Senja telah lewat gelap pun menyambut. Lampu-lampu jalanan mulai menerangi langit Jakarta. Kendaraan roda dua dan empat membelah jalan Muhammad Husni Thamrin yang tak pernah sepi walau tengah malam. Deru kendaraan ikut meramaikan atsmosfir Jakarta.
Namun, di tengah kebisingan mesin kendaraan terdengar alunan nada dari suara tiupan saksafon yang membahana. Alunan saksofon itu mampu memalingkan kepala orang untuk mencari tahu dari mana asal bunyinya.
Di jembatan penyeberangan yang berada tepat di depan bangunan pusat perbelanjaan Sarinah, seorang pemuda asyik memainkan saksafon sambil mengoyang-goyangkan badannya. Sambil memejamkan mata ia terus memainkan saksafonnya. Ia menghayati betul permainan musiknya.
Para pengguna jembatan penyeberangan berlalu lalang di depan pemuda itu. Sebagian tak acuh tapi ada sebagian yang berhenti didekatnya dan memasukan uang kertas atau receh ke dalam kantong kain kusam yang tergeletak di lantai jembatan penyeberangan. Pemuda pemain saksafon itu musikus jalanan, namanya Luki Giri Purnama, 30 tahun.
“Saya sejak tahun 2007 sudah exercise di jalan,” begitu penjelasannya saat ditanya sejak kapan mulai bermusik di jalan. Awalnya ia pegawai kantoran namun berubah total sejak ia membeli sebuah suling bambu dan mulai memainkannya.
“Bagus! Begitu kata orang-orang yang mendengar tiupan suling saya, ” ia menjelaskan kenapa ia kemudian memutuskan untuk terjun total menjadi musisi.
Dengan tabungan dan gaji terakhir di kantornya ia langsung membeli sebuah saksafon seharga Rp4 juta. Belajar dengan otodidak, mendengarkan lagu lalu diikuti nadanya. Ternyata ia memang berbakat hanya dalam tempo singkat bisa memainkan beberapa lagu dengan saksofon.
“Langsung saya ngamen di jalan. Untuk ngamen hanya perlu bisa tiga lagu sudah bisa menghasilkan uang.” Jelasnya bersemangat.
Lahir dan besar di Ciamis, Jawa Barat, Luki kemudian merantau ke Jakarta setamat SMA. Sempat bekerja jadi kuli, bengkel, tukang. “Kerja apa saja yang penting menghasilkan uang. Terakhir saya kerja input data di kantor audit keuangan dekat dari sini," ceritanya mengenang awal-awal kakinya menginjak Jakarta.
Kini sudah lebih dari lima tahun ia exercise di jalan, begitu istilahnya untuk mengamen. Ia punya alasan menggunakan istilah itu. ”Saya sering diundang bermain solo dan juga gabung grup musik yang mengisi acara-acara seperti kawinan. Main di jalan untuk berlatih," jelasnya.
Kini ia semakin ahli memainkan saksofonnya. Hampir setiap bulan ada saja yang mengundang untuknya untuk menghibur pada sebuah acara. “Saya belajar langsung dari rekaman musik Dave Koz, Kenny G," ujarnya menyebut beberapa seniman saksofon kenamaan.
Sekarang penghasilannya dari bermain musik sudah mencapai Rp5 juta per bulan. “Jauh lebih besar ketimbang waktu jadi pegawai kantoran.” Ditambahkannya, ia sehari di jalan bisa mendapat uang Rp50.000, kadang-kadang bisa sampai Rp100.000.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR