Tradisi atau adat Jawa sangat kental dengan nilai dan falsafah hidupnya. Perayaan tradisi bukan hanya mengingatkan hubungan antara orang Jawa dengan Tuhan, tapi juga relasi antar manusia, dan manusia dengan alamnya.
Lantas, hubungan antar manusia terasa akrab dalam satu garis keluarga. Tradisi tumplek pujen menjadi contoh selebrasi rasa syukur atas keberhasilan orang tua dan generasi penerusnya.
Tumplak pujen adalah tradisi yang dilakukan ketika orang tua sudah berhasil menyekolahkan dan menikahkan seluruh anaknya. Tradisi ini cukup unik karena orang tua akan memberikan sabdatama atau titah terakhir kepada mereka.
Sabdatama berisi petuah-petuah baik seperti percaya kepada Tuhan, rukun, keuletan dalam bekerja, menjunjung tinggi derajat orangtua, keikhlasan memberikan sesuatu, serta kewaspadaan.
Sesepuh Desa Kaliwungu, Semarang, Jawa Tengah, Darmo Mulyono mengatakan tradisi ini dilakukan sejak zaman Mataram. Ketika orangtua memberikan sabdatama, satu per satu anak dari anak tertua hingga terakhir, memberikan sungkem di lutut orang tua.
"Bila orangtua sudah meninggal akan digantikan dengan kerabat mereka," katanya, Jumat (6/7) di sela-sela tradisi tumplak pujen di Desa Kaliwungu.
Usai sabdatama, proses selanjutnya adalah orang tua memecah tanah liat yang berisi beras kuning dan uang receh. Menurut Darmo, prosesi ini menyimbolkan ketuntasan orang tua memberikan rejeki kepada anaknya. Kemudian, masing-masing anak pun mendapatkan sebuah wadah yang berisikan padi, beras, dan jagung.
Menurut orang Jawa, isi wadah tersebut diharapkan dapat memberikan rezeki serta kesuksesan pada keluarga mereka. Sementara itu, bagi warga desa yang diundang biasanya akan memberikan sumbangan berupa beras atau uang. Sumbangan beras memberikan makna yang lebih karena menunjukkan keberhasilan pangan mereka.
"Biasanya ketika orang desa sedang hajatan, sumbangan yang diberikan adalah timbal balik dari sumbangan yang pernah diberikan. Misalnya dulu saya menyumbang beras tiga kilogram, maka saya harus mengembalikan beras tiga kilogram kembali kepada yang memberikan," ungkap Darmo.
Dalam tradisi ini, kesenian wayang juga biasanya ditampilkan. Kata Darmo, kesenian wayang tidak bisa ditinggalkan karena memiliki falsafah hidup yang bagus. "Tradisi tumpak pujen saat ini masih berakar kuat. Tradisi ini harus dilestarikan agar tidak punah di masa mendatang," katanya.
Suwardi, yang baru saja melaksanakan tradisi ini mengaku bahwa ini tidak hanya sekedar prosesi. Dari tradisi ini, Suwardi sebagai bapak bisa menularkan sabdatama orangtuanya kepada anak-anak dan cucunya. "Falsafah hidup Jawa banyak mengajarkan tentang kebaikan. Saya berharap, anak-anak saya nanti dapat berbuat kebaikan dan diberi kelancaran dalam berbagi hal," kata Suwardi.
Penulis | : | |
Editor | : | Bambang Priyo Jatmiko |
KOMENTAR