Siang itu, Auditorium Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, tampak berbeda. Deretan kursi berjajar rapi hingga ke bagian belakang. Di bagian muka, panggung sederhana tertata rapi dengan latar belakang gambar besar dan judul yang menyolok. Di bagian kiri-kanan, terdapat layar besar. Tetamu yang hadir hampir seluruhnya mengenakan batik – salah satu identitas bangsa. Setidaknya terdapat seribu orang memenuhi ruangan pertemuan.
Zulkifli Hasan, yang menjadi tokoh yang dinantikan pada saat itu, memasuki auditorium dengan menebarkan senyum. Menteri Kehutanan periode 2009–2014 ini menyalami para tokoh yang hadir. Boleh jadi, melalui senyum yang terkembang, ia dan lembaga dipimpinnya berharap mampu melambungkan harapan baru di dalam industri kehutanan.
Tetamu yang hadir, mulai dari wakil negara sahabat, pejabat kementerian, komite akreditasi, perwakilan perbankan, lembaga swadaya masyarakat, hingga pelaku industri, turut menebarkan asa ke penjuru ruang. Mereka ingin menjadi saksi atas salah satu tonggak sejarah tata kelola kayu Indonesia.
Didampingi Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Khrisnamurti dan Wakil Menteri Perindustrian, Alex Retraubun, Zulkifli menekan tombol. Dengan demikian, terhitung Rabu (1/8), Sistem Informasi Verifikasi Legalitas Kayu (LIU-License Information Unit) telah resmi berlaku.
Sistem online ini merupakan kerja para pihak yang melibatkan enam kementerian (Kementerian Kehutanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian). Hal ini sekaligus menegaskan keseriusan pemerintah untuk memberantas praktik pembalakan liar dan mempromosikan kayu legal Indonesia kepada dunia.
LIU menggantikan mekanisme endorsement ekspor kayu dan produk kayu oleh Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK). LIU juga langsung terhubung dengan sistem INATRADE di Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kemendag dan akan bermuara pada portal Indonesian National Single Window (INSW) di Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan untuk pendaftaran ekspor.
Sistem ini juga memungkinkan pihak kepabeanan negara tujuan ekspor untuk memperoleh kepastian atau klarifikasi atas legalitas kayu dari Indonesia. “Kita melakukan pengawasan ketat. Negara pembeli juga tidak adil kalau masih menampung log-log yang ilegal. Padahal kita sudah mengikuti tata kelola yang panjang. Intinya di situ, mereka (negara pembeli) harus mengawasi dengan ketat,” Zulkifli menegaskan hal itu saat menutup sambutannya.
Dengan fasilitasi Multistakeholder Forestry Programme (MFP-Kehati), Kementerian Kehutanan sudah mengembangkan sistem online pengelolaan informasi terkait penerbitan Dokumen V-Legal yang siap dioperasikan di akhir tahun 2012. Sistem ini akan dijalankan oleh Unit Pengelolaan Informasi Verifikasi Legalitas Kayu atau Lincense Information Unit (LIU) yang berpusat di Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan.
"Untuk tujuan ekspor, kini setiap produk kayu diatur melalui penerapan mekanisme Sistem Informasi Verifikasi Legalitas Kayu. Industri yang telah mengantongi sertifikat SVLK akan melampirkan Dokumen V-Legal yang menyatakan bahwa produk kayu tersebut telah memenuhi SVLK ketentuan peraturan," ujar Diah Raharjo, Direktur Multistakeholder Forestry Programme (MFP-Kehati).
Dalam kesempatan yang sama, MS Sembiring, Direktur Eksekutif Yayasan KEHATI, menyebutkan, “Adanya LIU ini membuktikan keseriusan Pemerintah Indonesia untuk mereformasi tata kelola kayu, mengurangi illegal logging dan memudahkan pelaku industri termasuk industri kecil. Kami akan terus mendukung upaya Pemerintah Indonesia ini melalui program-program kami ke depan.”
Sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) wajib bagi semua, baik hutan alam, hutan tanaman, hutan rakyat hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, maupun hutan desa. SVLK sebagai jaminan ketaatan bagi para pemegang izin pengelolaan hutan dan industri kehutanan. Indonesia sebagai mitra kesepakatan sukarela (VPA) Peraturan Kayu Uni Eropa, maka produk kayu yang masuk Eropa harus legal. Peraturan ini akan resmi berlaku mulai 3 Maret 2013.
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR