Tata blok di Cagar Alam Gunung Tangkuban Perahuhanya terdiri duablok, untuk perlindungan dan pemanfaatan. Blok pertama, sekitar 82 persen luas kawasan, untuk pelestarian dan pemantauan flora-fauna, seperti macan tutul dan owa jawa. Sisanya, tak kurang dari 18 persen luas cagar, untuk blok pemanfaatan bagi sarana dan prasarana pemantauan dan penelitian.
Persis seperti Gunung Burangrang, CagarAlam Kawah Kamojang juga ditata dalam tiga blok: perlindungan, pemanfaatan dan rehabilitasi. Blok perlindungan, 57 persen kawasan, untuk pemantauan dan pengelolaan populasi dan habitat macan tutul di hutan Gunung Bongkok dan Gunung Rakutak.Sarana dan prasarana penelitian dan pemantauan akan terletak di blok pemanfaatan, sekitar 42 persen luas cagar. Dan upaya restorasi berada di blok rehabilitasi, yang tak sampai 1 persen dari luas cagar alam.
Sebagian besar Cagar Alam Gunung Tilu digunakan untuk blok perlindungan, sedikit di atas 94 persen luas kawasan. Di blok ini terdapat spesies penting, utamanya macan tutul dan owa jawa. Untuk sarana dan prasarana pemantauan dan penelitian terdapat di blok pemanfaatan yang mencakup 5 persen luas cagar. Dan tak sampai 1 persen kawasan, masuk dalam blok rehablitasi.
Begitu juga untuk Taman Wisata Alam Gunung Tangkuban Perahu dan Kawah Kamojang. Kedua taman wisata alam ini ditata dalam tiga blok: perlindungan, pemanfaatan, dan rehabilitasi.Blok perlindungan di Tangkuban Perahu mencakup 56 persen kawasan, untuk pengelolaan habitat macan tutul dan owa jawa. Sementara blok pemanfaatan, hampir 20 persen luas kawasan, sebagai pusat wisata alam. Sekitar 24 persen kawasan masuk dalam blok rehabilitasi untukupaya pemulihan ekosistem.
Upaya pelestarian flora-fauna prioritas—seperti macan tutul—di Taman Wisata Alam Kawah Kamojang dilakukan di blok perlindungan, sekitar 20 persen luas kawasan. Sebagian besar kawasan Kamojang tercakup dalam blok rehabilitasi, sekitar 55 persen dari luasan taman wisata. Sementara blok pemanfaatan meliputi 25 persen lebih sedikit luas kawasan.
Begitu juga Taman Buru Gunung Masigit Kareumbi yang terbagi dalam blok perlindungan, pemanfaatan dan rehabilitasi.Blok perlindungan mencakup 53 persen luas kawasan untuk perlindungan kekayaan hayati. Blok ini untuk pengelolaan habitat dan populasi owa jawa di hutan Kerenceng, dan kukang jawa di hutan tak jauh dari jalan utama. Selain itu, di blok ini akan diupayakan pembinaan habitat dan populasi satwa buru.
Untuk pembangunan sarana dan prasarana pemantauan flora dan fauna, penelitian, pengembangan ilmu, terdapat di blok pemanfaatan yang mencakup 35 persen kawasan. Blokpemanfaatan ini dapat juga untuk penangkaransatwa buru. Dan sekitar 12 persen kawasan digunakan untuk blok rehabilitasi sebagai upaya pemulihan ekosistem, baik rehabilitasi maupunrestorasi ekosistem.
Penataan blok akan menuntun pengelolaan kawasan sesuai kriteria dan tujuan peruntukan blok. Di blok perlindungan dapat dilakukan tindakanperlindungan dan pengamanan; pemantauan flora dan fauna dengan ekosistemnya; pengembangan penelitian,pendidikan dan kesadaran konservasi alam; pembinaan habitat dan populasi hidupan liar yang asli.
Aktivitas tersebut juga bisa dilakukan di blok pemanfaatan. Hanya saja di blok ini dimungkinkan pembangunan sarana danprasarana penelitian, pendidikan konservasi alam, dan akomodasi wisata alam terbatas.
Sedangkan di blok rehabilitasi lebih menekankan aktivitas inventarisasi dan pemantauan spesiesuntuk pemulihan ekosistem dan pemberantasanspesies asing. Di blok ini juga bisa dilakukan rehabilitasi,restorasi ekosistem, dan pemusnahan spesies invasif dan eksotik.
Pada hakikatnya, derajat pemanfaatan paling ketat ada di kawasan cagar alam, yang hanya untuk penelitian dan pemantauan kehidupan alam. Sementara di taman wisata alam, meski agak longgar untukwisata alam, tetap saja tidak bisa meninggalkan aspek perlindungan dan pengawetan kekayaan hayati.
Titik akhir dari inventarisasi spesies hingga penataan blok sejatinya untuk mendukung pengelolaan kawasan konservasi. Dengan demikian, tahap selanjutnya adalah riset dan pemantauan jangka panjang.
Untuk itu, di Cagar Alam Gunung Tilu dikembangkan model petak cuplik permanen (permanent sampling plot/PSP). Kalangan peneliti kerap menyebut dengan ringkas: PSP, yang berarticuplikan areal atau petak contoh di kawasan hutan dengan luas tertentu dan permanen.Luasan petak permanen ini tergantung pada taksa yang dipantau.
Tim Komponen 1 memberikan pilihan: untuk flora, petak PSP berukuran dari 0,1 hingga 4 hektare. Petak permanen untuk pemantauan mamalia, berukuran: lebar 50 meter dan panjang 1.500-2.500 meter. Sementara untuk burung, plot PSP memiliki ukuran yang hampir sama, namun bentuknya radial, dengan radius 50 meter dan panjang sejauh 1.000-2.000 meter. Pada taksa herpetofauna lebar jarak pengamatan 50 meter, dan panjang jarak pengamatan 800 meter hingga 1.500 meter.
Secara umum, tujuan utama pengamatan di plot permanen ini untuk menilai dinamika hutan, seperti suksesi, regenerasi, pertumbuhan pohon dan kematian; untuk menyediakan data dasar habitat, proses alami, ataupun pemanfaatan oleh manusia; dan untuk menyediakan area yang representatif bagi penelitian.
Pembuatan model petak permanen ini untuk pemantauan dan evaluasi keanekaragaman hayati di Cagar Alam Gunung Tilu. Kelak,staf Balai Besar KSDA Jawa Baratakan memakai model PSP. Dengan model di Gunung Tilu, diharapkan plot yang sama bisa diberlakukan di kawasan konservasi yang lain.
Petak permanen ini sekaligus bisa menjadi peranti untuk mengukur kinerja pengelolaan. Adanya plot PSP berarti harus ada pemantauan, kajian dan evaluasi rutin. Data mentah dari lapangan ini menjadi bekal pengelolaan untuk merespon dinamika yang terjadi di kawasan.Dengan begitu, data mentah mesti dianalisis, lantas dihimpun seturut standar yang telah ditetapkan.
Data-data ini diupayakan dapat tersimpan dalam bentuk cetakan serta elektronik—tabel data mentah, data olahan dan pangkalan data.Data survei maupun pemantauan, perlu dihimpun, ditata, disebarkan, dianalisis untuk menjadi himpunan informasi. Selanjutnya, informasi ini menjadi fondasi yang berguna bagi kepentingan internal maupun eksternal pengelola.!break!
Layaknya sebuah pesan, kumpulan informasi akan diteruskan melalui peranti layanan yang bisa digunakan setiap saat untuk tindakan pengelolaan. Hasil pengumpulan data lapangan, entah dari pemantauan di plot permanen maupun patroli pengamanan, dihimpun padalembaran data.
Dari situ, data yang terkumpul menjadi modal bagi pengelola dalam menentukan prioritas pengelolaan kawasan. Sebagai sistem informasi, tentu perlu adanya kesepakatan tentang aliran data, tugas, dan pembagian peran di setiap kantor unit pengelolaan. Misalnya, untuk resor hanya bertugas patroli dan pemantauan sambil membawa lembar isian; lalu analisis awal hasil dari resor itu dilakukan di kantor seksi. Kemudian, kantor bidang dan balai bertugas mengelola input data menjadi informasi untuk arahan tugas ataupun mengambil keputusan.
Pembagian peran tersebut akan menegaskan tanggung jawab setiap unit pengelolaan dalam memastikan berjalannya sistem informasi. Jadi, kelancaran aliran data dalam sistem informasi menjadi tanggung jawab setiap unit pengelolaan.Pengumpulan dan aliran data dalam sistem informasi sejatinya bertumpu pada pengarsipan data. Ini pula yang menjadi penunjang kinerja Balai Besar KSDA Jawa Baratdalam mengelola kawasannya.
Intinya, wujud pengelolaan di tingkat tapak akan terlihat adanya aliran data lapangan dari resor sampai Balai Besar KSDA Jawa Barat, lantas ada respon balik hingga kembali ke lapangan. Dari aliran data, analisis, dan lantas tanggapan, akan tecermin tata kelola internal, yang akan berpengaruh terhadap kebaruan data dan informasi kawasan. Bila tidak ada kebaruan data, secara praktis bisa dibilang sistem informasi tak berjalan dan lumpuh.
Seluruh kiprah Komponen 1 di atas, dari penelitian, penataan blok, hingga pengembangan sistem data informasi, baru menapaki separo tahapan dalam narasi besar konservasi keanekaragaman hayati. Sejatinya, Komponen 1 merupakan bagian dari proses yang berurutan dalam konservasi yang terangkum dalam jargon 3P: perlindungan – pengawetan – pemanfaatan dan juga SSU: save – study – use. Makna 3P dan SSU kira-kira seiring: melindungi, meneliti dan mempelajari, lalu memanfaatkan keanekaragaman hayati.
Siklus itulah yang ingin ditingkatkan kualitasnya melalui program CWMBC, karena posisi Komponen 1 baru berada di urutan meneliti dan mempelajari kekayaan hayati.Urutannya yang ideal: dari pengumpulan data,mengolahnya, laluuntuk pengembangkan informasi dan pengetahuan, menentukan arah pengelolaan, membuat aturan dan kebijakan, mengevaluasi, memperbaiki, dan seterusnya.
Seturut tahapan 3P dan SSU itu, Komponen 1sebenarnya membuka peluang pemanfaatan plasma nutfah. Aspek pemanfaatan, yang menjadi salah satuaspek siklus 3P dan 3S, bernilai krusial untuk membangkitkan kembali upaya konservasi dalam kehidupan modern.
Dalam konteks kekinian, upaya konservasi keanekaragaman hayati tidak bisa hanya berkutat pada tataran etik ataupun estetik. Ikhtiar konservasi tidak cukup hanya mengandalkan imbauan,kampanye, dan pengamanan, dengan mengusung alasan etik dan estetik dalam melestarikan flora-fauna.
Dalam peradaban modern yang cenderung pragmatis, nilai-nilai etik (baik-buruk) dan estetik itu tak bakal mampu menjawab tantangan zaman. Tak pelak lagi, ikhtiar konservasi juga mesti bertumpu pada aspek pemanfaatan secara lestari, yang akan mengungkit nilai ekonomi kekayaan hayati. Pada tataran selanjutnya, manfaat ekonomi itulah yang akan memantik nilai etik dan estetik konservasi.
Sejauh ini, nilai ekonomi keanekaragaman hayati baru dirasakan langsung oleh pihak yang berwenang dalam aspek perlindungan dan penelitian. Secara praktis misalnya, nilai ekonomi itu mewujud dalam bentuk imbalan, honor ataupun pendapatan lain, yang diterima oleh pengelola kawasan. Manfaat langsung juga dirasakan para peneliti, penangkar, pemburu, pengusaha wisata alam, ataupun pedagang satwa liar. Artinya, penerima manfaat langsung keanekaragaman hayati adalah masyarakat yang jauh dari kawasan konservasi.
Tapi, bagi khlayak banyak, khususnya yang tinggal di sekitar kawasan konservasi, manfaat ekonomi kekayaan hayati masih jauh dari harapan. Buktinya, masyarakat sekitar hutan cenderung memilih jalan pintas: merombak kawasan konservasi menjadi lahan budidaya.
Dalam bingkai perlindungan – pengawetan – pemanfaatan itulah, CWMBC hendak membumikan upaya konservasi kekayaan hayati di DAS Citarum.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR