Banyak kisah asal mula Senayan, yang jadi sebutan umum 4 kampung yang melebur, membentang 2.790.835 m2 (279,1 ha),nyaris segitiga dari Gedung Panin di Pintu IX (dekat Patung Semangat Pemuda), memanjang hingga Manggala Wanabhakti ke SMA 24 hingga lokasi Senayan City kini.
Tokoh Betawi Ridwan Saidi menyebut, Senayan bermakna Senin (Glosari Betawi). Toponimi lain, sebutan Senayan muncul sejak kolonial Inggris, 1808, ketika saat itu merupakan padang rumput luas untuk polo berkuda. Orang Betawi menyebut gelanggang olahraga ini sebagai Senenan. Kebiasaan warga sekitar menyebut demikian, mungkin ‘terpeleset’ dikit jadi Senayan.
Kisah lain, Senayan berasal dari Wangsanayan, bermakna tempat tinggal warga keturunan Bali, Wangsanaya. Ketika ia wafat, warga Betawi di kawasan Palmerah dan Rawabelong di dekatnya menyebutnya sebagai Senayan. (beritajakarta.com, 7 Desember 2009).
Mengutip Oud Batavia (1935) sususan Dr. F De Haan, ahli kebudayaan Betawi, Rachmat Ruchiat menukas, Senayan berasal dari pohon sanayan, biasa disebut pohon sana saja. Orang Jawa menyebutnya sonokeling (Dalbergia latifolia). “Ini sesuai kebiasaan warga untuk menyebut suatu daerah dengan nama pohon, misalnya Kemang dan Menteng.”
Petunduan habis jadi pusat Gelora: Stadion Utama, Lapangan Atletik, Basket, Softball, Hoki. Penduduknya sebagian besar petani buah, penjaja ketupat sayur. Sampai kini, di seputar Senayan masih mudah kita jumpai pedagang keliling pikulan ini, yang tinggal di seputar Palmerah, kampung di timur laut Senayan. Bendungan Udik kini jadi Parkir Timur Senayan. Sebagian Pejompongan jadi Gedung MPR/DPR, dan Taman Ria Remaja. Sejak 1995 jadi Taman Ria Senayan yang kini mati.
“Pada 1950-an, Senayan seperti hutan,” kenang Abdul Chaer (69), penyusun Kamus Dialek Jakarta, “Saya dulu tinggal di lokasi yang kini jadi Wisma Kristal, Karet. Tapi saya satu sekolah dengan anak-anak Senayan. Sekolah di sini dulu cuma ada di Karet Tengsin.” Pergi pulang sekolah dengan jalan kaki.
Dulu, tiap keluarga punya tanah rata-rata 2.000 – 10.000 m2. Letak antar rumah berjauhan sesuai luas kebun. Kebanyakan ditanami pepaya, rambutan, kelapa yang hasilnya dijual ke Tanah Abang. Diangkut delman. Pas musim buah, datang pemborong atau tengkulak yang memanen satu pohon.
“Jika musim buah tiba itulah, saya main ke rumah teman-teman di Senayan. Jambu klutuk yang tak kenal musim itu berjatuhan di tanah tiada yang ambil. Paling dimakan burung, bajing. Kami biasanya main bola, naik-naik pohon.”
*) dimuat di National Geographic TRAVELER Vol II No.02, Maret-April 2010, hlm.26-31
Mendesak Pengesahan RUU Masyarakat Adat yang Menjadi Benteng Terakhir Upaya Konservasi
Penulis | : | |
Editor | : | Kahfi Dirga Cahya |
KOMENTAR