Nationalgeographic.co.id—Musik telah menjadi suara bagi orang-orang yang menderita dan diperlakuan tidak adil karena warna kulit. Musik telah menjadi pelipur lara bagi mereka tinggal di negara yang diperintah oleh seorang diktator kejam. Musik jazz pun menyuarakan kebebasan serupa.
Jenis musik ini menekankan pada improvisasi pemusiknya. Jazz dapat mengekspresikan beragam emosi, dari rasa sakit hingga kegembiraan.
Jazz berkembang di Amerika Serikat pada awal abad ke-20. New Orleans, dekat muara Sungai Mississippi, memainkan peran kunci dalam perkembangan ini. Populasi kota ini begitu kosmopolit. Budayanya lebih beragam daripada tempat lain karena banyak keturunan Afrika, Prancis, Karibia, Italia, Jerman, Meksiko, dan Indian Amerika, serta Inggris, berinteraksi satu sama lain.
Tradisi musik Afrika-Amerika bercampur dengan tradisi bermusik budaya lain. Jazz muncul dari campuran ragtime, marches, blues, dan jenis musik lainnya. Awalnya, jazz biasa digunakan untuk menari. Setelah rekaman jazz pertama dibuat pada tahun 1917, musiknya menyebar luas dan berkembang pesat.
Bagaimana riwayat musik jazz di Eropa?
Pada Perang Dunia Pertama, sekelompok tentara Afrika-Amerika menyerbu Eropa. Bukan untuk menembakkan peluru, melainkan mengayunkan irama saksofon, drum, dan terompet. Mereka tampil di Nantes, Prancis, untuk pertama kalinya dan membuat penduduk Prancis tergila-gila dengan musik jazz.
Kedatangan tentara Amerika itu memang untuk melawan Jerman agar perang segera berakhir. Namun, selain itu, hadirnya mereka juga menandakan penaklukan budaya yang manis.
Infanteri ke-369 yang merupakan campuran tentara berkulit hitam dan putih – dikenal dengan sebutan “Harlem Hellfighters”. Mereka menampilkan konser jazz pertama di tanah Eropa. Lebih tepatnya di kota Nantes, yang terletak di barat laut Prancis.
“Saat band ini selesai tampil, ruangan penuh dengan riuh tawa. Wajah penonton dihiasi senyuman. Itulah yang dibutuhkan Prancis di saat-saat krisis,” tulis salah satu anggota band, Noble Sissle, dalam memoarnya.
Pada perayaan seabad Musik Jazz pada 2018, Kota Nantes menyelenggarakan konser, konferensi, dan pameran untuk menandai pertunjukan legendaris tersebut.
Baca Juga: Rekam Jejak Pertunjukan Musik Klasik di Hindia Belanda pada Abad Ke-19
Di antara tamu kehormatan, pada malam pembukaan, akan hadir tiga cucu Letnan James Reese Europe yang menjadi pemimpin orkestra jazz seratus tahun lalu. Pria keturunan Afrika-Amerika ini dikenal sebagai ‘raja jazz’.
Setelan penampilan pertama di Teater Graslin, Nantes, Eropa tidak pernah sama lagi. Menurut laporan berita lokal pada masa itu, musik jazz membuat dunia Prancis “terbalik”.
“Virus jazz telah menggigit mereka,” tulis Sissle, “dan itu tampaknya telah menyerang spot penting mereka."
Baca Juga: Kisah Petaka Rombongan Pemusik Belanda dalam Monumen Padalarang
Infanteri ke-369 merupakan salah satu dari empat kelompok tentara Afrika-Amerika yang dikirm untuk berperang di bawah komando Prancis. Matthieu Jouan, kepala peringatan 100 Tahun Jazz di Nantes, mengatakan, James Reese Europe merupakan perwira berdarah Afrika-Amerika pertama yang memimpin pasukan pada masa perang.
Ia juga membuat band dengan anggota-anggota terbaik pada masanya. Ketika sedang tidak bertempur, mereka tampil untuk menghibur para pasukan dan penduduk lokal.
“Orang –orang menjadi gila di mana pun mereka melakukan tur,” kata Jouan.
Baca Juga: Jakarta City Philharmonic: Pertama Kalinya Lima Bagian
Letnan James menciptakan salah satu lagu terbaiknya One Patrol in No Man’s Land, saat terbaring di rumah sakit. Dia kembali dari perang sebagai pahlawan, hanya untuk mati beberapa bulan kemudian pada Mei 1919. James meninggal di usia ke-39 setelah lehernya ditusuk oleh salah satu anggota band. Jouan mengatakan, judul utama pada media Amerika bertuliskan: “Raja jazz telah mati”.
Meskipun begitu, kematian James tidak menghentikan perkembangan musik jazz di Eropa. Setelahnya, muncul tiga bintang musik hebat seperti Duke Ellington, Louis Armstrong, dan Sidney Bechet.
Era jazz pun dimulai.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR