Kami duduk memunggungi pintu masuk Benteng Pendem, destinasi primadona kebanyakan warga ketika singgah di Cilacap. Benteng Pendem, ada di bagian tenggara Kota Cilacap. Umurnya yang kini melebihi satu abad, tentu menyimpan banyak kisah yang menarik disimak.
Pada medio 1879, Benteng Pendem rampung dibangun oleh pemerintahan Belanda. Saat itu, bangunan megah ini dinamakan Kusbatterij op de Landtong te Tjilatjap. Bila diartikan ke dalam bahasa Indonesia, artinya kurang lebih, “Benteng yang ada di atas tanah dan menjorok ke laut menyerupai lidah.“
Pemerintahan Belanda menggunakan benteng ini sebagai garis pertahanan selatan pulau Jawa. Pertimbangannya, kondisi Cilacap saat itu dianggap aman, karena Pulau Nusa Kambangan menutupi area itu. Pada tahun 1942, kekuasaan bangunan kokoh tersebut ada di tangan tentara Jepang. Namun, Jepang hanya mampu mempertahankan kekuasannya selama kurang lebih tiga tahun, karena setelah itu benteng Pendem kembali lagi ke tangan tentara Belanda.
Setelah membayar tiket masuk seharga Rp8.000 per orang, penjaga gerbang mempersilakan kami memasuki benteng tersebut. Seorang pemandu memperkenalkan diri. Bayu, namanya. Suaranya lantang ber-badan tegap dan gaya bicaranya meyakinkan.
Hari semakin gelap, Bayu sudah mengingatkan agar sebaiknya kita memasuki terowongan- terowongan yang ada di Benteng Pendem. Dari gaya bercerita Bayu mengenai sejarah Benteng Pendem, tampaknya ia akrab sekali dengan hal-hal yang berbau mistis. Seringkali dia menyinggung-nyinggung soal arwah penasaran dan berbagai titik-titik yang dinilai angker.
Benteng Pendem juga sering digunakan oleh banyak stasiun televisi swasta sebagai lokasi syuting uji nyali. Penonton disuguhi potongan adegan yang memperlihatkan sudut-sudut benteng yang diyakini menyimpan banyak misteri. Lalu, pria atau perempuan, seorang diri, ditantang uji nyali—berdiam di suatu ruangan yang dianggap angker selama kurang lebih satu jam tanpa alat penerang. Kamera merekam aksi diamnya atau “penampakan” mahluk halus.
Saya dan tim ekspedisi jelas-jelas sedang tidak melakukan uji nyali, namun tampaknya Bayu berusaha menghadirkan nuansa yang menyeramkan ketika kami memasuki terowongan-terowongan gelap Benteng Pendem. Kami dibawa ke ruang-ruang dalam terowongan.
Dari ruang pertama, Bayu menjelaskan kegunaannya di masa lalu untuk menembakkan meriam lapisan pertama, apabila musuh sudah berhasil merangsek ke dalam pertahanan benteng. Kami berjalan di bawah genangan air. Tingginya melebihi mata kaki.
Bertahan hanya dengan beberapa sumber cahaya, kami berjalan lagi lebih ke dalam. Konon terowongan dan saluran air di Benteng Pendem di sini, ada yang terhubung langsung dengan Benteng Pendem yang terletak di Pulau Nusa Kambangan. Tentara juga membangun benteng pertahanan serupa dengan yang ada di muka Teluk Penyu, di Pulau Nusa Kambangan bagian timur. Sejauh ini, belum diyakini kebenarannya.
Benteng Pendem yang terletak di Nusa Kambangan secara garis besar mempunyai bentuk dan fungsi yang serupa dengan yang ada di Teluk Penyu. Fungsi dasarnya adalah sebagai lokasi pengawasan, dan juga pengintaian akan ancaman musuh, yang sekiranya membahayakan tentara Belanda pada masa penjajahan.
Untuk mencapai ke lokasi ini, Anda harus menempuh perjalanan selama 15 menit dengan kapal nelayan. Anda bisa menyewa jasa antar-jemput dengan kapal nelayan. Dengan merogoh kocek Rp50 ribu sampai Rp100 ribu, Anda akan diantar pulang-pergi mengunjung Nusa Kambangan bagian timur.
Kapal kayu dengan kapasitas sekitar empat hingga enam orang, merupakan pilihan satu-satunya bila Anda ingin mencapai Nusa Kambangan timur dan menyambangi Benteng Pendem.
*Artikel ini pernah diangkat dalam National Geographic Traveler Indonesia edisi April 2011.
Mengintip Inisiatif 'Blue Carbon' Terbesar di Dunia dari Negara Termiskin di Asia
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Semarang, Nazar Nurdin |
KOMENTAR