Sore itu Derpin melaju dengan perahunya di atas gugusan karang yang melingkupi Pulau Maratua, ke utara ke arah Pulau Bakungan. Lima belas menit berperahu, sampailah nelayan dari Kampung Payung-Payung ini di tempat pemancingannya. Sejenis pukat asing, bukan seperti yang biasa dipakai nelayan setempat, tampak mengapung. Di kedalaman, terlihat seekor penyu mati kaku terjerat jaring. Agak ke bawahnya ada satu lagi, dan satu lagi dan banyak lagi.
!break!
Hari sudah menjelang gelap di gugusan pulau terdepan Kabupaten Berau, Kalimantan Timur itu dan Derpin tak sanggup mengangkat pukat itu sendirian. Ia lalu bergegas pulang dan kembali esok pagi-pagi sekali. Saat kembali di akhir November 2009 itu, ia sudah tidak sendirian di lokasi. Sekelompok penyelam dari Jerman yang sedang berada di resor terdekat juga sudah berada di lokasi. Bersama-sama mereka bahu-membahu menarik jaring itu dari kedalaman. Ada paling tidak 40 ekor penyu hijau (Chelonia mydas) terjerat mati. Ikan hiu ada 6 ekor tapi masih hidup dan dilepaskan.
“Wah, menangis mereka,” kenang Derpin akan para wisatawan itu. Sambil mengangkat penyu-penyu itu mereka tak dapat menahan haru menyaksikan binatang yang menjadi teman mereka menyelami terumbu karang terjerat dan mati sia-sia. Hari itu para wisatawan itu berpatungan merogoh kocek membayar sewa perahu dan alat selam. Bersama aparat, mereka menyelami dan menarik jaring penyu total panjang 1.600 meter.
Ini adalah modus terbaru dalam perburuan binatang dilindungi seperti penyu di lautan selama beberapa tahun terakhir. Para nelayan ilegal itu membentangkan jaring yang melayang di kedalaman laut dengan panjang ribuan meter dan meninggalkannya. Mereka akan memeriksanya setelah beberapa saat. Modus ini membuat kejahatan ini sulit dilacak dan ditangkap karena sulit membuat mereka tertangkap tangan
Jaring yang membentang itu akan menjerat apa saja yang bisa terjerat. Utamanya adalah ikan besar dan mahluk laut lain yang cukup besar seperti penyu. Penyu apabila terjerat dan tidak bisa muncul ke permukaan —penyu adalah reptil yang bernapas dengan paru-paru—untuk menghirup udara, akan mati lemas.
!break!
Siapakah pelakunya? Derpin menunjukkan pada seonggok jaring di tepi pantai Kampung Payung-Payung. Diangkatnya pelampung berwarna biru bertuliskan aksara China dan ditunjukkan pada saya ketika bertemu dengannya seminggu setelah kejadian. Bentuk jaring dan pelampung itu mirip sekali dengan barang bukti kasus tertangkapnya sebuah kapal China dengan sekitar 300 ekor penyu mati di atasnya pada 2007 di perairan Tarakan oleh patroli Bea dan Cukai. Kali ini—apakah dari daerah yang sama atau bukan—pelakunya cukup beruntung karena tidak tertangkap.
Tindak kejahatan seperti ini dampak lingkungannya cukup besar. Catatan peneliti penyu Ngurah Adnyana terhadap peristiwa serupa di bulan Mei 2003 mengungkapkan bahwa dari 149 ekor yang terselamatkan, 104 diantaranya adalah penyu betina dewasa yang berpotensi menelurkan lebih dari 900.000 butir semasa hidupnya. Pulau-pulau di Laut Berau adalah salah satu tempat pemijahan terpenting bagi penyu hijau di kawasan Pasifik.
“Inilah sedihnya kami, sejak pengambilan telur penyu dilarang, warga tidak lagi mengonsumsi telur penyu. Kalau ada yang melanggar soal penyu pelakunya kami serahkan ke Kepala Kampung. Tetapi sekarang yang melakukan pelanggaran nelayan-nelayan dari luar,” keluh Depri lagi dengan gemas.
Kegeraman di Maratua bergaung hingga kediaman Bupati Berau, Makmur HAPK di Tanjung Redeb. Disinggung soal penyu-penyu yang mati itu, raut muka Bupati Makmur HAPK berubah murung,” Saya mempertanyakan kinerja BKSDA (Kalimantan Timur),” katanya.
!break!
Kegusaran Makmur memiliki perspektif politik, berkaitan dengan perdebatan di sekitar pemanfaatan telur penyu, himpitan kepentingan antara pemerintah pusat dan daerah sampai kepada sumber dana untuk kepentingan elite politik lokal.
Kita menengok pada sejarah pemanfaatan telur penyu di Berau yang diuraikan oleh Rustam dari Universitas Mulawarman dalam penelitiannya tentang nilai ekonomi penyu dan konservasinya di Kabupaten Berau. Pada masa kerajaan, penyu dimanfaatkan sebagai cinderamata kerajaan dan alat tukar. Memasuki masa kolonial, upaya konservasi mulai dilakukan dengan menerapkan perizinan dalam pengambilan telur sampai diterapkannya periode pengambilan dan pelarangan yang berselang-seling tiap tahun.
Tetapi sejak Kemerdekaan, justru nasib penyu-penyu di Berau semakin tidak merdeka. Awal kemerdekaan penyu bebas dieksploitasi baik penyu dewasa maupun telurnya. Mulai tahun 1950 hingga 2000 diterapkan rezim pelelangan dan mengalami sedikit perubahan di tahun 1998 dengan penunjukan langsung.
Di tahun-tahun itu sudah menjadi rahasia umum bahwa pemanfaatan telur penyu secara komersial, walaupun dilakukan dengan metode lelang, hanya melibatkan dan menguntungkan segelintir orang di Kabupaten Berau. Dalam uraian Rustam lebih lanjut soal keterlibatan masyarakat Pulau Derawan terhadap pengelolaan penyu selama periode konsesi, sekitar 80% menyatakan tidak terlibat.
!break!
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR