“Tidak ada ekstremis di Indonesia. Yang dikehendaki mereka sebenarnya hanyalah kemerdekaan. Inggris dan NICA adalah ekstremis kelas satu. Mereka telah sungguh keluar dari batas kemanusiaan,” ujar seorang perempuan bule dengan rambut pirang berkilau. Aksen bahasanya memang sedikit kikuk, namun terdengar lantang di atas podium mini.
Dia luwes memesona dengan kebaya encim warna putih yang berpadu dengan kain batik berona merah kecokelatan. Dia berdiri bersama seorang lelaki pejuang berbusana hijau zaitun dan berpet hitam, yang sebelumnya juga telah berpidato berapi-api membakar semangat warga kota.
Kemudian, perempuan itu menutup pidatonya dengan ujaran geram. “Orang Belanda, NICA, adalah manusia-manusia paling terkutuk di dunia ini. Mereka bercakap-cakap bahwa Inggris akan menaklukkan negeri ini, sedangkan mereka sendiri adalah gerombolan pengecut!”
Dor! Dor! Dor! Letupan senapan membuat suasana kacau. Sementara lelaki pejuang dan perempuan bule itu mencari perlindungan, beberapa peleton serdadu Inggris India bersiap memasuki kota. Glaaar! Ledakan besar membuyarkan serat dakron yang tercabik ke angkasa, alih-alih gotri. Serejang senyap menyergap, lalu dakron jatuh bak salju di rambut setiap kepala.
Peristiwa ini adalah bagian dari pementasan yang digelar Roodebrug Soerabaia, komunitas pencinta sejarah asal Kota Surabaya. Pagi itu, sekitar 300-an anggotanya berlaga dalam parade untuk memperingati Hari Pahlawan pada 2014.
Perempuan bule tadi memerankan K’tut Tantri, tokoh perempuan Amerika. Pers luar negeri menjulukinya dengan ‘Sourabaya Sue’.
Sementara, lelaki berbusana hijau zaitun itu memerankan Bung Tomo. Si Bung dikenang sebagai jurnalis dan pucuk pimpinan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, yang menggelorakan sema-ngat tempur rakyat Surabaya pada November 1945. Selepas prokla-masi kemerdekaan 1945, Tantri bergabung de-ngan laskar rakyat di bawah komando Sutomo, yang akrab disapa Bung Tomo.
Tantri tidak mengangkat senjata, melainkan berjuang lewat siaran berbahasa Inggris di Radio Pemberontakan. Dalam siarannya, perempuan itu mengkritik Inggris yang sungguh kurang ajar lantaran memakai kedok Sekutu untuk memulihkan supremasi Belanda di Indonesia. Dia pun dibenci oleh orang Belanda.
Boleh dikata, Tantri merupakan salah seorang perintis hubungan persahabatan Australia-Indonesia. Buklet karyanya, Sourabaya Sue’s Inside Story of Indonesia yang terbit di Sydney pada 1947, telah membuka simpati masyarakat Australia kepada perjuangan Indonesia. Dia pun menjadi warga Australia sejak 1985.
TATKALA BULAN SABIT LINGSIR di kelamnya langit Surabaya, saya berjumpa dengan Ady Erlianto Setiawan. Ady, 32 tahun, merupakan salah seorang pendiri Roodebrug Soerabaia. Kami berbincang di sebuah kedai bekas rumah pejabat Javasche Bank di kawasan Darmo.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR