Nationalgeographic.co.id—Naga merupakan makhluk mitologi yang melegenda hampir di seluruh penjuru dunia. Kehadirannya masih menjadi teka-teki besar dalam kehidupan di bumi. Masing-masing negara di dunia telah memiliki kepercayaan terhadap naga, dalam versinya sendiri. Indonesia, sejatinya juga memiliki sosok naga yang menjadi mitologi. Naga tersebut bernama Sang Hyang Antaboga (orang Jawa menyebutnya Ontobugo).
Bagi masyarakat Jawa dan Bali, kisah Antaboga telah diturunkan dari generasi ke generasi dengan kisah yang sama, yang diambil dari kisah pewayangan. Kesamaan kepercayaan dan kisah tentang Antaboga di Jawa dan Bali dikarenakan kesamaan kepercayaan masyarakatnya pada era berkembangnya ajaran Hindu-Buddha di Nusantara.
Dani Akbar Rizaldi dalam tesisnya berjudul Perancangan Informasi Mengenai Tokoh Sang Hyang Antaboga Melalui Media Komik, pada 2018, menjelaskan tentang seluk beluk Sang Hyang Antaboga. "Antaboga merupakan perwujudan naga dalam mitologi pewayangan Jawa" tulisnya. Sang Hyang Antaboga merupakan salah satu tokoh dengan wujud naga dan memiliki sejumlah kekuatan, salah satunya yaitu menghidupkan kembali jasad yang telah mati.
"Pada kisah pewayangan, Antaboga digambarkan hidup di tempat bernama Saptapralata atau tujuh lapis bumi yang berada di dalam tanah" tambahnya. Ia juga memiliki istri bernama Dewi Supreti yang juga berwujud naga. Dari sanalah kemudian ia memiliki keturunan dan anak-anak.
Antaboga memiliki dua anak, bernama Bambang Naga Tatmala dan Dewi Nagagini. Jacob Stolworthy dalam artikelnya berjudul J.K. Rowling says she left one major clue about Nagini's backstory in 'Harry Potter,' long before 'Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald', pada tahun 2019, menjelaskan tentang tokoh Nagini.
"Nagini terinspirasi dari Naga di Indonesia, yang kadang digambarkan dengan sayap, kadang manusia setengah ular" tulisnya. Nagini merupakan salah satu tokoh dalam film sohor, Fantastic Beast, yang merupakan sekuel dari film Harry Potter. Nagini merupakan tokoh yang terinspirasi dari Dewi Nagagini, anak dari Antaboga.
Baca Juga: Tim Arkeolog Menemukan 'Naga Mengerikan' di Pedalaman Queensland
Kepercayaan Jawa terhadap naga, sebenarnya tidak hanya digambarkan pada sosok Antaboga. Sebelum kemunculannya, dalam relief peninggalan Majapahit juga muncul penggambaran wujud naga. Relief Nagaraja Anuhut Surya ditemukan pada candi Sawentar, Blitar, berangka tahun 1396 M.
Objek memvisualisasi seekor naga sedang memakan matahari. Menurut para arkeolog, objek tersebut menggambarkan masa kelam Majapahit. Surya atau matahari, adalah lambang dari Majapahit. Surya yang dimakan oleh Nagaraja, Mengisahkan keruntuhan kerajaan Majapahit.
Baca Juga: 'Manusia Naga' Julukan Spesies Manusia Baru yang Ditemukan di Tiongkok
Kepercayaan naga kemudian terus berkembang hingga dianggap sebagai sosok dewa. "Bagi masyarakat Jawa, Antaboga adalah dewa penyangga bumi" tulis Marsudi dalam jurnalnya yang berjudul Bangkitnya Tradisi Neo-Megalitik di Gunung Arjuna, publikasi tahun 2015.
Mitologi yang berkembang, mendorong masyarakat Jawa mempercayai adanya gua Antaboga, yang berada di Gunung Arjuna. Mereka percaya bahwa para peziarah lelaku (tirakat atau ziarah) yang datang ke situs gua Antaboga, maka mereka akan ditemui oleh ular raksasa (naga) yang dipercaya adalah sosok Antaboga.
Baca Juga: Mengenal Kisah Naga Sadhu, Petapa Suci dan Sakti Pengikut Dewa Siwa
Masyarakat Jawa kemudian telah mengaplikasikan Antaboga pada ornamen maupun ukiran hiasan. Umumnya ia akan muncul pada hiasan gong sebagai simbol naga Jawa. Peninggalan benda-benda kuno juga umumnya dihiasi sosok naga jawa, seperti keris, pintu candi, hingga ornamen-ornamen bernuansa Jawa.
Beberapa keris yang menggambarkan dirinya ialah keris Naga Runting, keris Naga Ransang, keris Naga Sasra dan lain sebagainya. Begitu juga dengan masyarakat Bali, mereka selalu menyertakan patung Antaboga pada bagian depan rumahnya, atau vihara tempat mereka sembahyang.
Baca Juga: Tak Bisa Lagi Berenang, Naga Laut Ini Gunakan 'Ban Pelampung'
Source | : | google scholar |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR