kemacetan dan ini mengganggu efisiensi tambang. Jika tidak ada hutan hujan yang diizinkan untuk segera digarap, demikian diingatkan para pejabat Newmont, mereka terpaksa harus memberhentikan ratusan pegawai Indonesia.
Sekarang pemerintah daerah dan pemerintah provinsi, yang kekuasaannya meluas sejak kejatuhan diktator Suharto pada tahun 1998, mulai bersikap tegas. Dengan mempertimbangkan kepentingan bisnis Indonesia, mereka bergerak agar bisnis Indonesia mendapatkan bagian dari tambang itu dan berhak menentukan bagaimana keuntungannya dibagi. “Kami tidak punya kekuasaan untuk menentukan nasib kami ketika kontrak ini ditandatangani oleh pemerintahan Suharto,” kata anggota DPRD, Manimbang Kahariady. “Kami harus melindungi masa depan kami. Apa yang tersisa di lingkungan kami di saat tambang itu selesai beroperasi?”
Perhiasan emas dikeluarkan satu per satu dari beberapa kotak beludru, pusaka keluarga yang Nagavi, pengantin India berusia 23 tahun, sudah lama tahu bahwa dia akan mengenakan perhiasan itu pada hari pernikahannya. Sebagai anak perempuan tertua dari pemilik perkebunan kopi di negara bagian Karnataka di India selatan, Nagavi dibesarkan dengan mengagumi acara pernikahan yang menandai perpaduan dua keluarga kaya India. Namun, pada pagi hari di hari pernikahannya yang diatur oleh keluarga, dijodohkan dengan putra tunggal keluarga pemilik perkebunan kopi lainnya, barulah dia menyadari betapa tradisi emas itu dapat menjadi demikian indah.
Pada saat Nagavi sudah siap untuk acara pernikahannya, lulusan perguruan tinggi yang terbiasa mengenakan celana jins dan kaus oblong itu berubah menjadi seorang putri India, gemerlap oleh perhiasan emas. Hiasan kepala yang dibuat dengan eloknya begitu berat—dua setengah kilogram emas—sehingga kepala Nagavi tertarik ke belakang. Tiga kalung emas dan selusin gelang bertindak sebagai penjaga keseimbangan yang efektif. Dengan berlilitkan kain sari sepanjang 5,5 meter yang ditenun dengan benang yang dicelupkan ke dalam emas, Nagavi berjalan perlahan keluar dari rumahnya, sambil berusaha menjaga keseimbangannya ketika melemparkan beras melalui bagian atas kepalanya, cara tradisional mengucapkan selamat tinggal.
!break!
Harta emas yang dikenakan Nagavi—bersama perhiasan dan kain sari yang dikemas di dalam bagasi mobil SUV yang membawanya ke gedung pernikahan—bukanlah mas kawin tradisional. Di kalangan pekebun kopi di kota Chikmagalur, tidak seperti di banyak bagian yang lebih miskin di negeri ini, dianggap tidak pantas jika keluarga pengantin pria menyatakan tuntutan secara gamblang. “Perhiasan emas ini dipandang sebagai ‘bagian’ saya dalam kekayaan keluarga,” kata Nagavi, sambil menatap jutaan dolar dalam bentuk perhiasan emas.
Tidak ada obsesi terhadap emas di dunia ini yang lebih kental secara budaya daripada di India. Penghasilan per kapita di negara berpenduduk satu miliar jiwa ini adalah sekitar 27 juta rupiah, tetapi India adalah pemimpin terdepan di dunia dalam hal permintaan akan emas selama beberapa dasawarsa ini. Pada tahun 2007, India mengonsumsi 773,6 ton emas, sekitar 20 persen pasar emas dunia dan lebih dari dua kali lipat jumlah yang dibeli oleh pengikutnya yang terdekat, China (363,3 ton) dan AS (278,1 ton). India sendiri menghasilkan sedikit sekali emas, tetapi warganya menumpuk hingga 18.000 ton logam kuning ini—lebih dari 40 kali jumlah yang disimpan di bank sentral negara itu.
Kecintaan India akan emas ini tidak semata-mata berasal dari kesukaan untuk bermewah-mewah atau karena meningkatnya kemakmuran masyarakat kelas menengah yang sedang muncul. Bagi umat Muslim, Hindu, Sikh, dan Kristiani pun, emas berperan penting dalam hampir setiap perubahan dalam kehidupan—terutama ketika sepasang anak manusia menikah. Terdapat sekitar sepuluh juta pernikahan di India setiap tahun, dan dalam hampir semua pernikahan itu, emas amatlah penting, baik sebagai ajang pameran maupun transaksi yang sarat oleh budaya antara keluarga dan generasi. “Sudah tertulis dalam DNA kami,” kata K. A. Babu, seorang manajer toko perhiasan Alapatt di barat daya kota Cochin. “Emas sama dengan masa depan yang cerah.”
Persamaan ini terwujud paling gamblang pada pesta musim semi di Akshaya Tritiya, yang dianggap sebagai hari paling baik untuk membeli emas dalam kalender Hindu. Jumlah perhiasan emas yang dibeli orang India pada hari tersebut—49 ton pada tahun 2008—jauh melampaui jumlah yang dibeli di hari lain sepanjang tahun di seluruh dunia, sehingga sering memacu lonjakan harga emas.
!break!
Namun, sepanjang tahun, pusat konsumsi emas adalah Kerala, negara bagian yang relatif makmur di ujung selatan India yang penduduknya hanya 3 persen dari populasi negara, tetapi pasar emasnya mencakup 7 sampai 8 persen. Ini karakteristik yang tidak lazim bagi suatu wilayah yang memiliki satu dari sejumlah pemerintahan Marxis yang dipilih secara demokratis di dunia tetapi hal ini sudah mengakar dalam sejarah. Sebagai pelabuhan penting dalam perdagangan rempah-rempah global, Kerala terpapar cukup dini pada emas, mulai dari bangsa Romawi yang menawarkan koin untuk mendapatkan lada, kapulaga, dan kayu manis hingga arus para penjajah berikutnya, bangsa Portugis, Belanda, Inggris. Namun, para sejarawan lokal mengatakan bahwa pemberontakan kawasan itu terhadap sistem kasta Hindu-lah (sebelum pemberontakan ini, kasta terendah diperbolehkan menghiasi diri mereka hanya dengan bebatuan dan tulang-belulang yang dikilapkan), dan konversi besar-besaran ke Kristen dan Islam yang terjadi selanjutnya, yang mengubah emas menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar perdagangan: lambang yang kuat dalam hal gerakan kemerdekaan dan kemajuan.
Meskipun sejarahnya panjang, kehausan Kerala akan emas paling terasa pada masa kini. Semua pedagang eceran emas terbesar di India berasal dari Kerala, dan 13 ruang pameran emas besar menyebabkan macetnya jalan utama Cochin sepanjang tiga kilometer, yakni Jalan Mahatma Gandhi. (Entah apa kata Mahatma yang hidupnya sangat bersahaja.) Mas kawin, meskipun secara resmi dilarang, tetap mendominasi acara pernikahan di India, dan di Kerala, bagian terbesar dari mas kawin biasanya emas.
Ketika bayi dilahirkan di Kerala, neneknya menggosok koin emas dengan madu, lalu meneteskan setetes cairan itu ke lidah si bayi agar mendapatkan keberuntungan. Pada semua peristiwa penting dalam kurun waktu enam bulan pertama, dari permandian hingga saat pertama kali menyantap makanan padat, si anak menerima hadiah berupa perhiasan emas: anting-anting, kalung, kalung perut.
Secara individu, tidak satu pun dari berbagai upacara ini yang mengungkapkan betapa dalamnya emas menyatu dalam perekonomian India. “Emas adalah landasan sistem keuangan kami,” ujar Babu, sang manajer toko perhiasan. “Orang memandangnya sebagai alat pengaman terbaik, dan tidak ada benda lain yang dapat dijual secepat emas.” Menyimpan emas sebagai tabungan keluarga antargenerasi merupakan tradisi kuno di India. Demikian pula menggadaikan perhiasan emas untuk mendapatkan pinjaman guna keperluan darurat—dan kemudian menebusnya kembali. Bank komersial masih tetap menawarkan layanan gadai, setelah upaya mereka untuk menghentikannya pada tahun 1990an mengakibatkan kerusuhan dan tindakan bunuh diri oleh nasabah yang terlilit utang, kemudian dikeluarkannya instruksi pemerintah untuk meneruskan praktik ini.
!break!
Namun, banyak petani di Kerala lebih menyukai kecepatan dan kemudahan menghubungi “pemberi pinjaman pribadi” seperti George Varghese, yang melakukan kegiatannya dari rumahnya yang berjarak tiga jam perjalanan ke arah selatan Cochin. Sebagai seorang pria berusia 70an tahun yang sudah mulai botak, Varghese berkata bahwa dia memutarkan uang sekitar lima miliar rupiah sebulan dalam bentuk emas gadai, bahkan lebih banyak lagi pada masa panen dan musim pernikahan. Tak banyak orang yang tidak membayar. Tidak ada orang India yang bersedia kehilangan emasnya. “Bahkan ketika emas mencapai sekitar 10 juta per ounce, tidak ada yang menjual perhiasannya atau koinnya,” kata Varghese. “Ini adalah tabungan mereka, dan mereka percaya tabungan itu terus bertambah.”
Akan tetapi, karena harga logam mulia itu semakin mahal, keluarga India yang miskin semakin sulit mengumpulkan emas yang mereka perlukan untuk mas kawin. Meskipun mas kawin merupakan fungsi sosial—menyeimbangkan kekayaan antara keluarga pengantin wanita dan pengantin pria—kenaikan harga emas memperparah sisi negatifnya. Di negara bagian tetangga Tamil Nadu, perjuangan untuk mendapatkan emas menyebabkan kekerasan rumah tangga yang diakibatkan oleh mas kawin (biasanya ketika keluarga pengantin pria memukuli pengantin wanita karena hanya membawa emas dalam jumlah sangat sedikit) dan aborsi selektif (dilakukan oleh keluarga yang sangat ingin menghindari beban keuangan jika anak yang terlahir itu perempuan).
Bahkan di Kerala, tekanan itu kadang terlalu berat sehingga tidak tertahankan oleh keluarga miskin. Rajam Chidambaram, seorang janda berusia 59 tahun yang tinggal di permukiman kumuh di luar kota Cochin, belum lama ini menemukan seorang pemuda untuk menikahi putri tunggalnya yang berusia 27 tahun. Akan tetapi, keluarga pengantin pria, menuntut mas kawin yang jauh melampaui kemampuannya: 25 koin emas, atau 200 gram, emas (senilai sekitar 16,5 juta rupiah delapan tahun yang lalu, tetapi nilainya sekitar lebih dari 52 juta rupiah sekarang). Chidambaram, yang bekerja sebagai tukang bersih-bersih, hanya memiliki dua anting-anting yang dikenakannya; kalung emas yang dulu pernah dipunyainya sudah tidak ada karena digunakan untuk membayar biaya rumah sakit suaminya yang sudah meninggal. “Saya harus memenuhi tuntutan pengantin pria,” kata Chidambaram, sambil menyeka air matanya. “Kalau saya menolak, putri saya akan tinggal di rumah untuk selamanya.”
Pada akhirnya, pemberi pinjaman setempat memberikan pinjaman untuk mas kawin putrinya. Chidambaram mungkin berhasil menghindari rasa malu karena punya anak perempuan yang tidak menikah, tetapi sekarang dia dibebani utang yang mungkin mengharuskannya menjalani seluruh sisa hidupnya untuk berusaha melunasinya.
!break!
Rosemery Sánchez Condori baru berusia sembilan tahun, tetapi punggung tangannya tampak mengilap seperti kulit yang sudah usang. Itulah yang terjadi apabila seorang anak perempuan menghabiskan waktu memukuli batu di bawah matahari Andes. Sejak ayah Rosemery jatuh sakit di tambang La Rinconada delapan tahun yang lalu, ibunya bekerja 11 jam sehari mengumpulkan batu di dekat tambang dan memukulinya dengan palu menjadi serpihan kecil-kecil untuk mencari emas yang mungkin luput dari penglihatan.
Di tambang-tambang berskala kecil di seluruh dunia, pencarian emas adalah usaha keluarga. Dari 10 hingga 15 juta penambang emas artisanal di dunia, sekitar 30 persen adalah wanita dan anak-anak. Di gunung di atas La Rinconada, kaum lelaki menghilang masuk ke dalam tambang, sementara istri mereka duduk di dekat tumpukan batu buangan, mengayun-ayunkan martil seberat dua kilogram dengan irama yang lemah. Karena tidak ada yang mengasuh anak di rumah dan membutuhkan penghasilan tambahan, para wanita yang mengenakan rok tradisional panjang dan topi bundar kadang-kadang mengajak anak-anak mereka. Ketidakpastian sistem lotre tambanglah—dan pengkhianatan banyak pria di sini—yang memaksa para wanita mendatangi gunung. Setidaknya mereka tahu bahwa enam atau delapan gram emas yang mereka dapatkan setiap bulan, setara dengan nilai sekitar 2 juta rupiah, akan diterima keluarga—bukan dihabiskan di bar kotor dan tempat pelacuran kumuh yang memenuhi daerah pelacuran kota.
Hanya emaslah, benda yang menjadi dambaan dan mengakibatkan kerusakan, yang dapat menciptakan tempat dengan kontradiksi yang mengejutkan seperti La Rinconada. Meskipun terpencil dan tidak ramah—pada ketinggian 5.100 meter, bahkan pasokan oksigen pun sedikit—namun kota itu tumbuh dengan sangat pesat. Ketika mendekati daerah permukiman dari seberang dataran tinggi, pengunjung mula-mula melihat kilapan bubungan atap di bawah sebuah gletser menakjubkan. Kemudian, tercium bau busuk. Bukan hanya karena sampah yang dibuang ke lereng gunung, tetapi limbah manusia dan industri yang memenuhi jalanan di daerah permukiman. Meskipun terus berkembang—jumlah tambang yang melubangi gletser itu melonjak dalam enam tahun dari 50 menjadi sekitar 250—La Rinconada hanya memiliki sedikit layanan pokok: tidak ada pipa air, tidak ada sanitasi, tidak ada pengendalian pencemaran, tidak ada kantor pos, bahkan tidak ada kantor polisi. Kantor polisi terdekat, yang hanya dilayani oleh beberapa orang polisi, berjarak satu jam menuruni gunung.
Pertumbuhan pesat La Rinconada dipacu oleh perpaduan antara naiknya harga emas dan, pada tahun 2002, masuknya aliran listrik. Sekarang para penambang menggunakan alat bor bertekanan udara selain palu dan pahat. Mesin penggiling batu tradisional yang digerakkan dengan kaki telah disisihkan oleh mesin penggiling listrik kecil. Listrik tidak membuat kegiatan penambangan menjadi lebih bersih; bahkan, merkuri dan bahan beracun lainnya dilepaskan ke lingkungan secara lebih cepat daripada sebelumnya. Meskipun demikian, hampir setiap orang sependapat bahwa La Rinconada belum pernah menghasilkan emas sebanyak sekarang. Perkiraan berkisar antara dua sampai sepuluh ton setahun, setara dengan nilai sekitar 600 miliar sampai 3 triliun rupiah. Namun, tidak seorang pun benar-benar tahu, karena sebagian besar emas di sini, sejujurnya, tak tercatat.
!break!
Kementerian energi dan pertambangan Peru dengan tekun melacak emas yang dihasilkan negara, dan dengan alasan yang masuk akal: Emas adalah ekspor terbesar Peru, dan sekarang negara itu merupakan penghasil emas terbesar urutan kelima di dunia. Hasilnya sebesar 187,5 ton, lebih dari delapan kali lipat hasil tahun 1992. Namun, kementerian itu tidak memiliki kantor di La Rinconada, dan penduduk setempat berkata bahwa emas yang dihasilkan usaha pertambangan tidak dihitung dengan cermat, antara lain karena operator tambang biasanya mengecilkan angka produksi mereka untuk menghindari pajak. “Kami semua bangkrut!” kata salah satu di antara mereka sambil tertawa. “Atau setidaknya begitulah yang kami katakan.”
Penambang di La Rinconada pun banyak yang tidak tercatat. Tidak ada daftar gaji—hanya ada karung-karung berisi batu—dan beberapa operator tambang bahkan tidak mau repot-repot mencatat nama para pekerjanya. Para majikan, tentu saja, dapat menjadi kaya dengan jenis perbudakan terikat kontrak ini. Manajer salah satu operasi yang lebih besar di La Rinconada berkata bahwa tambangnya menghasilkan 50 kilo emas setiap tiga bulan—lebih dari sekitar 50 miliar rupiah setara dengan emas setiap tahun. Para pekerjanya, dari cachorreo bulanan, masing-masing berhasil mengekstraksi sekitar sepuluh gram emas, atau sekitar 30 juta rupiah setahun. Meskipun terdapat ketimpangan seperti ini, para penambang tidak melawan sistem ini; bahkan, mereka tampaknya lebih suka mendapatkan peluang kecil untuk sekali sebulan mendapatkan rezeki nomplok di tambang daripada kepastian suram mendapatkan upah kecil dan kemiskinan kronis dengan bekerja di ladang. “Ini lotre yang kejam,” kata Juan Apaza, penambang bergigi emas yang bekerja di gletser. “Namun, setidaknya peluang itu memberi kami harapan.”
Lotre yang lebih tidak berperasaan mungkin lotre yang dihadapi para penambang dan keluarga mereka, yakni berusaha untuk dapat tetap bertahan hidup di tempat yang begitu berbahaya dan tercemar itu. Harapan hidup di La Rinconada hanya 50 tahun, yakni 21 tahun lebih pendek daripada rata-rata nasional. Kecelakaan tambang yang mematikan sering terjadi, biasanya disebabkan oleh bahan peledak mentah yang ditangani oleh penambang yang tidak berpengalaman atau yang sedang mabuk. Seandainya ledakan itupun tidak menimbulkan korban tewas, asap karbon monoksida yang dihasilkannya bisa saja mematikan. Peru memiliki undang-undang tegas yang mengatur keamanan tambang, tetapi pengawasannya minim sekali di La Rinconada. “Dari 200 perusahaan pertambangan di sini, hanya lima perusahaan yang mewajibkan dipakainya perangkat perlengkapan keselamatan yang lengkap,” kata Andrés Paniura Quispe, seorang insinyur keselamatan yang bekerja di salah satu dari segelintir perusahaan yang menerapkan standar tinggi, tetapi tetap mengharuskan para penambang membeli sendiri perlengkapan tersebut.
Para penambang menyikapi genderang kematian dengan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang tidak terhindarkan. Pepatah setempat mengatakan—“Al labor me voy, no sé si volveré”—yang berarti “Aku berangkat bekerja, entah apakah akan bisa kembali lagi.” Bahkan, kematian di tambang dipandang sebagai pertanda bagus bagi yang selamat. Persembahan berupa manusia, yang dipraktikkan di Andes selama berabad-abad, masih tetap dipandang sebagai bentuk tertinggi persembahan kepada para dewa gunung. Menurut kepercayaan setempat, proses kimia yaitu gunung menyerap otak manusia membawa bijih emas lebih dekat ke permukaan, sehingga lebih mudah diekstraksi.
!break!
Namun, para dewa pasti tidak senang menyaksikan betapa lingkungan La Rinconada telah teracuni. Limbah selokan dan sampah di jalanan yang ramai tidak ada artinya jika dibandingkan dengan berton-ton merkuri yang dilepaskan selama proses pemisahan emas dari batu. Di tambang emas berskala kecil, UNIDO memperkirakan dua sampai lima gram merkuri dilepaskan ke lingkungan untuk setiap gram emas yang diperoleh—statistik yang mencengangkan, mengingat keracunan merkuri dapat menyebabkan kerusakan parah pada sistem saraf dan semua organ penting. Menurut pakar lingkungan asal Peru, merkuri yang dilepaskan di La Rinconada dan Ananea, kota tambang di dekatnya, mencemari sungai dan danau, terus hingga ke pantai Danau Titicaca, yang berjarak 250 kilometer.
Penduduk di sekitar La Rinconada mendapatkan penderitaan terberat akibat kerusakan tersebut. Ayah Rosemery, Esteban Sánchez Mamani, sudah 20 tahun bekerja di sini, meskipun dia sudah jarang memasuki tambang hari-hari belakangan ini karena penyakit kronisnya yang telah menyita energinya dan meningkatkan tekanan darahnya. Sánchez tidak tahu persis apa penyakitnya—kunjungannya yang hanya sekali ke dokter tidak memberikan kepastian—tetapi, dia menduga penyakitnya berasal dari lingkungan yang tercemar. “Aku tahu, tambang telah memperpendek usiaku,” ujar Sánchez, yang bertubuh agak bungkuk yang membuatnya tampak puluhan tahun lebih tua dari usianya yang baru 40 tahun. “Tetapi, inilah satu-satunya kehidupan yang kami kenal.”
Nasib keluarga sekarang bergantung pada bijih yang diangkut dari gunung oleh Carmen, istri Sánchez. Sambil duduk di lantai batu di gubuk keluarga, Sánchez menghabiskan sebagian besar harinya dengan memukuli batu menjadi serpihan kecil, menyimpan pecahan yang dihiasi bercak emas di dalam sebuah cangkir kopi biru. Rosemery melakukan pekerjaan rumahnya di atas karung beras, menanyai seorang tamu tentang kehidupan di luar La Rinconada: “Apakah orang suka mengunyah daun coca di negeri Anda? Anda punya alpaca?” Meskipun baru duduk di kelas satu, Rosemery bercita-cita ingin menjadi akuntan dan tinggal di AS. “Aku ingin pergi jauh dari sini,” katanya.
Rosemery terus membuntuti ayahnya yang mengantarkan dua karung bijih—angkutan mingguan—ke tempat penggilingan kecil di daerah di atas rumah mereka. Ini adalah bagian dari kegiatan rutin yang tak pernah berakhir, tetapi setiap kali Sánchez terus berharap mendapatkan rezeki nomplok. Sekurang-kurangnya, dia berharap mendapatkan emas sekadarnya yang cukup untuk membiayai kedua anaknya bersekolah. “Aku ingin mereka berilmu agar dapat meninggalkan tempat ini,” kata Sánchez, yang hanya lulusan sekolah dasar.
!break!
Bersama-sama, ayah dan anak perempuannya memperhatikan tukang giling melakukan seni kunonya. Dengan menggunakan tangan telanjang, lelaki itu mengucurkan merkuri cair dalam gerakan berputar ke dalam panci kayu untuk memisahkan emas dari batu, membuang limbah yang mengandung merkuri ke sungai kecil di bawah gubuk. Sembilan meter di hilir, seorang gadis muda tengah mengisi sebuah botol plastik dengan air tercemar itu. Di dalam gubuk si tukang giling, semua mata terpaku pada bongkah keperakan sebesar kelereng yang dihasilkan tukang giling itu: bagian luarnya yang diselaputi merkuri menyembunyikan emas yang tidak diketahui jumlahnya.
Sambil menjejalkan bongkahan itu ke sakunya, Sánchez berjalan susah payah mendaki bukit menuju ke sebuah toko pembeli emas. Pedagangnya, salah satu dari ratusan pedagang di kota, membakar habis merkuri dengan sebuah obor las, melepaskan gas beracun itu melalui pipa buang ke udara tipis yang dingin. Saat pedagang bekerja, Sánchez berjalan mondar-mandir di ruangan itu, sambil memegang topi abu-abunya yang sudah lusuh.
Sepuluh menit kemudian, sebuah inti emas sangat kecil muncul dari nyala api. Sánchez mengerutkan keningnya. Beratnya hanya 1,1 gram. Si pedagang mengambil beberapa lembar uang, lalu sambil mengangkat bahu memberikan sejumlah uang kepada Sánchez, yang setelah dipotong biaya untuk si tukang giling, hanya tersisa kurang dari sekitar 200.000 rupiah untuk keluarganya. “Mudah-mudahan nasibmu lebih baik lain kali,” kata si pedagang.
Mungkin bulan depan, atau bulan berikutnya lagi. Dengan bekerja keras mempertahankan hidup setinggi langit di gletser, Sánchez tahu bahwa nasib baik sajalah yang bisa diharapkannya
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR