Kekhawatiran budaya lokal yang kian tergerus oleh gempuran budaya asing menjadi alasan Kartini melestarikan tari topeng betawi.
Kartini Kisam (53), masih sanggup memperagakan tari topeng dengan baik. Gerakan kakinya lincah mengikuti irama musik. Tangannya mengayun ke kiri dan kanan. Sesekali ia melempar selendang yang dililitkan di pinggangnya. Ia tampil menari dengan sempurna.
Gempuran budaya asing pada era serba digital, yang menyedot perhatian generasi muda dari budaya lokal, sempat dikhawatirkan Kartini. Tari topeng betawi yang berada pada episentrum perkembangan budaya di Tanah Air berhadapan langsung dengan perubahan zaman. Tantangan Kartini untuk memelihara dan melestarikan tari topeng betawi pun kian besar.
Berbagai cara harus dan terus ia lakukan agar bagian dari budaya asli Betawi, warisan neneknya, Mak Kinang, terus bertahan menghadapi gempuran zaman. Cita-citanya, tari kebanggaannya itu tak hanya dikenal di kalangan publik Jakarta dan sekitarnya. Dia juga menginginkan tari itu dikenal dan menyebar di seluruh Indonesia, bahkan dunia internasional. Untuk itulah, Kartini berusaha memopulerkannya dengan cara mengajar dan menari di berbagai acara.
Pada usianya kini, Kartini mulai menyiapkan generasi penerus. Ia tak menargetkan waktu kapan berhenti menari. Jika melihat pola pewarisan dua generasi sebelumnya, wajar apabila ada yang menebak anaknya yang akan menggantikan.
Namun, ternyata hal itu tidak terjadi. Kartini menikah dengan Rachmat Ructhiyat tahun 1977 dan dikaruniai seorang putra, Iim Muharam. Iim tak bisa mewarisi tradisi tari keluarga yang mulai dimainkan Mak Kinang tahun 1920-an itu.
Kartini pun fokus melatih di sanggar milik keluarga: Sanggar Seni Ratna Sari. Dia berharap, dari sanggar itu lahir generasi keempat. Dalam setahun, lebih dari seratus orang dilatihnya. Sanggar dikelola Sukirman, saudara kandungnya.
Kini, ia membidik tiga keponakannya. Sesuai pesan Mak Kinang, Kartini harus mempertahankan dan menyebarluaskan seni itu. ”Tari ini harus dipertahankan dan disebarluaskan. Jangan sampai hilang,” ujar Kartini, meniru pesan neneknya.
Tari topeng menggambarkan perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari melalui tiga motif topeng. Pertama, topeng putih bernama panji. Panji adalah simbol kelembutan perempuan. Gerakan penarinya lemah lembut.
Kedua, topeng merah muda bernama sangga. Gerakan tangannya agak atraktif dan agresif dibandingkan panji. Gerakan itu melambangkan sikap wanita yang centil, genit, dan ingin selalu diperhatikan.
Motif topeng terakhir adalah raksasa merah tua bernama jingga. Beberapa gerakan pada jenis ketiga ini antara lain mengepalkan tangan dan membuka kaki memasang kuda-kuda, yang menjadi simbol orang kuat dan angkuh.
Tarian itu diiringi beberapa jenis alat musik, antara lain rebab, kenceng, kenong, kecrek, gong, dan gendang. Para pemainnya dinamakan panjak. Ritme musik sesuai motif topeng yang dipakai. Tari topeng biasa dimainkan pada beberapa acara orang Betawi, seperti khitanan, pernikahan, dan sedekah bumi.
Kartini berharap, pengetahuan tentang tari topeng dibukukan agar bisa dipelajari generasi mendatang. Selain itu, tari tersebut juga bisa masuk kurikulum SD di Jakarta. ”Saya ingin semuanya bisa ditulis, tetapi saya tidak bisa menulisnya,” katanya.
Kartini pun optimistis, warisan neneknya itu tidak akan hilang ditelan zaman. Meskipun untuk itu dia harus berjibaku menghadapi gempuran zaman yang serba digital dan modern.
Penulis | : | |
Editor | : | Gisela Niken |
KOMENTAR