Untuk ketiga kalinya Dieng Culture Festival digelar secara resmi. Ini merupakan festival tahunan yang digelar pada 30 Juni-1 Juli 2012 lalu di Kawasan Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. Upacara ruwatan ritual rambut gembel menjadi acara puncaknya.
Penyelenggaraan acara tahun ini dipegang oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Banjarnegara, bersama masyarakat sekitar. Bupati Banjarnegara, Sutedjo Slamet Utomo menuturkan, acara telah dipersiapkan sejak lama dengan promosi yang maksimal.
Tak bisa dipungkiri, digelarnya Dieng Culture Festival berimbas pada daya tarik pariwisata lokal. Hampir sekitar 15.000 wisatawan datang ke Dieng, baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Dwi, salah satu pengelola lodging 'Bu Jono' misalnya, mengaku seluruh kamar telah terisi penuh diserbu oleh wisatawan dari luar daerah selama akhir pekan ini. Bukan hanya di penginapannya, melainkan pula di sekian banyak rumah penginapan lain.
Hari pertama festival, Sabtu (30/6), agenda dibuka dengan kegiatan jalan sehat menyusuri keindahan alam kawasan Dieng. Lantas, para peserta berkumpul kembali di Pendapa Soeharto Whitlam, Desa Dieng Kulon, yang jadi titik finish, untuk minum purwaceng massal. Purwaceng adalah minuman stamina khas daerah Dieng.
Menyusul serangkaian pagelaran seni tradisional, antara lain Tari Rodad, Tari Cakil, Lengger, Rampak Yakso, dan Warokan. Sementara pada malam hari orang-orang menyaksikan pertunjukan "Niti Laras Kesenian Karawitan dan Pedalangan" yang menampilkan wayang kulit. Acara pada malam itu ditutup dengan pesta kembang api di pelataran kompleks candi.
Pelaksanaan ritual cukur rambut diadakan keesokan paginya, hari Minggu (1/7).
Diawali kirab (pelepasan) dari rumah sepuh pemangku adat desa. Enam orang anak rambut gembel berusia empat sampai tujuh tahun yang akan menjalani prosesi, diarak dengan barisan pawai keliling desa menuju ke lokasi ritual, di muka Candi Arjuna.
Menurut masyarakat setempat, setiap anak yang diruwat harus dipenuhi permintaannya. Sebab itu, ruwat harus dilaksanakan ketika anak-anak itu mengajukan suatu permintaan langsung kepada orang tuanya. "Tanpa ada permintaan dari si anak gembelnya, maka sekali pun sudah dicukur, rambut gembel akan tumbuh kembali. Orang tua juga wajib memenuhi keinginan anak atau rambut terus tumbuh walau sudah dicukur," terang Teguh, seorang warga Dieng Kulon, di sela menonton upacara.
Rambut gembel juga tumbuh secara alami, hanya pada anak-anak. Meski tidak terbukti secara medis, tetapi biasanya rambut ini muncul disertai demam tinggi, mengigau dalam tidur. Gejala ini baru berhenti dengan sendirinya tatkala rambut sang anak kusut dan menyatu. "Disebut gembel karena jenis rambut ini jadi menyerupai rambut gelandangan yang tidak dicuci," tambah Teguh.
Ritual ruwatan rambut gembel adalah peninggalan leluhur yang hingga sekarang masih menjadi tradisi turun-temurun di Dataran Tinggi Dieng. Berdasarkan mitos, gembel dianggap sebagai bala (petaka) sehingga anak yang telah dipangkas rambut gembelnya dipercayai akan tumbuh menjadi anak baik yang panjang umur dan banyak rezeki. Sebaliknya, bila tidak dicukur, ia akan menjadi anak nakal.
Prosesi potong rambut gembel dilakukan oleh tetua adat dibantu dengan tokoh masyarakat setempat, yakni para pejabat kota Banjarnegara, dan didampingi oleh orang tua masing-masing.
Kemudian, setelah pencukuran selesai, rambut dijadikan satu dengan jajanan pasar, kembang telon (bunga tiga warna), lalu dilarung ke Sungai Serayu, yang akan mengalir ke Laut Selatan. Acara diakhiri dengan pembagian hasil bumi oleh masyarakat sekitar.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR