Mendaki gunung menjadi kegiatan alam yang kembali digemari para eksekutif dan pengusaha muda beberapa tahun terakhir. Tren ini kemudian melahirkan peluang bisnis agen wisata petualangan. Meski konsumennya masih terbatas, tapi pasarnya cukup kuat dan terus berkembang.
Bukan hanya kaya dengan berbagai mineral dalam perut bumi, kekayaan Indonesia juga terlihat di permukaannya. Kekayaan itu berupa hamparan pegunungan yang menawarkan pemandangan menakjubkan.
Tak heran, aktivitas mendaki gunung tak pernah sepi. Bukan hanya anak-anak muda yang tergabung dalam organisasi kampus, hobi mendaki gunung juga menjangkiti sebagian eksekutif atau pengusaha muda.
Boleh jadi mereka adalah anggota pecinta alam di masa muda dan ingin bernostalgia dengan hobinya dulu. Namun, ada pula yang memang sengaja ingin menguji adrenalin dengan mendaki gunung. Apalagi, tren aktivitas alam ini tengah berkembang dalam dua tahun terakhir.
Melihat tren yang tengah berkembang ini, Ardhesir Yaftebbi mendirikan agen wisata Indonesia Mountain Atma Persada (Imosa) pada pertengahan 2012. Sesuai dengan namanya, Imosa memiliki spesialisasi mengadakan perjalanan pendakian ke gunung-gunung favorit, baik di Indonesia atau dunia. Dalam programnya, Imosa menawarkan tiga jenis kegiatan: ekspedisi, tracking, serta pelatihan dan kursus.
Ekspedisi mengacu ke perjalanan yang berlangsung lama atau memiliki tingkat risiko tinggi. Tarif untuk perjalanan ini cukup mahal, berkisar Rp 40 juta–Rp 200 juta per orang. Adapun tracking merupakan perjalanan dengan waktu singkat, bertarif Rp 1 juta hingga Rp 15 juta tiap orang.
Dengan membayar biaya sebesar itu, konsumen mendapatkan konsultasi persiapan, makanan selama pelatihan dan pendakian, pemandu dari Imosa dan penduduk lokal setempat, porter, peralatan grup, transpor lokal dan internasional, merchandise dan penginapan, baik di kota terdekat maupun selama perjalanan.
Untuk program wisata ini, Imosa membidik pasar kalangan menengah atas dengan rentang usia matang atau berkisar 35 tahun hingga 50 tahun. “Mereka biasanya ingin refreshing dengan perjalanan ke gunung-gunung populer,” ujar Ardhesir. Permintaan yang datang banyak berasal dari kota-kota besar, seperti Jakarta dan Bandung.
Kelas konsumen yang sama juga menjadi bidikan Dody Adventure. Membangun bisnis ini akhir tahun lalu, Dody Johanjaya, pemilik Dody Adventure juga menjaring konsumen dari kalangan ekspatriat yang berdomisili di Indonesia. Dody mengakui, pangsa pasar usaha ini masih kecil. Namun, daya beli untuk wisata pendakian ini cukup kuat dan sedang berkembang.
Potensi bisnis di masa mendatang juga masih luas, karena usaha wisata pendakian ini bersifat abadi. Dalam arti, alamnya terus tersedia dan tidak bergantung pada situasi ekonomi dan politik. “Tinggal pelaku usahanya yang harus profesional dan kreatif,” kata Dody.
Dody Adventure melayani jasa pendakian, baik untuk perseorangan maupun kelompok. Biayanya bergantung dari gunung yang hendak didaki. Mulai dari Rp 950.000 bagi yang ingin mendaki Gunung Gede, hingga Rp 10 juta per orang untuk pendakian Bukit Barisan di Sumatra. Biaya ini masih di luar tiket pesawat, karena tim Dody akan menemui para pendaki di kota terdekat gunung, pada waktu yang dijanjikan.
Baik Ardhesir maupun Dody menyebutkan, minimal dalam sebulan, mereka bisa mengadakan sekali perjalanan pendakian jarak dekat atau di Indonesia. Sedangkan, untuk pendakian ekspedisi, Imosa bisa mengantongi order pendakian dua kali dalam setahun.
Imosa menetapkan, setiap tracking minimal harus diikuti 10 peserta dan maksimal 20 peserta. Sementara itu, perjalanan ekspedisi dimulai dari enam orang hingga 10 orang. Lantaran belum banyak pemain di bisnis ini, keuntungan yang bisa diambil lumayan besar. “Dari sekali perjalanan, laba yang diambil bisa mencapai 30%,” ujar Dody. Anda berminat?
Pengalaman pemandu
Hanya, untuk terjun di bidang ini, sebaiknya, Anda memiliki pengalaman sebagai pendaki gunung. Seperti Ardhesir maupun Dody yang juga merupakan pendaki gunung.
Maklum, keamanan dan kenyamanan menjadi nilai jual agen wisata mendaki gunung ini. Untuk meyakinkan konsumen, mereka pun juga sering ikut menjadi pemandu dalam pendakian. “Pengalaman dan jam terbang pemandu menjadi nilai lebihnya,” kata Dody yang mengaku telah mendaki tujuh puncak gunung tertinggi di Indonesia serta empat puncak gunung tertinggi di dunia.
Atau, jika tak memiliki pengalaman, Anda bisa berlaku sebagai investor. Untuk menjalankan usaha, Anda harus merekrut orang-orang yang berpengalaman sebagai pendaki gunung menjadi pemandu.
Pasalnya, pendampingan dalam perjalanan ini tak hanya dilakukan saat naik gunung saja. Pemandu atau pelatih harus menyiapkan peserta, baik secara fisik maupun mental.
Bahkan, untuk medan-medan yang cukup berat atau perjalanan dalam waktu yang lama, pendampingan bisa dilakukan sejak 3 bulan–4 bulan sebelum keberangkatan. “Karena pendakian butuh fisik yang bugar, kami merekomendasikan klien untuk rutin berolah raga,” jelas Ardhesir yang pernah merintis ekspedisi Indonesia Seven Summits pada 2010-2012 lalu.
Dia pun akan memberi CD berisi panduan olah raga yang harus dilakukan dan menu makanan yang boleh disantap. “Semua sesuai dengan standar-standar kesehatan seorang pendaki,” kata Ardhesir.
Merintis bisnis sendiri sejak 2011 silam, Dody merogoh tabungan hingga Rp 150 juta untuk membeli berbagai perlengkapan mendaki gunung. Sebut saja tenda, tas ransel, sleeping bag, toilete tend dan keperluan pendakian lain, untuk tim beranggotakan 10 orang.
Untuk menjamin keamanan dan kekuatan, ia hanya belanja peralatan dan perlengkapan adventure dari merek luar ngeri. “Biasanya, saya ambil dari Prancis, Jerman dan Inggris,” katanya. Selain itu, ia menyediakan peralatan first aid dan memiliki pengetahuan P3K untuk meyakinkan konsumen.
Pada setiap keberangkatan, ada baiknya pula, perusahaan menyediakan kontrak yang berisi kesepakatan antara klien dan penyedia jasa. Jangan lupa, ada banyak kendala dalam pendakian. “Kalau sudah ada kontrak, peserta diwajibkan untuk menaati instruksi pemandu. Jika di tengah jalan ada yang tidak sanggup, kami tak akan memaksa naik hingga ke puncak,” jelas Dody.
Untuk promosi, media sosial, seperti Twitter dan Facebook bisa digunakan. Namun yang paling ampuh adalah promosi dari mulut ke mulut. “Komunitas sangat penting, karena biasanya teman-teman komunitas lah yang akan mempromosikan,” kata Ardhesir.
Siap mendaki untung?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR