Tak kalah menarik: 44 spesies herpetofauna yang terdiri dari 23 spesies amfibi dan 21 spesies reptil. Empat spesies amfibi merupakan endemik Jawa: kongkang jeram (Hula masonii), percil jawa (Microhyla achatina) katak-pohon jawa (Rhacophorus javanus) dan katak-pohonmutiara (Nytixalus margaritifer).
Ditambah lagi ada dua kupu-kupu cantik yang dilindungi: Troides helena dan T. amphrysus juga hidup di kawasan konservasi bersama 32 spesies lainnya. Terakhir, untuk biota air, terdapat 21 spesies nekton, 11 spesies zooplankton, 32 spesies phytoplankton. Biota aquatik yang dilindungi adalah ketam ungu (Geocessarma sp).
Survei itu menyibak cakrawala pengetahuan: begitu banyak catatan baruspesies flora-fauna di kawasan konservasi di hulu Citarum. Contohnya di Cagar Alam Gunung Tilu. Dari catatan lama,burung di Gunung Tiluhanya tercatat 13 spesies, kini bertambah menjadi 125 spesies. Vegetasi yang semula 19 spesies,menjadi 125 spesies. Herpetofauna yang hanya 5 spesies,menjadi 34 spesies. Untuk serangga, yang sebelumnya tanpa catatan sama sekali, kini ditemukan 43 spesies. Pun biota aquatik yang dulu belum tercatat,ternyata ditemukan 12 spesies. Tim peneliti juga mendapati satu spesies endemik di wilayah lain, namun ditemukan di hulu Citarum. Salah satunya ketam ungu.
Dengan begitu, tak pelak, cagar alam, taman buru dan taman wisata alam, punya peran ganda: melindungi kekayaan hayati dan merawat daerah tangkapan air Citarum. Sebagai relik hutan pegunungan di Pulau Jawa yang sesak, kawasan konservasi menjadi tumpuan terakhirbagi pelestarian keanekaragaman hayati.
Lihat Cagar Alam Gunung Tiluyang kerap dijadikan lokasi untuk meliarkan kembali satwayang terancam punah. Polisi hutan Wawan Wajihadin menuturkan bahwa Gunung Tilu kerap menjadi tempat untuk melepasliarkan owa jawa. “Yang terakhir pada bulan November 2015 lalu,” kata Wawan.Saat itu, tiga owa jawa kembali ke alam bebas di cagar alam.
Owa jawa hasil sitaan petugas dan penyerahan dari warga itusemula dirawatdi Pusat Rehabilitasi Satwa Aspinall Foundation, Bandung. Setelah pulih, lantas dibebasliarkan buat menghirup alam liar Gunung Tilu.
Ketiga owa jawa itu terdiri dari jantan bernama Rio dan dua betina bernama Keni dan Inem. Owa dikenal primata yang hidup berpasangan, bisa setia atau berganti pasangan. Sebagai penjelajah tajuk, primata ini sangat tergantung pada pohon-pohon tinggi yang padat. Bila hidup di hutan yang jarang-jarang, ia tak akan sintas.
Owa-owa jawa tersebut juga dipasangi alat pemancar sinyal dengan daya pancar antara 400 sampai 600 meter.Alat ini untuk memudahkan pemantauan daerah jelajah sang owa yang baru dilepas.
Tubuh owa jawa seluruhnya ditutupi rambut kecokelatan sampai kelabu. Bagian atas kepalanya berwarna hitam. Wajahnya berwarna hitam, dengan alis abu-abu serupa warna tubuh.
Iahidup di kawasan hutan hujan tropis mulai dari dataran rendah, pesisir, hingga pegunungan.Saat ini owa jawa terancampunah, sehingga dilindungi pemerintah. Selain itu, spesies ini tercakup dalam Daftar Merah IUCN dengan status genting dan tidak boleh diperdagangkan.Selain hidup di Gunung Tilu, owa jawa menghuni Cagar Alam Gunung Burangrang, Taman Buru Masigit Kareumbi, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Tangkuban Perahu.
Primata lain yang kelestariannya bertumpu pada hutan konservasiadalah lutung jawa (Trachypithecus auratus mauritus) dan surili (Prebystis comata). Keduanya adalah endemik Jawa Barat, dan status surili senasib dengan owa jawa.
Berbeda dengan owa jawa, lutung jawa dan surili, primata yang satu ini sungguh menggemaskan.Namanyakukang jawa. Di seluruh kawasan konservasi yang diteliti, kukang jawa hanya ditemukan di Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi. Ciri-cirinya: warna rambut kuning keputih-putihan, dengan selarik garis cokelat melintang dari belakang hingga dahi,lalu merembet ke telinga dan melingkari mata.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR