Umat manusia telah menyingkirkan aneka hidupan liar di dataran rendah. Harapan kelestarian flora-fauna kini ada di hutan hujan pegunungan di kawasan konservasi di hulu Citarum.
Macan tutul itu berjalan gontai di hutan Cagar Alam Gunung Tilu. Di bawah hutan yang redup, bercak-bercak hitam di sekujur tubuhnya makin menyamarkan keberadaan satwa pemangsa ini. Dari sebingkai foto, Erwin Wilianto memperlihatkan satwa bernama ilmiah Panthera pardus melasitu hidup liar di cagar alam.
Untuk merekam sang pemangsa, Erwin memasang perangkap kamera. Ini untuk menelisikmacan tutul di tujuh kawasan konservasi dalam cakupanCitarum Watershed Management and Biodiversity Conservation (CWMBC).
Kamera jebak dipasang lantaran tidak mudah mengamati binatang liar ini. Yang jelas, ia juga buas: bertaring tajam dengan tatapan mata yang meruntuhkan nyali. Jadi, tak ada cara lain selain menebar perangkap kamera.
Kamera hanyaberhasil merekam macan tutul di dua kawasan: Gunung Tilu dan Gunung Burangrang.Erwin menuturkan inventarisasi dilakukan dengan metode deteksi - nondeteksi dan metode non-invasive memakai perangkap kamera. “Penentuan titik pengamatandengan cara mencari lokasi yangpunyapeluang deteksi tinggi,” jelas Erwin yang bergabung dalam tim kajian keanekaragaman hayati CWMBC.
“Peluang makin tinggi bila kamera dipasang di jalur yang terbuka.Biasanya, macan tutul memilih melewati jalur yang bersih. Ia tidak melalui semak rimbun dan jalan yang tertutup.” Erwin juga menelisik tanda-tanda lain kehadiran macan tutul: cakaran di pohon ataupun kotoran.Di tempat-tempatberjejak itu, tak jarangsang macan akan kembali.
“Cakaran di pohon dan faeces biasanya digunakan untuk menandai teritori. Jika survei dilakukan kala kemarau, sumber air menjadi salah satu titik untuk mendeteksi macan tutul dan mamalia besar lainnya.”
Proses panjang survei macan tutul itu sebagai bagian dari upaya Komponen 1 menelisik keanekaragaman hayati di kawasan konservasi di hulu DAS Citarum. Tujuannya untuk memperbaharui data dasar spesies, mulai tumbuhan, mamalia, burung, herpetofauna, serangga sampai biota aquatik.
Data itu pentinguntuk mendukung Balai Besar KSDA Jawa Barat dalam mengelola kawasan konservasi di DAS Citarum. Berbekal sederet daftar spesies flora-fauna, tim Komponen 1 akan menyaring spesies yang perlu perhatian, yang endemik, dan yang terancam punah di setiap kawasan. Ini sebagai ikhtiar untuk menentukan spesies prioritas yang akan menjadi target pengelolaan. Sebagai bekal pengelolaan ke depan, Komponen 1 juga akan mengembangkan petak contoh tetap (permanent sample plot) sebagai tapak untuk pemantauan dan pengelolaan.
Pemangsa kelas atas itu punya dua varian warna tubuh: terang dan gelap. Yang bertubuh terang disebut macan tutul, yang gelapdijulukimacan kumbang. Kendati berbeda warna, keduanya merupakan spesies yang sama. Macan tutul memang mengidap melanisme: pigmen hitam menyelimuti tubuhnya. Meskihitam, bercak tutul macan kumbang masih terlihat samar-samar.
Pada sebuah foto yang lain, seekor macan kumbang terlihat sedang berdiri, seolah ingin meraih sesuatu di batang pohon. Warnanya yang gelap makin membuat satwa ini terlihat garang.
Predator yang berperan penting di alam liarini nasibnya sedang malang: habitatnya tergerus dan terus berkonflik dengan manusia. Kehidupannyadi belantara Jawa mengalami tekanan, terutama perubahan hutan menjadi fungsi lain—pertanian, perkebunan. Padahal, hutan-hutan itumenjadi tempat berdiam si macan.
Macan tutul sebenarnya memiliki daya adaptasi yang tinggi. Artinya, ia mampu sintas di alam yang terus berubah.Hutan pegunungan di Jawa Barat, yang juga berstatus sebagai kawasan konservasi, adalah benteng terakhir bagi habitat macan tutul. “Atau, lebih tepatnya tempat perlindungan terakhir bagi mangsa-mangsa macan tutul,” lanjutnya.
Tanpa kawasan konservasi, kijang, babi, monyet dan satwa lain tidak dapat hidup bebas, sementara macan tutul sangat tergantung pada satwa mangsa itu. Kawasan konservasi, yang juga daerah tangkapan air Sungai Citarum, adalah areal penting untuk mendukung kehidupan macan tutul—satu-satunya pemangsa kelas wahid di Pulau Jawa, setelah harimau jawa punah.
Dari tujuh kawasan yang diteliti, macan tutul terdeteksi di Cagar Alam Gunung Tilu, Taman Wisata Alam Kamojang, Cagar Alam Gunung Burangrang, dan Cagar Alam Gunung Tangkuban Perahu. Selain rekaman kamera, tutur Erwin, “Data ini juga didasarkan pada tanda jejak, baik sisa makanan, kotoran, jejak kaki dan cakaran.”
Kisah menarik terjadi di Cagar Alam Gunung Tangkuban Perahu.Di sekitar blok Panaruban, ditemukan banyak jejak cakaran di pohon. “Sayangnya, tidak satu pun kamera yang berhasil merekam macan tutul di kawasan itu,” lanjutnya.
Selama survei, perangkap kamerahanya mendeteksi si macan di Cagar Alam Gunung Tilu dan Cagar Alam Gunung Burangrang. “Dari hasil identifikasi diperkirakan ada tigamacan tutul di sisi utara Gunung Tilu – Gambung.”!break!
“Dua di antaranya macan tutul jantan: satu macan kumbang di jalur Bendi dan satu macan tutul di blok Kramat-Gunung Kikiping,” lanjut Erwin. Sementara yang satu lagi tak teridentifikasi, lantaran diragukan apakah individu yang sama atau berbeda dengan macan tutul lain yang terekam.
Di Cagar Alam Burangrang, macan tutul terdeteksi di tiga lokasi yang berbeda.“Namun, itu individu jantan yang sama.” Penduduk sekitar Burangrang menyebut pejantan ini dengan nama Ronda.
Predikat sebagai binatang buas menjadikan macan tutul bagaikan penjaga perbawa hutan. Bagi sebagian masyarakat, satwa inidipandang menakutkan dan perlu dibasmi. Sementara bagi sebagian yang lain, macan tutul memang pantas disegani. Sayangnya, reputasi itu tidak mengurungkan niat orang yang ingin masuk hutan konservasi.
Bagi masyarakat di Jawa bagian barat, macan tutul tak begitukharismatik. Masyarakat lebih mengenal lodaya atau harimau loreng yang dianggap sebagai jelmaan Prabu Siliwangi. Hanya beberapa daerah yang punya legenda macan tutul, seperti masyarakatdi sekitar Burangrang.
Macan tutul hanya salah satu spesies penting yang hidup di kawasan konservasi. Kajian Komponen 1 menyingkap kekayaan hayati yang terkandung di cagar alam, taman wisata alam dan taman buru. Survei yang menyisir satu per satu kawasan ini membuka mata berlimpahnya tumbuhan, burung, amfibi, serangga dan biota aquatik.
Seluruh kawasan cagar alam, taman buru dan taman wisata alam di hulu DAS Citarum yang disurvei luasnya hanya 32.780 hektare, sementara luas daerah aliran sungai: 13 ribu kilometer persegi. Tak terlalu luas memang, namun kawasan konservasi itu menjadi tumpuan terakhir bagi hidupan liar di Jawa Barat.Deretan daftar kekayaan hayatikawasan konservasi menegaskan peran penting itu.
Tumbuhan tingkat tinggi misalnya, teridentifikasi 627 spesies dan paku-pakuan 136 spesies. Untuk kelompok mamalia terdapat 38 spesies. Selain macan tutul, owa jawa (Hylobates moloch) dan kukang jawa (Nycticebus javanicus) memiliki status keterancaman tertinggi.
Sedangkan avifaunanya sebanyak 173 spesies, yang 23 di antaranya endemik Pulau Jawa. Ada dua spesies burung dengan status genting punah: elang jawa (Nisaetus bartelsi) dan luntur jawa (Apalharpactes reinwardtii).
Tak kalah menarik: 44 spesies herpetofauna yang terdiri dari 23 spesies amfibi dan 21 spesies reptil. Empat spesies amfibi merupakan endemik Jawa: kongkang jeram (Hula masonii), percil jawa (Microhyla achatina) katak-pohon jawa (Rhacophorus javanus) dan katak-pohonmutiara (Nytixalus margaritifer).
Ditambah lagi ada dua kupu-kupu cantik yang dilindungi: Troides helena dan T. amphrysus juga hidup di kawasan konservasi bersama 32 spesies lainnya. Terakhir, untuk biota air, terdapat 21 spesies nekton, 11 spesies zooplankton, 32 spesies phytoplankton. Biota aquatik yang dilindungi adalah ketam ungu (Geocessarma sp).
Survei itu menyibak cakrawala pengetahuan: begitu banyak catatan baruspesies flora-fauna di kawasan konservasi di hulu Citarum. Contohnya di Cagar Alam Gunung Tilu. Dari catatan lama,burung di Gunung Tiluhanya tercatat 13 spesies, kini bertambah menjadi 125 spesies. Vegetasi yang semula 19 spesies,menjadi 125 spesies. Herpetofauna yang hanya 5 spesies,menjadi 34 spesies. Untuk serangga, yang sebelumnya tanpa catatan sama sekali, kini ditemukan 43 spesies. Pun biota aquatik yang dulu belum tercatat,ternyata ditemukan 12 spesies. Tim peneliti juga mendapati satu spesies endemik di wilayah lain, namun ditemukan di hulu Citarum. Salah satunya ketam ungu.
Dengan begitu, tak pelak, cagar alam, taman buru dan taman wisata alam, punya peran ganda: melindungi kekayaan hayati dan merawat daerah tangkapan air Citarum. Sebagai relik hutan pegunungan di Pulau Jawa yang sesak, kawasan konservasi menjadi tumpuan terakhirbagi pelestarian keanekaragaman hayati.
Lihat Cagar Alam Gunung Tiluyang kerap dijadikan lokasi untuk meliarkan kembali satwayang terancam punah. Polisi hutan Wawan Wajihadin menuturkan bahwa Gunung Tilu kerap menjadi tempat untuk melepasliarkan owa jawa. “Yang terakhir pada bulan November 2015 lalu,” kata Wawan.Saat itu, tiga owa jawa kembali ke alam bebas di cagar alam.
Owa jawa hasil sitaan petugas dan penyerahan dari warga itusemula dirawatdi Pusat Rehabilitasi Satwa Aspinall Foundation, Bandung. Setelah pulih, lantas dibebasliarkan buat menghirup alam liar Gunung Tilu.
Ketiga owa jawa itu terdiri dari jantan bernama Rio dan dua betina bernama Keni dan Inem. Owa dikenal primata yang hidup berpasangan, bisa setia atau berganti pasangan. Sebagai penjelajah tajuk, primata ini sangat tergantung pada pohon-pohon tinggi yang padat. Bila hidup di hutan yang jarang-jarang, ia tak akan sintas.
Owa-owa jawa tersebut juga dipasangi alat pemancar sinyal dengan daya pancar antara 400 sampai 600 meter.Alat ini untuk memudahkan pemantauan daerah jelajah sang owa yang baru dilepas.
Tubuh owa jawa seluruhnya ditutupi rambut kecokelatan sampai kelabu. Bagian atas kepalanya berwarna hitam. Wajahnya berwarna hitam, dengan alis abu-abu serupa warna tubuh.
Iahidup di kawasan hutan hujan tropis mulai dari dataran rendah, pesisir, hingga pegunungan.Saat ini owa jawa terancampunah, sehingga dilindungi pemerintah. Selain itu, spesies ini tercakup dalam Daftar Merah IUCN dengan status genting dan tidak boleh diperdagangkan.Selain hidup di Gunung Tilu, owa jawa menghuni Cagar Alam Gunung Burangrang, Taman Buru Masigit Kareumbi, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Tangkuban Perahu.
Primata lain yang kelestariannya bertumpu pada hutan konservasiadalah lutung jawa (Trachypithecus auratus mauritus) dan surili (Prebystis comata). Keduanya adalah endemik Jawa Barat, dan status surili senasib dengan owa jawa.
Berbeda dengan owa jawa, lutung jawa dan surili, primata yang satu ini sungguh menggemaskan.Namanyakukang jawa. Di seluruh kawasan konservasi yang diteliti, kukang jawa hanya ditemukan di Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi. Ciri-cirinya: warna rambut kuning keputih-putihan, dengan selarik garis cokelat melintang dari belakang hingga dahi,lalu merembet ke telinga dan melingkari mata.
Matanya yang bulat besar dan pemalu, sehingga ia juga dipanggil malu-malu. Primata lemah lembut ini merupakan spesiesyang dilindungi, dan populasinya sedang terpuruk. Statusnya, semula genting punah, lantas naik menjadi kritis. Tragisnya, diMasigit Kareumbi, kukang hanya ditemukan satu individu.!break!
Primata endemik benar-benar tergantung pada kawasan konservasi di hulu DAS Citarum.Alam Jawa bagian barat dikenal sebagai lanskap yang bergelimang kekayaanhayati tertinggi di Pulau Jawa. Para ahli menegaskan dataran rendah yang berlimpah sumber daya merupakan pusat kekayaan hayati di wilayah tropis.
Karena itu pula, sayangnya, populasi manusia juga terpusat di dataran rendah. Akibatnya, pecahlah kompetisi. Dan manusia memenangi pertarungan itu: merombak kawasan alami menjadi lahan pertanian, perkebunan, permukiman. Hidupan liar akhirnya menyingkir ke dataran tinggi. Itulah yang terjadi di Daerah Aliran Sungai Citarum. Flora-fauna akhirnya menggantungkan hidup di dataran tinggi yang dibentengi kawasan konservasi di hulu Citarum.
Tak mengejutkan, selain primata, burung-burung pun mendekamdi kawasan konservasi.Salah satunya, yang paling kharismatik: elang jawa. Daerah jelajah burung pemangsaini terbatas di hutan hujan dataran rendah, perbukitan dan pegunungan. Elang jawa semakin langka, dan salah satu burung pemangsa yang paling terancam punah di dunia. Menurut kriteria IUCN, burung ini genting punah,serta hanya boleh diperdagangkan dari hasil penangkaran dalam jumlah terbatas.Selain elang jawa, burung luntur jawa juga berstatus genting.
Spesies burung lain yang juga penting untuk pengelolaan keanekaragaman hayati adalah julang emas (Rhyticeros undulatus). Burung ini pemakan buah-buahandengan habitat utama hutan dataran rendah dan perbukitan. Dua ekor julang emas terlihat di seputar Curug Pasula, Cagar Alam Gunung Burangrang. Kendati sesekali masih terlihatdi sekitar curug, penduduksetempat menjadi saksi burung ini semakin jarang.
Untuk kelompok serangga, Taman Buru Masigit Kareumbi dan Cagar Alam Gunung Burangrang menyimpan dua makhluk elok yang dilindungi: Troides helena dan T. amphrysus. Ini adalah dua spesies kupu-kupu cantik yang dilindungi.
Bentangan sayap Troides helena mencapai 17 cm. Tubuh dan sayapnya berwarna gelap, dengan sayap bawah kuning keemasan dengan bintik hitam. Kupu-kupu betina memiliki tubuh yang lebih besar ketimbangjantan. Satu lagi,T. amphrysusyang agak mirip dengan T. helena. Hanya saja kombinasi warna kuningnya yang lebih banyak pada sayap bagian atas.
Hubungan erat antara fungsi daerah tangkapan air dengan peran pelindung kekayaan hayati terlihat dari banyaknya temuan satwa amfibi dan biota aquatik.Dengan menyisir wilayah perairan: kolam alam, sungai, rawa, lalu menelisik tumpukan serasah dan lumut di pepohonan, para peneliti menorehkan pembaharuan catatan herpetofauna.
Sebelum dilakukan penelitian, catatan yang ada hanya menyebut 5 spesies herpetofauna. Kini, tercatat 34 spesies herpetofauna. Empat spesies amfibi endemikkian menegaskan nilai penting kawasan konservasi bagi pelestarian alam: kongkang jeram (Huia masonii), percil jawa (Microhyla achatina) katak-pohon jawa (Rhacophorus javanus) dan katak-pohon mutiara (Nytixalus margaritifer). Katak-katak endemik tersebut tercatat di seluruh kawasan konservasi yang menjadi hulu Sungai Citarum.
Kongkang jeram merupakan spesies umum yang dijumpai di aliran sungai yang deras dan berbatu-batu. Biasanya ia bersembunyi di sesemakan di sempadan sungai. Status konservasi kongkang jeram termasuk rentan punah. Amfibi endemikJawa ini berukuran sedang, yang jantan: 30 mm, dan betina: 50 mm. Kakinya ramping dan jenjang; jari tangan dan kakinya memilikipiringan lebar serta terdapat lekuk sirkum marginal pada piringannya. Kulitnya halus dengan sedikit bintil, serta lipatan dorso-lateral yang samar. Di sekitar tympanum dikelilingi oleh warna yang lebih gelap dari pada kulitnya.
Yang satu ini sungguh cantik: katak-pohon mutiara, yang biasa mengendap di lubang-lubang kayu berair atau tumbuhan bawah yang berdaun lebar. Sang betina menaruh telur-telur yang diselimuti gelatin di dalam lubang pohon. Umumnya ia hidup di hutan dataran rendah hingga 1.200 mdpl. Spesies ini merupakan katak endemik di Jawa Barat.
Sedangkankatak-pohon jawa sangat umum dijumpai di Jawa Barat. Katak kecil iniberwarna cokelat kemerahan dengan bercak-bercak yang takberaturan. Katak-pohon jawa tersebardi hutan primer pada ketinggian 250 – 1.500mdpl. Ia biasa hinggap di ranting-ranting pohon di dekat sumber air.
Satu lagi katak mungil yang endemik Pulau Jawa: percil jawa. Selain berukuran kecil, ia punya kepala dan mulut yang sempit. Ukurannyaantara 20 - 25 mm. Ia memiliki tanda khas seperti anak panah di punggungnya. Percil jawa biasa dijumpai di hutan primer dan sekunder, dan kadang dijumpai di areal-areal yang terganggu.
Pada sungai dan badan air di kawasan konservasi, peneliti Komponen 1 juga menelisik kekayaan biota aquatik. Selain benthos, zooplankton dan fitoplankton, sungai-sungai di hulu ini menjadi tempat hidup ikan, ketam dan udang.Di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang misalnya, dijumpai12 spesies ikan, 3 spesies ketam dan 3 spesies udang. Satu spesies ketam di antaranya, ketam ungu, dilindungi oleh undang-undang.
Sedangkan di Masigit Kareumbi, dijumpai 5 spesies ikan, 1 spesies ketam dan 3 spesies udang. Seluruh spesies ini terbilang umum di setiap kawasan konservasi yang tercakupdaerah aliran Sungai Citarum.
Kini, tersaji daftar lengkap spesies flora-fauna untuk tujuh kawasan konservasi, beserta status,sebaran, dan ancamannya. Daftar itu menjadi bekal untuk pemantauan secara teratur dan berkala. Pemantauan untuk membaca dan mengamatidinamika populasi, sebaran, dan ancaman spesies penting dari waktu ke waktu.Hal ini memerlukan dukungan riset lapangan untukselalu memperbaharui data populasi, distribusi, sifat-sifat biologi dan ekologi, serta perilaku.
Untuk memudahkan fokus pengelolaan, tahap selanjutnya adalah menentukan spesies prioritas yang akan menuntun arah dan tindakan konservasi keanekaragaman hayati. Penentuan spesies prioritas mengacu Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Perlindungan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.57 Tahun 2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018.!break!
Spesies prioritas merupakan spesies yang dinilai penting untuk dilakukan konservasi dibandingkan dengan spesies lain.Pemilihan spesies prioritas akan membantu keefektifan pengelolaan karena banyaknya jumlah spesies yang tak semuanya perluupaya konservasi intensif. Di samping itu, disadari pula terbatasnya sumberdaya manusia, dana, dan lainnya.Adanya spesies prioritas sekaligus akan membantu melestarikan banyak spesies lain.
Penetapan spesies prioritas dilakukan dengan meninjau daftar spesies di tujuh kawasan konservasi. Lantas dilakukan diskusi di lingkar para tenaga ahli Komponen 1. Berdasarkan spesies yang terpilih, kemudian para tenaga ahli mendiskusikan dan menentukan kriteria yang mendasari pemilihan spesies prioritas.
Dalam pemilihan ini, salah satu yang terpenting adalahmenelisik kondisi ekosistem yang diwakili spesies tertentu yang memiliki sifat khusus. Keterwakilan ini dapat mencerminkan keadaan populasi, sebaran dan ancaman.
Berikut ini beberapa spesies prioritas yang diusulkan untuk dikelola dan dipantaudi tujuh kawasan konservasi proyek CWMBC. Di kelompok mamalia ada macan tutul, owa jawa, surili, sero ambrang (Aeonyx cinerea), dan jelarang (Ratufa bicolor). Lantas pada kelompok burung, adaelang jawa, ada julang emas dan ayam hutan merah (Gallus gallus).Kelompok serangga: kupu-kupuTroides helena,tonggeret (Cicadidae), dan capung (Libellulidae).
Sementara kelompok herpetofauna: sanca bodo (Python molurus bivittatus) dan kabi-labi hutan (Dogania subplana). Lantas, kelompok biota aquatik: ikan kekel (Glyptothorax platypogon), ikan jeler (Cobitis choirorhynchos), ikan paray (Rasbora lateristriata) dan udang batu (Macrobrachium empulipke).Dan untuk tumbuhan: rasamala (Altingia excelsa), jamuju (Dacrycarpus imbricatus) dan kiputri (Podocarpus neriifolius).
Selain sederet spesies tersebut, ada juga spesies prioritas yang perlu perhatian. Spesies ini umumnya sulit dipantau di lapangan, namun perlu perhatian khusus. Karena itu, selama survei dan pemantauan diupayakan betul untuk mendapatkan data primer ataupun data sekundernya.
Contoh spesies prioritas yang butuh perhatian khusus: anggrek-anggrek endemik Jawa yang kurang data, kembang edelweiss (Anaphalis Javanica) yang sebarannya terbatas, bunga bangkai (Amorphophallus spp.) dan kantung semar (Nephentes spp.). Atau, untuk kelompok herpetofauna misalnya, adakodok-pohon mutiara, kura-kura batuk (Cuora amboinensis), kura-kura bergerigi (Cyclemys dentata), kura-kura oldham (C. oldhamii).
Berbekal setumpuk data dan sederet spesies prioritas, tim Komponen 1 memberikan pengetahuan baru tentangpotensi keanekaragaman hayati di huluDAS Citarum. Data dasar ini sebagai salah satu fondasi dalam pengelolaan kawasan jangka panjang, seperti penelitian, pemetaan, pemantauan spesies penting. Potensi kekayaan hayati ini sekaligus untuk meneguhkan strategi pengelolaan kawasan dengan melibatkan berbagai pihak—semisal PT Perhutani,yang bersinggungan langsungdengan kawasan.
Terlebih lagi, kekayaan hayati juga menjadi salah satu aspekpertimbangan dalam penataan blok (atau zona) kawasan. Hasil akhir penataan blok untuk memastikan manfaat kawasan konservasi lebih optimal dan lestari. Lantaran itulah, pada kawasan konservasi yang belum tertata, sebaiknya tidak dilakukan pengembangan dan pemanfaatan, kecuali tindakan perlindungan dan pengamanan.
Selain potensi keanekaragaman hayati, penataaan blok juga menimbang tingkat interaksi kawasan konservasi denganmasyarakat.Dengan begitu, penetapan blok dilakukan secara adaptif, sesuai potensi dan kebutuhan pengelolaan. Artinya:pembagian bloktidak harus selalu sama dan lengkap di setiap kawasankonservasi.
Seiring dengan dinamika populasi dan sebaran spesies prioritas, penentuan blok tentu saja tidak bersifat permanen. Tata blok cenderung bersifatdinamis seiring berkembangnyapengelolaan kawasan, potensi, dan interaksinya dengan masyarakat. Secara ringkas, penataanblok selayaknya ditinjau ulang setiaptiga sampai limatahun.
Tujuh kawasan konservasi yang berada dalam daerah aliran sungai Citarum memiliki fungsi yang berbeda. Ada cagar alam, ada taman wisata alam, ada taman buru. Penataan blok sudah pastimenakar fungsi setiap kawasan.Kawasan cagar alam—seperti Gunung Tilu, Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang, dan Kawah Kamojang—ditetapkan murni untuk pelestarian alam: pemantauan gejala alam, perlindungan ekosistem danisinya. Fungsinya lebih untuk pengawetan keanekaragaman hayati, perlindungan penyangga kehidupan, serta penelitian dan pendidikan. Pendek kata, cagar alam punya derajat perlindungan dan pengawetan yang paling ketat.
Untuk taman wisata alam, penetapannya lazim sebagai lokasi ekowisata. Hanya saja, taman wisata alam juga tak luput dari fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan flora-fauna dan keunikan alam. Tujuan pengelolaan taman wisata alam untuk menjamin kelestarian kawasan, penelitian, pendidikan, dan pendayagunaan plasma nutfah.
Untuk itu, tingkat pemanfaatan di taman wisata alam lebih longgar ketimbang cagar alam. Pada prinsipnya, pengelolaan taman wisata alam tidak mengurangi luas dan merubah fungsi kawasan.
Sedangkan taman buru lebih untuk perburuan satwa (game) secara teratur, tanpa mengabaikan perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati. Tujuan pengelolaannya: mengelola habitat dan potensi satwa buru.
Secara prinsip, pengelolaan taman buru untuk memanfaatkan kekayaan satwa buruan. Sehingga,kawasan ini lazim dibagi dalam blok perlindungan dan pemanfaatan. Blok perlindungan untuk mengelola habitat dan merawat populasi satwa buruan.
Setelah melewati sejumlah tahap, mulai dari penentuan jenis blok, kriteria, hingga tujuan peruntukannya, terciptalah blok-blok di tujuh kawasan konservasi. Rancangan blok ini memakai teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi geografis, dan menimbangpotensi kawasan dan penutupan hutan tahun 2013.
Kawasan Cagar Alam Gunung Burangrang tertata dalam tiga blok: perlindungan, pemanfaatan dan rehabilitasi. Porsi terbesar adalah blok perlindungan, sekitar 80 persen luas kawasan.Blok ini untuk memantau spesies penting: macan tutul, owa jawa, elang jawa dan julang emas.!break!
Sementara blok pemanfaatan, sekitar 19 persen luas cagar, untuk lokasisarana dan prasarana pemantauan danpenelitian. Dan blok rehabilitasi, tak sampai1 persen luas cagar, untuk upaya pemulihan ekosistem.
Tata blok di Cagar Alam Gunung Tangkuban Perahuhanya terdiri duablok, untuk perlindungan dan pemanfaatan. Blok pertama, sekitar 82 persen luas kawasan, untuk pelestarian dan pemantauan flora-fauna, seperti macan tutul dan owa jawa. Sisanya, tak kurang dari 18 persen luas cagar, untuk blok pemanfaatan bagi sarana dan prasarana pemantauan dan penelitian.
Persis seperti Gunung Burangrang, CagarAlam Kawah Kamojang juga ditata dalam tiga blok: perlindungan, pemanfaatan dan rehabilitasi. Blok perlindungan, 57 persen kawasan, untuk pemantauan dan pengelolaan populasi dan habitat macan tutul di hutan Gunung Bongkok dan Gunung Rakutak.Sarana dan prasarana penelitian dan pemantauan akan terletak di blok pemanfaatan, sekitar 42 persen luas cagar. Dan upaya restorasi berada di blok rehabilitasi, yang tak sampai 1 persen dari luas cagar alam.
Sebagian besar Cagar Alam Gunung Tilu digunakan untuk blok perlindungan, sedikit di atas 94 persen luas kawasan. Di blok ini terdapat spesies penting, utamanya macan tutul dan owa jawa. Untuk sarana dan prasarana pemantauan dan penelitian terdapat di blok pemanfaatan yang mencakup 5 persen luas cagar. Dan tak sampai 1 persen kawasan, masuk dalam blok rehablitasi.
Begitu juga untuk Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu dan Kawah Kamojang. Kedua taman wisata alam ini ditata dalam tiga blok: perlindungan, pemanfaatan, dan rehabilitasi.Blok perlindungan di Tangkuban Perahu mencakup 56 persen kawasan, untuk pengelolaan habitat macan tutul dan owa jawa. Sementara blok pemanfaatan, hampir 20 persen luas kawasan, sebagai pusat wisata alam. Sekitar 24 persen kawasan masuk dalam blok rehabilitasi untukupaya pemulihan ekosistem.
Upaya pelestarian flora-fauna prioritas—seperti macan tutul—di Taman Wisata Alam Kawah Kamojang dilakukan di blok perlindungan, sekitar 20 persen luas kawasan. Sebagian besar kawasan Kamojang tercakup dalam blok rehabilitasi, sekitar 55 persen dari luasan taman wisata. Sementara blok pemanfaatan meliputi 25 persen lebih sedikit luas kawasan.
Begitu juga Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi yang terbagi dalam blok perlindungan, pemanfaatan dan rehabilitasi.Blok perlindungan mencakup 53 persen luas kawasan untuk perlindungan kekayaan hayati. Blok ini untuk pengelolaan habitat dan populasi owa jawa di hutan Kerenceng, dan kukang jawa di hutan tak jauh dari jalan utama. Selain itu, di blok ini akan diupayakan pembinaan habitat dan populasi satwa buru.
Untuk pembangunan sarana dan prasarana pemantauan flora dan fauna, penelitian, pengembangan ilmu, terdapat di blok pemanfaatan yang mencakup 35 persen kawasan. Blokpemanfaatan ini dapat juga untuk penangkaransatwa buru. Dan sekitar 12 persen kawasan digunakan untuk blok rehabilitasi sebagai upaya pemulihan ekosistem, baik rehabilitasi maupunrestorasi ekosistem.
Penataan blok akan menuntun pengelolaan kawasan sesuai kriteria dan tujuan peruntukan blok. Di blok perlindungan dapat dilakukan tindakanperlindungan dan pengamanan; pemantauan flora dan fauna dengan ekosistemnya; pengembangan penelitian,pendidikan dan kesadaran konservasi alam; pembinaan habitat dan populasi hidupan liar yang asli.
Aktivitas tersebut juga bisa dilakukan di blok pemanfaatan. Hanya saja di blok ini dimungkinkan pembangunan sarana danprasarana penelitian, pendidikan konservasi alam, dan akomodasi wisata alam terbatas.
Sedangkan di blok rehabilitasi lebih menekankan aktivitas inventarisasi dan pemantauan spesiesuntuk pemulihan ekosistem dan pemberantasanspesies asing. Di blok ini juga bisa dilakukan rehabilitasi,restorasi ekosistem, dan pemusnahan spesies invasif dan eksotik.
Pada hakikatnya, derajat pemanfaatan paling ketat ada di kawasan cagar alam, yang hanya untuk penelitian dan pemantauan kehidupan alam. Sementara di taman wisata alam, meski agak longgar untukwisata alam, tetap saja tidak bisa meninggalkan aspek perlindungan dan pengawetan kekayaan hayati.
Titik akhir dari inventarisasi spesies hingga penataan blok sejatinya untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi. Dengan demikian, tahap selanjutnya adalah riset dan pemantauan jangka panjang.
Untuk itu, di Cagar Alam Gunung Tilu dikembangkan model petak cuplik permanen (permanent sampling plot/PSP). Kalangan peneliti kerap menyebut dengan ringkas: PSP, yang berarticuplikan areal atau petak contoh di kawasan hutan dengan luas tertentu dan permanen.Luasan petak permanen ini tergantung pada taksa yang dipantau.
Tim Komponen 1 memberikan pilihan: untuk flora, petak PSP berukuran dari 0,1 hingga 4 hektare. Petak permanen untuk pemantauan mamalia, berukuran: lebar 50 meter dan panjang 1.500-2.500 meter. Sementara untuk burung, plot PSP memiliki ukuran yang hampir sama, namun bentuknya radial, dengan radius 50 meter dan panjang sejauh 1.000-2.000 meter. Pada taksa herpetofauna lebar jarak pengamatan 50 meter, dan panjang jarak pengamatan 800 meter hingga 1.500 meter.
Secara umum, tujuan utama pengamatan di plot permanen ini untuk menilai dinamika hutan, seperti suksesi, regenerasi, pertumbuhan pohon dan kematian; untuk menyediakan data dasar habitat, proses alami, ataupun pemanfaatan oleh manusia; dan untuk menyediakan area yang representatif bagi penelitian.
Pembuatan model petak permanen ini untuk pemantauan dan evaluasi keanekaragaman hayati di Cagar Alam Gunung Tilu. Kelak,staf Balai Besar KSDA Jawa Baratakan memakai model PSP. Dengan model di Gunung Tilu, diharapkan plot yang sama bisa diberlakukan di kawasan konservasi yang lain.
Petak permanen ini sekaligus bisa menjadi peranti untuk mengukur kinerja pengelolaan. Adanya plot PSP berarti harus ada pemantauan, kajian dan evaluasi rutin. Data mentah dari lapangan ini menjadi bekal pengelolaan untuk merespon dinamika yang terjadi di kawasan.Dengan begitu, data mentah mesti dianalisis, lantas dihimpun seturut standar yang telah ditetapkan.
Data-data ini diupayakan dapat tersimpan dalam bentuk cetakan serta elektronik—tabel data mentah, data olahan dan pangkalan data.Data survei maupun pemantauan, perlu dihimpun, ditata, disebarkan, dianalisis untuk menjadi himpunan informasi. Selanjutnya, informasi ini menjadi fondasi yang berguna bagi kepentingan internal maupun eksternal pengelola.!break!
Layaknya sebuah pesan, kumpulan informasi akan diteruskan melalui peranti layanan yang bisa digunakan setiap saat untuk tindakan pengelolaan. Hasil pengumpulan data lapangan, entah dari pemantauan di plot permanen maupun patroli pengamanan, dihimpun padalembaran data.
Dari situ, data yang terkumpul menjadi modal bagi pengelola dalam menentukan prioritas pengelolaan kawasan. Sebagai sistem informasi, tentu perlu adanya kesepakatan tentang aliran data, tugas, dan pembagian peran di setiap kantor unit pengelolaan. Misalnya, untuk resor hanya bertugas patroli dan pemantauan sambil membawa lembar isian; lalu analisis awal hasil dari resor itu dilakukan di kantor seksi. Kemudian, kantor bidang dan balai bertugas mengelola input data menjadi informasi untuk arahan tugas ataupun mengambil keputusan.
Pembagian peran tersebut akan menegaskan tanggung jawab setiap unit pengelolaan dalam memastikan berjalannya sistem informasi. Jadi, kelancaran aliran data dalam sistem informasi menjadi tanggung jawab setiap unit pengelolaan.Pengumpulan dan aliran data dalam sistem informasi sejatinya bertumpu pada pengarsipan data. Ini pula yang menjadi penunjang kinerja Balai Besar KSDA Jawa Baratdalam mengelola kawasannya.
Intinya, wujud pengelolaan di tingkat tapak akan terlihat adanya aliran data lapangan dari resor sampai Balai Besar KSDA Jawa Barat, lantas ada respon balik hingga kembali ke lapangan. Dari aliran data, analisis, dan lantas tanggapan, akan tecermin tata kelola internal, yang akan berpengaruh terhadap kebaruan data dan informasi kawasan. Bila tidak ada kebaruan data, secara praktis bisa dibilang sistem informasi tak berjalan dan lumpuh.
Seluruh kiprah Komponen 1 di atas, dari penelitian, penataan blok, hingga pengembangan sistem data informasi, baru menapaki separo tahapan dalam narasi besar konservasi keanekaragaman hayati. Sejatinya, Komponen 1 merupakan bagian dari proses yang berurutan dalam konservasi yang terangkum dalam jargon 3P: perlindungan – pengawetan – pemanfaatan dan juga SSU: save – study – use. Makna 3P dan SSU kira-kira seiring: melindungi, meneliti dan mempelajari, lalu memanfaatkan keanekaragaman hayati.
Siklus itulah yang ingin ditingkatkan kualitasnya melalui program CWMBC, karena posisi Komponen 1 baru berada di urutan meneliti dan mempelajari kekayaan hayati.Urutannya yang ideal: dari pengumpulan data,mengolahnya, laluuntuk pengembangkan informasi dan pengetahuan, menentukan arah pengelolaan, membuat aturan dan kebijakan, mengevaluasi, memperbaiki, dan seterusnya.
Seturut tahapan 3P dan SSU itu, Komponen 1sebenarnya membuka peluang pemanfaatan plasma nutfah. Aspek pemanfaatan, yang menjadi salah satuaspek siklus 3P dan 3S, bernilai krusial untuk membangkitkan kembali upaya konservasi dalam kehidupan modern.
Dalam konteks kekinian, upaya konservasi keanekaragaman hayati tidak bisa hanya berkutat pada tataran etik ataupun estetik. Ikhtiar konservasi tidak cukup hanya mengandalkan imbauan,kampanye, dan pengamanan, dengan mengusung alasan etik dan estetik dalam melestarikan flora-fauna.
Dalam peradaban modern yang cenderung pragmatis, nilai-nilai etik (baik-buruk) dan estetik itu tak bakal mampu menjawab tantangan zaman. Tak pelak lagi, ikhtiar konservasi juga mesti bertumpu pada aspek pemanfaatan secara lestari, yang akan mengungkit nilai ekonomi kekayaan hayati. Pada tataran selanjutnya, manfaat ekonomi itulah yang akan memantik nilai etik dan estetik konservasi.
Sejauh ini, nilai ekonomi keanekaragaman hayati baru dirasakan langsung oleh pihak yang berwenang dalam aspek perlindungan dan penelitian. Secara praktis misalnya, nilai ekonomi itu mewujud dalam bentuk imbalan, honor ataupun pendapatan lain, yang diterima oleh pengelola kawasan. Manfaat langsung juga dirasakan para peneliti, penangkar, pemburu, pengusaha wisata alam, ataupun pedagang satwa liar. Artinya, penerima manfaat langsung keanekaragaman hayati adalah masyarakat yang jauh dari kawasan konservasi.
Tapi, bagi khlayak banyak, khususnya yang tinggal di sekitar kawasan konservasi, manfaat ekonomi kekayaan hayati masih jauh dari harapan. Buktinya, masyarakat sekitar hutan cenderung memilih jalan pintas: merombak kawasan konservasi menjadi lahan budidaya.
Dalam bingkai perlindungan – pengawetan – pemanfaatan itulah, CWMBC hendak membumikan upaya konservasi kekayaan hayati di DAS Citarum.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR