Beberapa detik pertama insiden di Urumqi hampir terlihat sebagai sesuatu yang menggembirakan mengingat apa yang terjadi pekan sebelumnya. Detik-detik itu tidak memberi pertanda apapun tentang apa yang bakal terjadi selanjutnya. Pada hari di bulan Juli tersebut, angin sejuk berembus di Urumqi sehingga banyak warga yang keluar rumah. Beberapa toko masih tutup karena jendelanya pecah, tetapi para penjaja makanan terlihat mendorong gerobak mereka ke jalan. Sepekan sebelumnya di kota ini pecah bentrokan antarsuku, hampir 200 orang tewas dalam salah satu unjuk rasa yang paling mematikan di China sejak pembantaian Lapangan Tiananmen dua dasawarsa lalu. Jadi, pemerintah China mengirimkan puluhan ribu aparat keamanan ke Urumqi, ibu kota Daerah Otonomi Xinjiang Uighur untuk memulihkan ketertiban antara suku Han dan Uighur. Suku Han mendominasi masyarakat China, tetapi Uighur, bangsa Asia Tengah yang berbahasa Turki, mengklaim bahwa tanah perbatasan di wilayah barat itu sebagai tanah leluhur mereka.
!break!
Kembali pada detik-detik awal insiden, aparat keamanan suku Han berbaris di sepanjang semua jalan di kawasan suku Uighur di kota itu. Mereka tampak menakutkan dengan perlengkapan anti huru-hara dan senapan otomatis. Satu-satunya suara berasal dari pelantam di atas truk yang perlahan melintasi jalan-jalan pasar, menyiarkan kabar baik tentang keharmonisan etnis. Jika ada keresahan di Urumqi Senin itu, hal itu terbungkus dalam bisu.
Sebagian besar suku Uighur beragama Islam dan sekitar tengah hari saya berdiri di jalan di depan masjid agung dan bertanya-tanya ada berapa banyak orang di dalamnya. Seakan merupakan jawaban, massa membanjir keluar, ratusan orang terdorong dan terjatuh ke jalan. Penonton melihat, bertanya-tanya, tetapi massa yang keluar hanya memberikan isyarat yang aneh dan tak dapat dimengerti: banyak yang tak sempat memakai sepatu dan berlari hanya memakai kaus kaki. Mereka menjerit kaget tetapi juga mungkin bergembira, sementara ekspresi wajah mereka tampak seperti takut atau senang. Jika mereka melarikan diri dari bahaya, tak ada tanda-tandanya, dan kerumunan itu terpecah, bergegas ke arah yang terpisah. Dalam beberapa saat mereka menghilang.
Kemudian, muncullah tiga lelaki dari dalam masjid, tangan mereka memegang sesuatu yang mirip tongkat kayu. Seorang berbaju biru, satu berbaju hitam, dan satu lagi berbaju putih. Mereka berteriak dan tersenyum yang membuat wajah mereka tampak ceria. Unjuk rasa mereka terlihat sembrono: tidakkah mereka melihat polisi China di tiap sudut atau mendengar berita dari pelantam tentang kabar gembira yang terjadi?
Mereka berbelok ke selatan. Ketiganya berjalan dengan langkah-langkah panjang yang ganjil sambil mengayun-ayunkan tongkat di atas kepala, seperti tiga mayoret yang memutar-mutar tongkat yang ditinggalkan drumbennya. Mereka melewati barisan kios di pasar tempat orang-orang berteriak menyuruh mereka menghentikan apapun yang hendak mereka lakukan. Pemilik toko membanting pintu kedainya tertutup. Setelah dua blok, ketiganya berhenti dan berbalik kembali ke utara; persis sebelum mereka sampai ke tempatku, mereka menyeberang jalan. Mereka masih mengacungkan benda yang kemungkinan besar pedang berkarat.
!break!
Begitu sampai di seberang, mereka mulai berlari menuju sekelompok aparat China yang bersenjata. Lelaki berbaju biru berlari di depan; sepertinya pasukan keamanan tidak siap, karena mereka berbalik dan lari. Detail kejadian berikutnya—arah si pria yang berlari, bajunya berkibar, udara yang sejuk aneh—terpotong oleh suara tembakan. Tetapi ketiga orang Uighur itu tidak takut mati. Mereka memburu kematian.
Perjuangan bangsa Tibet untuk meraih kemerdekaan dari China telah lama menarik perhatian Barat. Hanya sedikit orang yang tahu tentang perjuangan yang dapat dikatakan lebih genting tak jauh dari sana: perjuangan suku Uighur. Ketidaktahuan tersebut ironis mengingat Barat sudah memainkan peran tanpa sadar dalam krisis yang terjadi itu—dan karena Uighur yang budayanya kini tengah terancam hilang pernah mendiami simpul dunia beradab.
Xinjiang terletak di tengah Asia, dikelilingi beberapa pegunungan tertinggi di Bumi, seakan ada tali yang merapatkan puncak dunia seperti pundi-pundi uang. Jalan yang melintasi pegunungan bersalju itu dilewati saudagar dan kelana zaman dahulu di sepanjang jalur yang kemudian terkenal sebagai Jalur Sutra. “Mereka berkata ini tempat tertinggi di dunia,” tulis Marco Polo tentang pendakiannya di pegunungan Pamir dari arah Afghanistan. Saat dia melewati jalan gunung itu, sampailah dia di tanah air Uighur dan mengaguminya: “Dari negeri ini, banyak saudagar yang menyebar ke seluruh dunia.”
Kawasan tersebut menjadi titik tumpu perimbangan Asia dan Eropa. Penjarah Turki dan kemudian Jenghis Khan, umat Buddha dan kemudian Muslim, saudagar dan berbagai suku, misionaris dan biksu—semuanya melintasi persimpangan antara kedua belahan dunia tersebut dan masing-masing meninggalkan sesuatu dalam budaya Uighur. Saya melihat seorang perempuan Uighur yang berjilbab menggendong bayinya, rambut bayi itu dicukur sehingga membentuk pola yang biasa digunakan dukun pra-Islam untuk mengusir roh jahat yang hendak mencuri bayi. Sejarah Xinjiang juga terlukis di wajah masyarakatnya: wajah hitam dengan mata bulat. Juga wajah putih dengan mata sipit. Dan terkadang mata biru dengan rambut pirang.
!break!
Geografi melindungi mosaik budaya Uighur di Hotan yang terletak jauh di sisi barat daya Xinjiang. Barisan pegunungan yang tertutup salju nan menjulang menjadi latar kota itu, sementara di depannya terbentang Taklimakan, gurun yang luasnya sekitar dua kali Pulau Jawa dan terkadang dijuluki sebagai Laut Kematian. Mayoritas penduduk Hotan adalah petani setiap hari Minggu adalah hari pasar yang diadakan di luar kota. Di tempat itulah pada hari pasar anak-anak dapat makan es manis yang diserut dari balok es yang hanyut di Sungai Karakax (Giok Hitam), sementara kaum perempuan memilih-milih dan belanja sutra yang dijajakan dalam tenda-tenda sementara para lelaki bercukur sambil bergurau.
Itu adalah pemandangan masa lalu, walau sesekali terlihat adanya kehadiran teknologi: pembuat pisau duduk berderet, masing-masing di belakang sepeda kuno yang dimodifikasi sebagai mesin pemutar gerinda sehingga terlihat seperti gerombolan agresor yang menaiki sepeda yang memercikkan api. Seorang pemuda Uighur bernama Otkur (nama warga Uighur di Xinjiang diubah demi keamanan) berbagi semangkuk paru kambing denganku dan setelah itu kami mendekati sebuah peralatan mengagumkan: ayunan setinggi gedung dua lantai dengan bangku besar yang muat untuk dua orang berdiri. Otkur tersenyum. “Untuk bermain,” ujarnya. Dua orang perempuan memanjat ke atas bangku ayunan dan berayun sangat tinggi hingga hilang ditelan cabang pohon.
Di kota aku bertemu Dawud, ahli musik yang mengajar sekelompok kecil siswa. Di sekolahnya, sebuah mural (lukisan di dinding) menggambarkan mashrap, pertemuan tradisional para lelaki—yang kini diatur ketat oleh pemerintah China—tempat orang Uighur bermain musik, membaca puisi, dan bersosialisasi. Dawud membuat pemetik dawai dari kawat dan benang, lalu memainkan jarinya di atas lima dawai rebab untuk menyajikan serangkaian lagu nan elusif yang akar musiknya paling tidak telah berusia lima abad.
Berbagai unsur yang membentuk kehidupan suku Uighur itu menekankan hal yang penting tentang suku itu secara keseluruhan: kehidupan berabad-abad di lokasi persinggahan jalur Eropa-Asia membuat mereka menjadi masyarakat yang kompleks sehingga tak mudah digolongkan. Namun, perlahan dunia melupakan hal tersebut, dan kelalaian itu menyebabkan bencana.
!break!
Saat Jalur Sutra menyepi dan perdagangan memindahkan jalurnya ke laut, baik Timur maupun Barat kehilangan minat terhadap Uighur dan benteng pegunungannya. Selama sekian generasi China tak melihat hal menjanjikan di tanah terpencil ini—Xinjiang berarti “perbatasan baru”—karena orang China mengutamakan pertanian dan alam liar di barat hanya berisi debu dan batu. Masyarakat di tanah terpencil itu juga cuma makan daging domba, bukan daging babi. Pada 1932, seorang opsir Inggris yang berkunjung ke Xinjiang menulis ramalan kelam, “Mungkin China yang tengah bangkit, yang tak punya tempat bagi jutaan warganya, akan berpikir jernih untuk mengembangkan [xinjiang] dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan Barat.” Namun, selama awal abad ke-20 pemerintah China tidak mengembangkan pengaruhnya ke daerah pinggiran dan suku Uighur dua kali memproklamasikan kemerdekaannya. Upaya kedua penentuan nasib sendiri, pada 1944, bertahan lima tahun, sampai Mao naik ke tampuk kekuasaan dan Partai Komunis China mengirimkan kekuatan militer dan kemudian membuat tempat pengujian nuklir Lop Nur di Xinjiang untuk memastikan kekuasaannya.
Menyadari bahwa kawasan kosong yang luas tersebut (jika memang tidak ada alasan yang lain) dapat menjadi pemisah antara China dan pengaruh luar, negeri pimpinan Mao itu membuat program Korps Konstruksi dan Produksi Xinjiang—gabungan antara pertanian, garnisun tentara, dan penjara—tempat pendatang dari berbagai provinsi China yang lain bercocok tanam dan menjaga perbatasan. Kedatangan pertama, pada 1954, termasuk 100.000 tentara yang dipecat. Ada yang dipaksa, tetapi aliran pendatang semakin besar saat pemerintah memperpanjang jalur kereta api ke barat hingga Urumqi pada 1962 dan menjanjikan makanan dan pakaian untuk memikat warga dari kota-kota yang terlalu padat seperti Shanghai.
Sementara itu, China menemukan bahwa peran Xinjiang jauh dari sekadar pelindung perbatasan: daerah itu memiliki sesuatu yang penting bagi kelangsungan hidup bangsa Bangsa China. Xinjiang memiliki sekitar 40 persen cadangan batubara dan lebih dari seperlima gas alam China. Yang terpenting, Xinjiang memiliki hampir seperlima cadangan terbukti minyak bumi negara itu, walaupun Beijing mengklaim cadangannya hingga sepertiga. Itu belum menghitung kandungan emas, garam, dan mineral lainnya yang berlimpah. Xinjiang tidaklah kosong. Justru strategis. Bersama kesadaran itu, hal-hal lain menjadi tampak jelas bagi para pemimpin China: Xinjiang adalah wilayah terjauh yang terbesar. Wilayah itu berbatasan dengan negara lain dalam jumlah yang lebih banyak daripada provinsi lainnya. Xinjiang dihuni kelompok suku yang belum lama ini sudah dua kali mencoba memerdekakan diri.
Pada 1947, pada saat perjuangan kemerdekaan Uighur yang kedua, ada sekitar 220.000 orang Han China di Xinjiang atau sekitar 5 persen dari penduduk provinsi itu. Orang Uighur berjumlah sekitar tiga juta, atau 75 persen, sisanya campuran berbagai suku Asia tengah. Pada 2007 penduduk Uighur meningkat hingga 9,6 juta. Namun, suku Han membengkak hingga 8,2 juta.
!break!
Beberapa orang Uighur memanfaatkan pertambahan populasi itu. Pada 1980-an di Urumqi yang berkembang, seorang penatu bernama Rebiya Kadeer mengembangkan usahanya menjadi toserba, lalu membangun usaha itu menjadi kerajaan niaga internasional. Perempuan itu menjadi salah satu orang terkaya di China dan menjadi inspirasi orang sebangsanya—perempuan Uighur yang diliput Wall Street Journal Asia dan bertemu pengusaha seperti Bill Gates dan Warren Buffett. Dalam berbagai segi, Rebiya seakan menjadi simbol Xinjiang: dalam dua dasawarsa terakhir abad ke-20, PDB
Sayangnya, lebih banyak orang Uighur yang merana. Bisnis penting di Xinjiang adalah minyak bumi yang semuanya dikendalikan dari Beijing oleh perusahaan energi milik negara. Banyak pekerjaan bagus di Xinjiang adalah menjadi pegawai negeri dan para pekerja lebih mudah mendapat posisi lebih baik jika bergabung dengan Partai Komunis yang mewajibkan mereka meninggalkan agama. Namun, sebagian besar orang Uighur tak mau melakukannya. Hasilnya adalah ironi yang menghasilkan ketegangan yang tinggi: sementara pemukim Han membanjir, orang Uighur, yang tak bisa mendapatkan pekerjaan di tanah airnya yang sangat luas dan makmur, hijrah ke timur untuk bekerja di pabrik swasta di kota-kota pantai yang padat.
Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, perlawanan lokal meledak—bervariasi dalam skala maupun tingkat kekerasan—di sekitar Xinjiang. Selama 1980-an para pelajar Uighur memerotes perlakuan polisi dalam sejumlah insiden; pada 1990 sebuah kerusuhan di selatan Kashgar yang memerotes batasan kelahiran menyebabkan jatuhnya sekitar 50 korban. Pada 1997 ratusan orang di kota Gulja berpawai menentang pelarangan ibadah Islam dan mereka ditangkap; jumlah korban tak diketahui. Banyak contoh lain, termasuk bom bus dan pembunuhan.
Pemerintah China sadar bahwa mereka punya masalah di Xinjiang, sama seperti masalah yang mereka hadapi di Tibet yang bertetangga. Selain mengatur mashrap—pertemuan tradisional itu—pemerintah memantau khotbah di masjid, khawatir kalau khotbah itu memicu protes. Secara umum, pejabat mengecilkan kerusuhan sebagai perbuatan segelintir “bandit” di tengah masyarakat Uighur yang hidup bahagia. Pada awal September 2001, Sekretaris Partai Komunis Xinjiang Wang Lequan mengumumkan di Urumqi bahwa “masyarakat stabil, mereka hidup dan bekerja dengan tenang dan damai.”
Beberapa hari kemudian, Beijing memeroleh alat propaganda ampuh yang tak terduga: Peristiwa 11 September 2001.
!break!
Saat AS dan banyak negara Barat melancarkan “perang terhadap teror,” China mengenali momentum opini publik global dan memilih jalur baru. Perubahan itu terjadi begitu cepat dan drastis. Pada 11 Oktober juru bicara Kementerian Luar Negeri China menggambarkan China sebagai “korban terorisme internasional.” Lalu pemerintah mengeluarkan laporan tentang kerusuhan di Xinjiang yang mengambinghitamkan Osama bin Laden. “Ini strategi yang efektif,” ujar James Millward, profesor di Georgetown University sekaligus pakar tentang Xinjiang, “karena di AS orang melihat Muslim di suatu tempat yang resah dan mungkin brutal, dan orang AS berasumsi itu karena alasan agama.”
Dan begitu saja, orang Uighur—dengan budayanya yang kompleks, kekayaan sejarahnya, dan banyaknya penderitaan mereka akibat negara China—masuk ke dalam klasifikasi sederhana. China meminta AS memasukkan kelompok separatis militan Uighur ke dalam daftar yang dimiliki AS tentang organisasi teroris, tetapi permintaan itu ditolak—setidaknya pada awalnya.
Pada Desember 2001, 22 orang Uighur ditangkap di Pakistan dan Afghanistan, tempat mereka mungkin mendapat pelatihan senjata dengan tujuan melawan militer China di Xinjiang. Orang-orang itu ditangkap oleh para pemburu hadiah, diserahkan kepada militer AS, lalu dikirim ke Guant·namo Bay (beberapa tahun kemudian pengadilan AS memerintahkan agar mereka dibebaskan.) Pada Agustus 2002, Deputi Menteri Luar Negeri AS Richard Armitage mengunjungi Beijing untuk mendiskusikan, salah satunya, misi AS ke Irak. Saat berada di sana, dia mengumumkan perubahan sikap AS: Kelompok Uighur militan yang bernama Gerakan Islam Turkistan Timur kini digolongkan sebagai organisasi teroris.
Pusat tradisi Uighur berada di ibu kota kuno Kashgar. Kini Kota Lamanya masih terlihat seperti saat Marco Polo datang setelah menuruni celah pegunungan—sarang yang terdiri atas gang dan rumah kuno dari bata lumpur yang mirip balok mainan anak yang berukuran besar. Pada awal tahun ini pemerintah China mengambil langkah berani: mereka mulai secara sistematis membuldoser Kota Lama blok demi blok dan memindahkan penghuninya ke kampung baru di pinggir kota.
!break!
Orang Uighur tidak mendiskusikan hal itu secara terbuka karena takut dipenjara, tetapi seorang lelaki yang tinggal di Kota Tua, Ahun, bersedia membahasnya denganku di rumahnya. Tak mudah bertemu dengannya karena aparat keamanan China telah beberapa hari membuntutiku.
Aku harus menunggu di alun-alun pada tengah hari yang ramai sampai melihatnya melintas di bawah patung Mao, lalu aku mengikutinya dari kejauhan tanpa saling menyapa.
Saat kami berjalan melintasi jalanan kota, dia berhenti dengan santai untuk minum air yang dijual penjaja, lalu mengikat tali sepatunya. Akhirnya kami sampai di Kota Lama. Alasan yang dipakai pemerintah China untuk menghancurkan lingkungan itu adalah usianya terlalu tua untuk menahan gempa bumi. Namun, mungkin ada motif lainnya. Saat aku dan Ahun masuk semakin jauh ke gang-gang di lingkungan itu, bahunya tak lagi tegang dan langkahnya lebih santai. Dia sulit diikuti di sini. Kota Lama adalah suaka.
Rumah-rumah di sana saling berdempetan, semuanya dua lantai dan memiliki halaman di rumah. Aku mengikuti Ahun menaiki tangga dan saat dia membuka pintu, aku baru menyadari bahwa rumah-rumah ini seperti tiram: bagian luarnya tampak kusam dan kasar, tetapi di dalamnya tembok plester putih berkilau, sementara permadani aneka warna mengimbangi langit-langit yang berlukis. “Aku berdoa. Saat salat, aku meminta kepada Allah, ‘Selamatkanlah rumahku,’” kata Ahun. Dari rumahnya tampak jelas petugas pemerintah sedang menghancurkan rumah di dekatnya. Menurut jadwal penghancuran, mereka akan sampai ke rumah Ahun tiga tahun lagi.
!break!
Ahun mengaku dilahirkan di rumah itu. Demikian pula ayahnya dan kakeknya. Poyangnyalah yang membangun rumah itu di tanah keluarga. “Aku punya dua putra,” ujarnya. Ada lima generasi yang sudah tinggal di rumah tersebut.
Jika Hotan melambangkan masa lalu Xinjiang—dengan mayoritas penduduk yang sukuUighur berkumpul mengasah pisau, mencukur jenggot, bernyanyi—Kashgar mewakili masa kininya. Uighur masih menjadi penduduk mayoritas, tetapi budaya mereka di kota ini sedang digempur. Pemerintah bekerja cepat untuk menghancurkannya.
Pada saatnya nanti, kata Ahun, perkembangan ekonomi China akan membawa perubahan politik dan harapan bagi suku Uighur. “China akan terpaksa menerima sistem demokrasi,” ujarnya. Namun saat ini, sebagai orang yang setiap hari berdoa untuk keselamatan rumahnya, dia bersedia melakukan apa saja. “Anda tidak memahami kemarahan kami,” ujarnya. “Di Timur Tengah ada bom bunuh diri yang dilakukan orang yang membawa bom di badannya. Tapi dengan kemarahan kami, kami tak perlu dipasangi bom. Kami meledak sendiri.”
Pada Juni tahun ini, pekerja pabrik mainan yang tak puas di Shaoguan, dekat Hong Kong, dilaporkan menyatakan bahwa orang Uighur memerkosa dua wanita. Lalu terjadi perkelahian. Kekerasan itu berlangsung beberapa jam dan mengakibatkan banyak orang cedera. Pekerja Han yang marah di asrama pabrik itu memukuli dua pekerja Uighur hingga mati.
!break!
Hal itu memicu api 3.200 kilometer dari sana, di Xinjiang. Pada 5 Juli, ribuan orang Uighur—jumlah yang dilaporkan sangat bervariasi—memenuhi jalan-jalan Urumqi untuk memerotes perlakuan terhadap pekerja Uighur. Pihak berwenang tidak mengantisipasi hal ini.
Aku berbicara dengan seorang pemudi bernama Arzigul yang ikut dalam unjuk rasa tersebut. Menurut Arzigul, awalnya unjuk rasa berlangsung damai saat para pemuda berjalan mengitari alun-alun ibu kota. “Mereka meneriakkan kata ‘Uighur! Uighur! Uighur!’” ujarnya. Saat aparat keamanan tiba, terjadilah sesuatu—apa persisnya tak bisa dipastikan. Masing-masing pihak menyatakan bahwa pihak lainlah yang pertama menyerang, tetapi pada satu saat pihak berwenang mencoba mengendalikan massa yang sepertinya berubah menjadi gerombolan penyerang orang Han yang ada di jalan. Dua hari kemudian sekelompok orang Han—sepertinya berjumlah ribuan—turun ke jalan membawa golok daging, pentung, dan pisau. Mereka balas menyerang orang-orang Uighur.
Pejabat China menyatakan mereka melindungi warganya dari teroris. Pada Juli, Wakil Menteri Luar Negeri He Yafei menyebut kerusuhan itu “insiden kriminal yang brutal dan serius, yang dirancang dan diatur oleh kekuatan terorisme, separatisme, dan ektremisme luar.” James Millward, pakar Xinjiang, menyatakan banyak orang Han—termasuk pejabat—benar-benar percaya bahwa Xinjiang menghadapi ancaman teroris dan penyusup. “Itulah yang selalu diberitahukan kepada mereka.”
Akhirnya militer dan polisi berhasil mengamankan Urumqi dan sepertinya tak mungkin ada kerusuhan lagi. Saat itulah tiga orang keluar dari masjid di kawasan permukiman Uighur dan membuat orang-orang berlarian.
***
!break!
Aku melihat mereka berjalan, kemudian berbalik arah, lalu berlari ke arah aparat China. Awalnya ada satu tembakan, meleset. Ketiga orang Uighur itu terus menyerang dan aku menyadari bahwa para pria yang berlari membawa pedang karatan itu tidak berharap selamat. Mereka siap mati.
Beberapa saat kemudian perwira lain menyiramkan tembakan otomatis. Orang Uighur yang terdepan—lelaki berbaju biru—jatuh seketika seperti boneka kain yang dilemparkan. Badannya menghantam trotoar, tetapi momentum akibat berlari membuatnya terguling-guling, dan kakinya melayang di atas kepalanya.
Selama beberapa detik insiden yang berlangsung di seberang jalan itu tampak seperti film yang diperlambat. Dua orang Uighur yang tersisa berlari ke jalan, dan pemandangan itu menjadi tiga-dimensi, peluru beterbangan ke arahku. Aku berlari ke gedung terdekat dan menemukan diriku ada di lobi toserba yang besar. Orang-orang berdesakan di sudut dan di balik pajangan pakaian; para perempuan menjerit, dan dua lelaki memalang pintu dengan memasukkan batang logam ke gagang pintu. Di balik pintu kaca bangunan itu, ketiga orang Uighur itu terkapar di jalan, satu luka dan dua tewas. Tentara, polisi, dan petugas keamanan berpakaian preman menembak ke atas, ke jendela bangunan di sekitar situ.
Toserba tersebut memiliki arti penting bagi orang Uighur. Toserba itu milik perempuan pahlawan mereka Rebiya Kadeer, penatu yang menjadi raja yang dicintai orang sejak dia mulai berbicara menentang perlakuan China terhadap orang Uighur. Pada 1999, saat satu delegasi AS datang ke China untuk menemui Kadeer, aparat keamanan menahan perempuan itu. Dia dipenjara selama enam tahun, kemudian bergabung dengan suaminya yang diasingkan ke AS. Pemenjaraannya malah meninggikan statusnya di kalangan orang Uighur yang menganggapnya “ibu semua orang Uighur.”
!break!
Rebiya adalah seorang nenek, tingginya hanya 1,5 meter, dan dia membuat takut penguasa China. Menyebut namanya di Xinjiang langsung mendatangkan hukuman berat. Saat aku bersama Ahun datang ke rumahnya di Kota Lama Kashgar, lelaki itu leluasa bicara tentang pemberontakan melawan pemerintah China, tetapi saat aku menyebut Rebiya Kadeer, dia bungkam. “Apabila China menemukan ini,” ujarnya sambil menunjuk perekamku dan kemudian berpura-pura mencekikku, “kau akan kucekik pada Hari Kiamat.”
Setelah kerusuhan Juli, truk yang dilengkapi pelantam mengitari alun-alun kota Urumqi, menyatakan bahwa kerusuhan itu diorganisasi oleh Rebiya dari kantornya di Washington DC. Lewat pemberitaan di seluruh dunia, pejabat China menuduhnya dan mengatakan bahwa Rebiya berniat meruntuhkan pusat perdagangannya. “Pihak berwenang China takut padaku karena perlakuan mereka pada orang Uighur,” kata Rebiya kepadaku baru-baru ini. Di dalam kantornya ada bendera Turkistan Timur yang besar—simbol negara Uighur yang merdeka—tergantung di dinding dan foto 11 anaknya tergantung di sisi yang lain. Dua di antara anaknya itu berada di penjara.
Dunia Barat mengetahui perjuangan kemerdekaan bangsa Tibet terutama karena Dalai Lama merupakan penjelmaan masyarakatnya yang hangat dan karismatis. Sementara Uighur tetap tak dikenal, salah satunya, karena mereka tak punya sosok seperti Dalai Lama. Namun, upaya pemerintah China baru-baru ini untuk menjelek-jelekkan sosok Rebiya Kadeer justru membuatnya menjadi sosok yang mewakili suku Uighur. “Aku terus mendorong bangsaku untuk menentukan sendiri nasib Uighur,” katanya. Apakah itu berarti otonomi di dalam China atau dorongan untuk merdeka penuh tergantung pada reaksi pemerintah, ujar Rebiya. “Saat ini aku sedang mencoba mengundang pemerintah China untuk dapat berdialog secara damai.”
Bahkan di saat Rebiya berbicara, episode konflik yang lain membayang di Xinjiang—desas-desus, tuduhan, protes—dan dia mengakui bahwa penyelesaian damai mungkin tidak dapat dicapai. Setelah melihat masa lalu dan masa kini wilayah itu melalui Hotan dan Kashgar, kita mungkin dapat memandang masa depannya di Urumqi: kota besar yang menghidupi kaum pendatang Han yang tertarik oleh sumber daya alam Xinjiang, sementara minoritas Uighur tetap terkurung di kawasan permukimannya.
Dan pada Senin sore yang biasanya tenang itu, tiga pria meledakkan diri di jalan hanya dengan bekal amarah mereka.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR