Sekitar pukul 15.30, saya tiba di Tanjungbatu. Aktivitas sore di dermaga kecil itu sudah meredup. Hanya gemuruh suara mesin speedboat yang akhirnya memecah kesunyian. Sekitar setengah jam perjalanan, kurang lebih hingga di Derawan, ombak masih bersahabat. Akan tetapi, melewati Derawan, keadaannya lain. Laut Sulawesi mengirim ombak besar yang beberapa kali menghantam lambung kapal. Prak…prak…prak! Rasanya seperti baru pertama kali belajar menunggang kuda.
Saya merasa mual. Berkali-kali saya melirik jam, sekadar ingin tahu berapa lama lagi penyiksaan ini berlangsung. Untungnya, kawanan lumba-lumba yang mengiringi kapal dengan begitu gembira berhasil menghibur saya. Setidaknya untuk beberapa saat, sebelum akhirnya mereka menghilang.
Rasa mual saya mulai mereda setelah larik sinar sunset mulai terlihat di cakrawala, dan benar-benar hilang setelah meneguk segelas air kelapa muda yang segar.
Nuansa alami begitu terasa di resor berkelas internasional ini. Saya sempat melihat kepiting kelapa—juga dikenal sebagai ketam kenari—merambati pohon kelapa yang memang asli tumbuh di pulau seluas 20.000 meter persegi dengan nama lokal Pulau Pabahanan ini. Sebagai tempat istirahat, resor ini menyediakan bungalo-bungalo yang didesain menggunakan material kayu lokal, menambah nuansa alami sekaligus keberlanjutan eco resort ini.
“Di sini sepi. Tidak setiap hari ada pengunjung,” ujar Muhadi, yang bertugas menjaga kawasan wisata Pulau Kakaban. “Tidakkah setiap orang yang berkunjung ke Derawan pasti singgah di sini?” tanya saya. Pria berusia 53 tahun itu hanya mengangkat bahunya.
Atraksi utama pulau yang tak berpenghuni manusia ini adalah Danau Kakaban yang menjadi habitat beberapa spesies endemik, salah satunya ubur-ubur yang tidak menyengat. Dari atas dermaga mini, ubur-ubur bahkan sudah dapat dilihat, saking banyaknya. Airnya jernih, dan mengundang siapa pun untuk menceburkan diri. Konon, ia merupakan perpaduan air laut, air tanah, dan air hujan sejak dua juta tahun lalu. Alhasil, airnya lebih tawar dibandingkan air laut di sekitarnya.
Dari Pulau Kakaban, Rahman yang masih menemani perjalanan memberi aba-aba kepada kapten speedboat untuk bertolak ke Sangalaki. “Saatnya kita melihat manta,” katanya. Tidak sampai setengah jam, kami sudah tiba di perairan Pulau Sangalaki. Saya membuka mata lebar-lebar. “Mana manta-nya?” saya menagih Rahman. “Biasanya ada kok,” katanya sambil tersenyum.
Rahman adalah sosok yang menarik. Badannya tinggi besar, perutnya buncit. Ia merupakan tipe pemandu tulen; doyan bercerita, dan pandai berkelit. Misalnya soal manta itu. “Saya tetap harus menjelaskan bahwa biasanya manta menampakkan diri di titik ini, tetapi saya tidak bisa menjamin mereka bakal datang,” ujarnya sambil terbahak-bahak.
Dalam perjalanan kembali ke Berau, jalan berlubang dan berkelok-kelok tidak terasa menyebalkan lagi karena cerita-cerita Rahman. Sebagian lucu, dan sebagian lagi terasa menyentuh. “Saya ini pada dasarnya cuma calo. Saya punya tiga penyewaan mobil, tetapi saya tidak punya mobil. Saya hanya menghubungkan calon pelanggan dengan pemilik mobil, lalu saya ambil komisi. Modal saya cuma website dan laptop yang selalu saya bawa untuk mengecek orderan setiap ada Wi-Fi,” ia menjelaskan rahasianya.
Meski hanya tamatan SMA, pria beranak satu ini punya minat besar terhadap dunia pemasaran, kepemimpinan, dan bisnis. Secara teratur, ia mengikuti pelatihan pemasaran dan motivasi, bahkan hingga ke Jakarta. Ia juga hobi membaca dan mengoleksi buku-buku tentang motivasi dan psikologi. “Saya ini sanguinis sejati, Mas,” katanya sambil tertawa. Saya kaget, ia tahu istilah bagi orang yang mampu menghidupkan suasana.
Hobinya membaca ia tularkan kepada timnya yang seluruhnya berjumlah 20-an orang (meski hanya satu yang ia kontrak sebagai pegawai tetap). “Sekarang amat mudah mencari informasi, tinggal googling, jadi tidak ada alasan untuk tidak membaca. Semakin banyak membaca, akan semakin banyak wawasan, sehingga bisa melayani tamu lebih baik.”
Saat order sepi, Rahman meluangkan waktu bersama teman-temannya untuk bepergian. “Saya sangat suka traveling, terutama ke tempat-tempat yang tenang, seperti perbukitan. Dalam setahun, saya sudah punya daftar destinasi yang ingin saya kunjungi,” katanya.
Menjelang tiba di Kota Berau, Rahman sedikit bernostalgia. “Saya pernah diusir oleh ibu saya, Hajjah Beda, untuk menyusul kakak merantau ke Kalimantan.” Tetapi, ia mengakui, ia merasa beruntung karena pengalaman itu justru membentuknya menjadi pribadi yang mandiri dan kreatif dalam menghadapi tantangan hidup.
-----
FIRMAN FIRDAUS penyuka perjalanan dan fotografi. Lulusan kimia Universitas Indonesia ini kini menjadi editor Fotokita.net, situs web fotografi berbasis komunitas National Geographic Indonesia dan National Geographic Traveler.
Penulis | : | |
Editor | : | Administrator |
KOMENTAR