Lahan konservasi yang terlalu luas sering kali menyulitkan petugas dalam pengawasannya. Ini membuat kawasan konservasi kerap 'kecolongan' aksi penjarahan hutan hingga pembunuhan hewan.
Untuk mengatasi masalah ini, dua pemerhati lingkungan, Lian Pin Koh dan Serge Wich, mencoba menggunakan pesawat tanpa awak (Unmanned Aerial Vehicles -UAV) yang dikendalikan lewat remote control. Pesawat ini dilengkapi dengan kamera, sensor, dan GPS.
Sejauh ini, UAV tersebut berhasil memetakan deforestasi, menghitung jumlah orangutan atau spesies terancam lainnya di hutan yang sulit terjangkau di Sumatra Utara. Hingga akhir Februari 2012, mereka sudah melakukan 30 misi tanpa sekali pun mengalami tabrakan. Tiap misi berlangsung selama 25 menit, meliputi lahan seluas 50 hektar, dan berhasil mengambil ratusan foto serta beberapa jam rekaman video.
"Tujuan utama proyek ini adalah mengembangkan UAV yang murah dan bisa digunakan oleh para pemerhati lingkungan di hutan tropis untuk survei hutan dan keanekaragaman hayati," kata Koh seperti dikutip dari Mongabay.
UAV seperti ini, kata Koh lagi, sudah digunakan untuk berbagai tujuan militer dan pertanian. Bahkan juga digunakan untuk syuting film-film Hollywood. "Tapi pesawat ini masih jarang digunakan untuk tujuan konservasi."
Keunggulan besar UAV adalah dari sisi biaya. Biasanya, biaya yang dikeluarkan untuk sistem pengawas komersial bisa mencapai Rp91 juta-an hingga Rp458 juta-an. Bandingkan dengan UAV milik Koh yang hanya Rp18 juta-an dan bisa dikemas serta dibawa dalam ransel.
UAV ini, ujar Koh, nyaris seluruh sistemnya otomatis dan dilengkapi dengan sistem autopilot. Pengguna UAV tinggal memberi titik jalur yang harus dilalui menggunakan laptop. UAV akan 'membaca' jalur yang diberikan tersebut dan lepas landas secara otomatis. "Selama misi, pesawat ini bisa mengabadikan foto atau video, tergantung dari sistem kamera yang diinstal," kata Koh.
Menurut ahli ekologi dari Duke University, Amerika Serikat, Stuart Pimm, cara yang ditawarkan Koh ini sangat efisien dalam hal biaya. Hasil foto yang dihasilkan juga sangat penting karena beresolusi tinggi, tanpa harus melibatkan satelit. "(Proyek) ini menawarkan alternatif ke tempat-tempat di mana biaya helikopter dan pesawat terbang terlalu mahal," kata Pimm.
(Mongabay)
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR