“Tidak selalu berbentuk bagonjong.” Demikian fakta tentang rumah gadang yang dilontarkan oleh Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatra Barat, Drs. Nusmatias, kemarin (15/12) di kota Padang. Rumah gadang berbentuk bagonjong yang mirip tanduk kerbau biasanya digunakan di daerah pedalaman atau dare (darat dalam bahasa Minang). “Penyebaran arsitektur rumah gadang di Sumatra Barat ini agak unik. Dibedakan antara rumah adat dare (darat) dengan tipe bagonjong-nya dengan pesisir tipe rumah gadangnya tungkuih nasi atau bungkus nasi. Karena bentuk atapnya seperti bungkus nasi,” Nurmatias menambahkan.
Masyarakat sering mengira bahwa rumah bagonjong adalah rumah gadang atas sebaliknya rumah gadang adalah rumah bagonjong. Ini tak lepas karena rumah bagonjong sudah menjadi ikon Sumatra Barat. Ikon ini semakin diperkuat saat Azwar Annas menjadi Gubernur Sumatra Barat. Ia membuat peraturan gubernur yang mewajibkan ruang publik, kantor-kantor pemerintahan dan pasar menggunakan rumah berbentuk bagonjong. Maka bagonjong menjadi identik rumah gadang.
Padahal ada dua tipe rumah gadang yaitu bentuk bagonjong di wilayah pedalaman dan tungkuih nasi di wilayah pesisir. Tetapi ikon rumah bagonjong sebagai rumah gadang lebih menonjol dibanding dengan rumah tipe tungkuih nasi.
Rumah gadang adalah simbol budaya Minangkabau. Rumah gadang berarti rumah besar menjadi milik berharga suatu keluarga atau kaum. Rumah gadang juga menjadi simbol tradisi matrilineal dimana rumah dimiliki oleh kaum perempuan dan garis keturunan perempuannya. Semua kegiatan adat dan ritual di lakukan di rumah gadang.
Arsitek Osrifoel Oesman yang sering meneliti tentang bangunan tradisional Nusantara menyatakan hal yang wajar jika terjadi terjadi perbedaan bentuk. Perbedaan mendasar dari dua tipe ini terletak pada bentuk atap, bahan baku, dan ruangannya. “Bentuk bagonjong yang menjulang tinggi tentu tak cocok dengan daerah pesisir yang anginnya bertiup kencang. Masyarakat pesisir memilih atap yang lebih sederhana. Ini adalah bentuk kearifan lokal,” jelas Osrifoel.
Bahan baku aslinya bentuk bagonjong adalah dari bambu yang mudah ditemukan di daerah pegunungan. Tentunya lebih mudah dibentuk dibandingkan kayu kelapa yang digunakan pada rumah gadang masyarakat pesisir.
Lebih lanjut Osrifoel menjelaskan perbedaan ruang yang ada di dalam rumah gadang bagonjong dan tungkuih nasi. “Ruangan dalamnya sama, terdapat beberapa bilik untuk ibu atau anak dan kemenakan perempuannya. Bedanya yang bentuk bagonjong tak ada beranda atau serambi di bagian depan rumah. Yang gaya pesisir ada serambi di depan rumahnya,” terang Osrifoel. Di daerah pegunungan yang dingin, serambi dengan udara terbuka tak terlalu diperlukan. “Serambi ini disebut serambi Aceh. Karena ada pengaruh Aceh-nya,” jelas arsitek yang juga arkeolog ini.
Pengaruh Aceh ini ada karena daerah pesisir Sumatra barat pernah masuk dalam wilayah Aceh saat Sultan Iskandar Muda berkuasa. “Yang jelas abad ke-15 itu pesisir barat Sumatra dijajah oleh kerajaan Aceh Iskandar Muda. Makanya dulu kita mengenal adanya Bandar Sepuluh, “ Nurmatias menjelaskan. Bandar sepuluh adalah sepuluh kota-kota pelabuhan di pesisir barat Sumatra yang dikuasai kerajaan Aceh antara lain Painan, Pariaman, Tiku, Kambang, Salido, Air Bangis, sampai ke Indrapuro.
"Kemudian mereka melakukan apakah itu asimilasi atau akulturasi budaya. Kalau kita lihat pada beberapa temuan-temuan arkeologis bahwa di sepanjang pantai barat Sumatra ini kita menemukan gaya-gaya Aceh,” terang Nurmatias.
Saat berkunjung ke rumah gadang bergaya pesisir ini di Painan, Pariaman dan Padang, NGI sempat bertanya pada beberapa anak muda di depan rumah gadang gaya pesisir. “Apakah ini rumah gadang?” Hampir semua jawaban sama, bahwa rumah itu adalah rumah lama bukan rumah gadang. ”Kalau rumah gadang ado bagonjongnyo,” jawab mereka.
Penulis | : | |
Editor | : | Tabloid Nakita |
KOMENTAR