Ada yang menyebabkan tanaman ubi kayu milik Ramadhani Juma mati. "Mungkin kebanyakan air," katanya sambil menyentuh daun kuning layu pada tanaman setinggi dua meter. "Atau kebanyakan matahari." Tanah yang digarap Juma tak sampai setengah hektare, di dekat kota Bagamoyo, Tanzania.
Dia berbicara dengan teknisi dari kota besar, yaitu Deogratius Mark, 28 tahun, dari Mikocheni Agricultural Research Institute. Mark memberi tahu Juma bahwa masalahnya bukan matahari maupun hujan. Penyebab kematian ubi kayu itu tidak terlihat karena sangat kecil, yaitu virus.
Ia menjelaskan bahwa lalat sebesar kepala jarum pentol itu menyebarkan dua virus. Yang satu merusak daun ubi kayu, dan yang kedua, disebut virus brown streak, merusak umbinya—yang biasanya baru diketahui saat panen.
Setelah menyingkapkan umbi, Juma membelahnya hanya dengan sekali mengayunkan pacul. Dia menghela napas—daging putih krem pada umbi itu bergaris-garis zat pati cokelat yang membusuk.
Agar bisa menyelamatkan cukup banyak tanaman untuk dijual dan juga memberi makan anggota keluarganya, Juma harus melakukan panen satu bulan lebih awal. Saya bertanya seberapa penting ubi kayu baginya.
"Mihogo ni kila kitu," jawabnya dalam bahasa Swahili. "Ubi kayu itu segalanya."
Sebagian besar warga Tanzania adalah petani pas-pasan. Di Afrika, lebih dari 90 persen tanaman ditanam oleh pertanian keluarga kecil, dan ubi kayu merupakan makanan pokok bagi lebih dari 250 juta orang. Tanaman ini dapat tumbuh di tanah marginal sekalipun, dan tahan terhadap gelombang panas dan kekeringan. Tanaman yang tepat bagi Afrika abad ke-21—andai bukan gara-gara lalat putih, yang jangkauannya meluas seiring memanasnya iklim. Kedua virus yang menyerang lahan Juma sudah menyebar ke seluruh Afrika Timur.
Sebelum meninggalkan Bagamoyo, kami menemui tetangga Juma, yaitu Shija Kagembe. Ladang ubi kayunya bernasib sama. Dia menyimak sementara Mark memberitahunya tentang ulah virus. "Bagaimana Anda bisa membantu kami?" tanyanya.
!break!Menjawab pertanyaan itu adalah salah satu tantangan terbesar abad ini. Dengan adanya perubahan iklim dan dan pertumbuhan penduduk, hidup akan semakin tak menentu bagi Juma, Kagembe, dan petani kecil lain di dunia berkembang—dan bagi tanggungan mereka. Hampir sepanjang abad ke-20, umat manusia berhasil unggul dalam "perlombaan Malthus" antara pertumbuhan penduduk dan persediaan makanan. Apakah kita mampu mempertahankan keunggulan itu pada abad ke-21, ataukah bencana global akan menimpa kita?
PBB memperkirakan bahwa pada 2050 populasi dunia akan bertambah lebih dari dua miliar jiwa. Separuhnya akan lahir di Afrika sub-Sahara, dan 30 persen lagi di Asia Selatan dan Tenggara. Semua wilayah ini pula yang diperkirakan akan mengalami efek terburuk perubahan iklim—kekeringan, gelombang panas, dan cuaca ekstrem secara umum.
Bulan Maret lalu, Intergovernmental Panel on Climate Change memperingatkan bahwa persediaan pangan dunia sudah terancam bahaya. "Selama 20 tahun terakhir terjadi perlambatan dalam laju pertumbuhan hasil panen, terutama beras, gandum, dan jagung," kata Michael Oppenheimer, ilmuwan iklim di Princeton dan salah satu penulis laporan IPCC. "Di beberapa wilayah, kenaikan hasil panen sudah berhenti sama sekali. Menurut pendapat saya pribadi, kerusakan sistem makanan adalah ancaman terbesar akibat perubahan iklim."
Setengah abad silam, bencana yang mengancam juga tampak menyeramkan. Saat berbicara tentang kelaparan global di pertemuan Ford Foundation pada 1959, seorang ekonom berkata, "Dalam skenario terbaik, prospek dunia beberapa puluh tahun ke depan tampak suram; dalam skenario terburuk, prospeknya mengerikan."
Sebelum ramalan suram itu sempat terwujud, revolusi hijau mengubah pertanian global, terutama gandum dan padi. Melalui pembiakan selektif, Norman Borlaug, ahli biologi Amerika, menciptakan gandum varietas kerdil yang menggunakan sebagian besar energinya untuk membentuk bulir yang bisa dimakan, daripada batang panjang yang tidak bisa dimakan. Hasilnya: biji-bijian lebih banyak per hektare. Kerja serupa di International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina secara drastis meningkatkan produktivitas biji-bijian yang dimakan oleh hampir setengah warga dunia.
Dari 1960-an hingga 1990-an, hasil panen padi dan gandum di wilayah Asia berlipat dua. Seiring meningkatnya populasi benua itu sebesar 60 persen, harga biji-bijian jatuh, rata-rata orang Asia mengonsumsi kalori hampir sepertiga lebih banyak, dan tingkat kemiskinan turun hingga separuh.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR