Kota Tenggarong dalam minggu ini akan bergempita merayakan Festival Budaya Erau Kutai Kartanegara, salah satu pesta budaya tertua di Indonesia. Pesta budaya yang merupakan tradisi Kerajaan Kutai Kartanegara sejak abad ke-13 ini digelar oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur dan CIOFF Indonesia, mulai 30 Juni - 7 Juli 2013.
Pada Minggu pagi (30/6) Erau International Folklore and Art Festival dibuka secara resmi oleh Bupati Rita Widyasari di Stadion Rondong Demang. Pesta budaya Erau, selain dimeriahkan oleh Tim Kesenian dari tujuh Kabupaten wilayah adat Kasultanan Kutai dan sanggar seni budaya di Kutai Kartanegara, juga disemarakkan oleh duta-duta kesenian dari sembilan negara anggota CIOFF.
"Erau" merupakan bahasa Kutai yang berarti ramai, hilir mudik, bergembira, dan berpesta ria. Perayaan ini pertama kali dilaksanakan ketika putra tunggal petinggi negeri Jahitan Layar, Aji Batara Agung Dewa Sakti, berusia lima tahun.
Sebagai tanda bahwa si anak tadi diperbolehkan bermain-main keluar rumah, maka diadakan upacara "tijak tanah" dan "mendi ke tepian". Seluruh masyarakat negeri itu pun bergembira dan berpesta dalam aneka hidangan dan hiburan selama 40 hari 40 malam. Kelak anak kecil itu pada awal abad ke-14 menjadi Raja Kutai Kartanegara. Sejak saat itu ritual tersebut selalu digelar saat upacara pengukuhan raja-raja baru.
Sore seusai azan Ashar, halaman depan Kedaton Kasultanan Kutai Kartanegara yang bergaya art-deco, ramai dikunjungi warga yang menantikan Upacara Beluluh. Tradisi masa lampau ini dilaksanakan di teras bangunan kedaton yang kini menjadi Museum Mulawarman.
Tujuan upacara, supaya Sultan bersih dari unsur-unsur jahat. Prosesi ini dilakukan oleh Dewa dan Belian (shaman istana). Para Dewa itu merupakan perempuan-perempuan berbusana serba kuning, sementara para Belian merupakan para lelaki dengan hiasan membentuk segitiga di kepalanya, hiasan rambut hingga sepinggang, dan bertelanjang dada.
Mereka meluluhkan unsur jahat dengan menggunakan buluh bambu. Upacara Beluluh merupakan dilaksanakan setiap sore selama pagelaran budaya Erau.
Pada malam harinya, para Belian dan Dewa menari bergantian mengelilingi rumbai-rumbai daun kelapa kering yang digantung pada sebuah bangunan kayu tak berdinding di halaman Kedaton. Mereka memohon dan meminta izin kepada roh leluhur supaya selama pelaksanaan Erau masyarakat mendapatkan berkah dan selamat. Upacara ini akan dilaksanakan pada tiga malam berturut-turut.
Sementara di tangga masuk Kedaton tampak para prajurit berbusana hitam dengan membawa tombak berdiri bersiaga untuk pelaksanaan Upacara Bapelas. Beberapa keluarga Sultan telah bersiap menyambut tamu di teras. Di depan pintu masuk ruangan utama kedaton telah duduk berjajar para perempuan yang bertugas sebagai Pangkon.
Masing-masing membawa tanaman dapur: melati, jahe, kunyit, kencur, jahe, lengkuas, dan sereh. Umumnya mereka masih ada hubungan darah dengan Sultan.
Malam itu disajikan tarian-tarian yang tidak hanya dipentaskan oleh bagian keluarga besar kasultanan, tetapi juga salah satu perwakilan negara CIOFF.
Mereka berlenggak-lenggok membawakan tarian Ganjur untuk menghibur Sultan. Selain tari hiburan, para Dewa dan Belian pun melakukan tarian sakral, seperti tarian Dewa Memanah, tari Kanjar Bini dan tari Kanjar Laki.
Mereka menari untuk memuja sukma dan raga Sultan supaya selalu diberi kekuatan untuk memimpin negeri. Mantra-mantar pun menguar ke seisi ruangan utama kedaton.
Duaar!!! Duaar!!! Duaar!!! Sebagian yang hadir sontak terkejut di malam nan melarut. Puncak upacara ditandai dengan luncuran kembang api aneka warna di halaman kedaton, lalu Dewa dan Belian menuruni tangga keluar menuju ke Sungai Mahakam mengambil air suci.
Seorang ibu dari keluarga kasultanan yang bertugas sebagai pangkon berkata kepada saya, "Mereka ke sungai ambil Air Tuli."
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR